Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-Un berjabat tangan dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-In di dalam pertemuan mereka di zona demiliterisasi, Desa Panmunjom, perbatasan Korea. FOTO/REUTERS
Sekitar pukul 09.30 pagi waktu setempat, Kim Jong-un muncul dari Gedung Panmungak di sisi Korea Utara. Bersama beberapa delegasi tertinggi negara termasuk adik perempuannya, Kim Jo-yong, ia menuruni tangga menuju garis demarkasi militer yang selama ini membelah Korea Selatan dan Korea Utara.
Tidak ada ekspresi ketegangan yang terekam. Kim berjalan ke depan menyambut uluran jabat tangan Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan yang sudah lebih dahulu berdiri di dekat garis demarkasi militer di sisi Korea Selatan. Sambil tetap berjabat tangan tepat di atas garis, kedua pemimpin ini sempat berbincang hangat. Momen bersejarah selanjutnya adalah ketika Kim mulai melangkahkan kaki melewati garis demarkasi berdiri di sisi wilayah Korea Selatan.
Setelah menginjakkan kaki di sisi Korea Selatan, Kim kemudian sempat mengajak Moon melangkahkan kaki sebentar melintasi garis demarkasi ke sisi Korea Utara.
“(Kamu) datang ke Selatan, kapan aku bisa mengunjungi Korea Utara?” tanya Moon.
“Mari kita melangkah sekarang,” jawab Kim Jong-un sambil mengajak Moon melintasi garis demarkasi menuju sisi Korea Utara, dilansir dari Korea Herald.Dua pemimpin itu kemudian kembali ke wilayah Korea Selatan. Dengan saling berpegang tangan, mereka berjalan menuju Wisma Perdamaian di Panmunjom, Korea Selatan. Keduanya tampak terlibat percakapan tanpa canggung, sambil disambut dengan upacara tradisional Korea Selatan.
Sore harinya, kedua pemimpin sempat menyelenggarakan upacara penanaman pohon pinus secara simbolis. Tanah dan air yang dipakai diambil dari kedua negara. Di dekat situs penanaman simbolis itu, terdapat prasasti batu yang bertuliskan “Tanamlah kedamaian dan kemakmuran.”
Ada banyak sekali momen bersejarah sekaligus makna simbolis selama pertemuan dua pemimpin Semenanjung Korea ini. Secara keseluruhan, ada satu pesan kuat yang terus dibawa, yaitu perdamaian dan kesatuan.
Tidak Terduga
Jumat kemarin adalah pertemuan pertama antara dua pemimpin Semenanjung Korea dalam satu dasawarsa terakhir. Kali terakhir kedua pemimpin negara bertemu ketika KTT Antar Korea tahun 2007 silam. Ketika itu Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong-il, ayah dari Kim Jong-un. Sementara Presiden Korea Selatan kala itu dijabat oleh Roh Moo-hyun.Selain kunjungan pertama pemimpin Korea Utara ke Korea Selatan, KTT Antar Korea tahun ini menghasilkan sebuah deklarasi bernapas perdamaian bagi hubungan saudara serumpun dalam Semenanjung Korea. Perang Korea meletus pada 1950 sampai 1953. Semenanjung Korea menjadi panggung pertempuran berdarah dari pengaruh Perang Dingin. Korea Utara dibekingi oleh Cina dan Uni Soviet sedangkan Korea Selatan dibantu oleh Amerika Serikat, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
Dilansir dari The Korea Times, Kim dan Moon sepakat menandatangani Deklarasi Panmunjom. Ada Sembilan poin perjanjian yang semuanya bernada positif yaitu, Pertama, mengakhiri Perang Korea sejak gencatan senjata 1953. Kedua, denuklirisasi untuk Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Ketiga, Moon Jae-in akan mengunjungi Pyongyang di musim gugur tahun ini.
Keempat, setuju saling mengakhiri tindakan permusuhan baik di darat laut dan udara. Kelima, mulai 1 Mei 2018 saling mengakhiri siaran propaganda di perbatasan. Keenam, mendirikan kantor penghubung yang dioperasikan di Gaeseong, Korea Utara. Ketujuh, mengadakan reuni keluarga korban Perang Korea pada 15 Agustus mendatang. Kedelapan, mengaktifkan kembali jalur kereta api antar negara. Kesembilan, bersama-sama berpartisipasi dalam Asian Games 2018.
Dalam upaya mengakhiri status Perang Korea yang selama 65 tahun terakhir masih berstatus gencatan senjata, para pemimpin Korea sepakat bakal menempuh pertemuan yang melibatkan Amerika Serikat dan Cina.
Tema denuklirisasi juga menarik perhatian publik. Korea Utara selama ini membangun reputasi kekuatan di mata dunia dengan terus mengembangkan senjata nuklir dan melakukan serangkaian uji coba. Berkali-kali PBB atau negara-negara tetangga melayangkan sanksi kepada Korea Utara terkait nuklir. Namun, berkali-kali pula mereka acuh. Belum lagi aksi saling ancam antara Trump dan Kim yang mendaku punya tombol nuklir di ruang kerjanya tambah membikin ketar-ketir bagi perdamaian dunia.
Sanksi yang diterima Korea Utara memang terus meningkat dan makin berat. Pada 2006, ketika Korea Utara mulai melakukan uji coba nuklir pertama, PBB menjatuhkan sanksi melarang pasokan persenjataan berat, teknologi rudal dan barang-barang mewah. Desember 2017, sanksi dari PBB kepada Korea Utara mulai menyasar menyasar migas serta pendapatan ekspor Korut.
Sebagaimana dilaporkan Council on Foreign Relations, sejauh ini Cina berperan penting sebagai mitra dagang Korea Utara termasuk untuk sektor pasokan pangan dan energi. Rezim Kim mau tak mau terbantu oleh kebijakan Cina yang secara historis menentang sanksi internasional keras yang dijatuhkan ke Korea Utara.
Namun akhir-akhir ini sikap Beijing mulai berubah dengan mengikuti beberapa aturan sanksi internasional. Pada Februari 2017, Beijing menghentikan sementara impor batu bara dari Korea Utara. China National Petroleum Corporation juga menghentikan penjualan bahan bakar pada Juni 2017. Pada September 2017 bank-bank Cina membatasi aktivitas keuangan perorangan dan bisnis Korea Utara.
Perubahan sikap Cina boleh jadi telah membuat Kim melunak dan menata ulang strategi. Dilansir dari Hankyoreh, sejak Kim mengumumkan komitmen denuklirisasi kepada Korea Selatan Maret lalu, situs uji nuklir di Desa Punggye telah ditutup. Uji coba nuklir dan balistik antarbenua juga ditangguhkan.
Reaksi Dunia dan Pesimisme
Sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Korea Utara dan punya akar dukungan ketika Parang Korea meletus, Cina mengatakan pertemuan bersejarah itu merupakan langkah signifikan untuk memastikan perdamaian dan stabilitas jangka panjang di Semenanjung Korea.Ucapan selamat turut datang dari Donald Trump melalui kicauannya di akun twitter pribadinya. Sebagai kepala negara AS, ia berseru tentang berakhirnya Perang Korea dan mengajak semua pihak untuk ikut bangga dengan apa yang terjadi di Korea.
Namun di tengah kabar optimisme perdamaian di tanah Semenanjung Korea, Eli Lake menulis dalam kolom opini di Bloomberg mengenai kewaspadaan dari perjanjian denuklirisasi bagi kubu Amerika Serikat. Ia memandang bahwa frasa denuklirisasi yang dipakai Korea Utara tak lebih dari sekadar upaya jangka panjang Pyongyang untuk menggembosi kekuatan AS yang selama ini menyokong Korea Selatan. Lake mengingatkan kembali pidato Kim saat tahun baru kemarin mengenai kekuatan nuklir Korea Utara yang tidak mungkin ditarik mundur.
Dalam Deklarasi Panmunjom mengenai denuklirisasi memang tidak mencantumkan waktu dan proses. Mereka juga tidak menetapkan definisi jelas tentang seperti apa Korea yang bebas nuklir. Hanya persetujuan perjanjian damai mengakhiri status perang saja yang telah dipatok bakal dilaksanakan tahun ini. Seperti dikutip dari The New York Times, hal ini yang tampaknya bakal membuat Donald Trump menemui kesulitan ketika nanti menekan Kim Jong-un untuk berunding soal ketentuan nuklir.
Kelompok konservatif Korea Selatan menunjukkan ketidaksenangan dengan langkah perdamaian yang ditunjukkan para pemimpin Korea. Dilansir dari Time, kalangan Kristen konservatif yang umumnya generasi tua masih memiliki pandangan politik yang terkait erat dengan kehidupan saat Perang Korea meletus. Mereka melihat bahwa Korea Utara masih sebagai musuh dan AS sebagai sekutu yang amat penting di kubu Korea Selatan.
Meski bukan berarti semua orang Kristen di Korea Selatan berpandangan seragam, para konservatif ini juga tidak menyukai Presiden Moon Jae-in pasca pemakzulan Park Geun Hye pada 2016. Moon dianggap melambangkan kebangkitan politik kiri di Korea Selatan dan membuka era dialog dan kerja sama dengan Korea Utara.
Bruce Klinger, pengkaji Korea dari Heritage Foundation dilansir dari The Atlanticmelihat bahwa apabila perjanjian perdamaian perang benar-benar direalisasikan, perlu diformalkan oleh PBB dan diratifikasi oleh Korea Utara, Cina, Amerika Serikat dan kemungkinan besar Korea Selatan. Jika tidak, sekedar deklarasi saja itu dianggap sangat bermasalah dan tak menunjukkan implementasi serius apapun. Termasuk perkara ancaman nuklir dan sejenis harus terlebih dahulu dibereskan sebelum penandatanganan perjanjian damai.
Sebelum KTT Antar Korea berlangsung, pada 25 April kemarin The Korea Timesmenurunkan opini tulisan Mahmood Elahi yang mengingatkan reputasi Dinasti Kim yang mencemari perjanjian denuklirisasi sebelumnya. Kim Jong-un kini didesak untuk membuat langkah yang dapat diverifikasi untuk menunjukkan bahwa benar-benar melucuti senjata nuklir dan program pengujian rudal balistik.
KTT Antar Korea tercatat pernah terlaksana pada 2000 dan 2007. Berkaca pada KTT sebelumnya, pola-pola seperti membuat perjanjian perdamaian nyatanya sudah dilakukan di KTT sebelumnya. Tetapi pada kenyataannya deklarasi semacam itu hanya menguap begitu saja. Sejumlah faktor seperti lemahnya dukungan dari dalam negeri dan internasional menjadi penghambat terealisasinya deklarasi perdamaian, dilansir dari CNN.
Patut dinanti realisasi rangkaian kesepakatan dalam deklarasi, terutamanya soal mengakhiri status perang dan pelucutan senjata nuklir. Atau justru seperti hasil KTT sebelumnya yang tidak banyak mengubah wajah Semenanjung Korea.
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf
Sumber: Tirto.Id