Kamis, 17 Mei 2018 15:28 WIB
Trisno Yulianto, simpatisan Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
Para mahasiswa ketika menduduki Gedung DPR MPR. Foto: Hendi Jo/Historia
Jakarta , Law-Justice.co - Pengorbanan syuhada demokrasi dan kegigihan
koalisi besar massa rakyat-mahasiswa berhasil menumbangkan kediktatoran
Soeharto 20 tahun yang lalu. Tumbangnya kediktatoran soeharto membuka kran
demokrasi, dengan kemunculan partai-partai politik baru yang dirikan kaum
borjuis yang sebagian besar “elite diaspora” orde baru.
Pemilu pertama kali post orba diikuti oleh 48 partai politik yang berambisi
meraih kekuasaan. Hanya satu partai yang boleh disebut merepresentasikan
kekuatan politik progresif pro rakyat yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Sayangnya PRD melakukan blunder politik dalam pemilu 1999 dengan seruan Boikot
Pemilu atau Coblos PRD. PRD gagal meraih tiket ke parlemen.
Berlanjut mengalami konflik berkeping-keping dalam setiap momentum dan
akhirnya sekadar menjadi partai ekstrra parlemen yang tidak berkembang kualitas
ideologi, organisasi dan basis massanya.
Dalam ajang elektoral borjuis, memang tidak lagi memiliki keterwakilan politik kiri. Politik yang sepenuh-penuhnya memihak hak-kepentingan-visi kaum buruh dan kaum miskin tertindas. Politik elektoral semacam Pemilu, pilpres dan pilkada menjadi pesta pora elite/partai borjuis yang menjual janji-mimpi dan tanpa resolusi radikal perubahan sistem ekonomi-politik yang pro buruh-tani.
Dalam ajang elektoral borjuis, memang tidak lagi memiliki keterwakilan politik kiri. Politik yang sepenuh-penuhnya memihak hak-kepentingan-visi kaum buruh dan kaum miskin tertindas. Politik elektoral semacam Pemilu, pilpres dan pilkada menjadi pesta pora elite/partai borjuis yang menjual janji-mimpi dan tanpa resolusi radikal perubahan sistem ekonomi-politik yang pro buruh-tani.
Partai dan elite borjuis berebut kursi kekuasaan dan ketika berkuasa menipu
rakyat. Mereka ketika berkuasa melakukan korupsi, menjarah sumber daya
ekonomi-sumber daya alam, membangun kroni dan dinasti, memelihara “anjing
penjaga” kekuasaan yang memakai bendera agama. Anjing penjaga kekuasaan maupun
pendukung Oposisi kekuasaan yang selama 10 tahun terakhir selalu berbuat onar
dalam kasus anarkhisme, intoleransi dan bahkan aksi terorisme.
Elite politik dan partai borjuis juga mengkooptasi gerakan buruh “sesat” yang dikuasai elite rakus ambisius jabatan kekuasan dan tidak memiliki ideologi yang progresif. Gerakan buruh (serikat buruh) yang harusnya menjadi embrio terbentuknya partai kiri justru menjadi pendukung kelas borjuis. Ironis lagi ada serikat buruh mendukung jenderal pecatan yang ditahun 1998 menculik aktifis pergerakan demokrasi.
Elite politik dan partai borjuis juga mengkooptasi gerakan buruh “sesat” yang dikuasai elite rakus ambisius jabatan kekuasan dan tidak memiliki ideologi yang progresif. Gerakan buruh (serikat buruh) yang harusnya menjadi embrio terbentuknya partai kiri justru menjadi pendukung kelas borjuis. Ironis lagi ada serikat buruh mendukung jenderal pecatan yang ditahun 1998 menculik aktifis pergerakan demokrasi.
Ketiadaan representasi politik kiri dalam panggung kekuasaan parlemen dan
eksekutif pemerintahan berimplikasi pada beberapa hal: pertama, tidak
tercaoainya program-program kesejahteraan rakyat yang substansial. program
rejim post soeharto semacam Megawati, SBY dan Jokowi jauh dari watak
program-program yang pro buruh-tani. Sedangkan kekuatan politik Oposisi semacam
PKS, Gerindra, PAN, dsb tidak lebih baik dari rejim yang berkuasa dan bahkan
lebih busuk karakter politiknya.
Mereka bergerak menjadi lawan kekuasan dengan mengeksploatasi isu SARA dan
isu politik “kacangan”. Jadi jelas tanpa representasi politik kiri tidak ada
program-program pro kaum buruh-tani yang diwacanakan (boro-boro
diimplementasikan).
Kedua, tidak adanya kekuatan oposisi sejati. Oposisi sejati melawan
kekuasaan dalam panggung parlemen dan ekstra parlemen dengan agenda politik
kerakyatan. Menyuarakan isu-program-tuntutan obyektif rakyat miskin. Oposisi
saat ini adalah Oposisi borjuis yang sebagian berwatak fasis yang jika
menang pemilu dan berkuasa akan lebih busuk dibanding kelompok
borjuis-nasionalis yang berkuasa.
Ketiga, tidak adanya kekuatan politik yang menyatukan gerakan rakyat.
Kekuatan politik yang menyatukan gerakan rakyat miskin dan tertindas—-buruh,
tani, kaum miskin kota—adalah partai kiri. Dan tidak adanya partai kiri
menjadikan basis rakyat miskin dan tertindas menjadi target “jual beli” suara
dalam pemilu dan agenda elektoral demokrasi lainnya.
Keempat, mengencangnya arus neoliberalisme ekonomi. Neoliberalisme ekonomi
yang ditancapkan soeharto sebelum jatuh, diperkuat kebijakan Megawati dan SBY.
Ketiadaan kekuatan politik Kiri dalam panggung politik kekuasaan menjadikan
rakyat miskin dalam hidup yang susah. program kesejahteraan minimum sosial
tidak tercapai.
Dan ini akan berlangsung terus menerus jika yang berkuasa adalah elite
politik borjuis adalah ilusi jika elite politik semacam Rizal Ramli, Amien
Rais,Yusril Ihza , Prabowo, apalagi Gatot Nurmantyo menjadi
penguasa akan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Mereka berkuasa hanya akan
menyuburkan korupsi, mafia, intoleransi, diskriminasi SARA, dan pemborosan
APBN.
Patut dicermati setelah 20 tahun reformasi tidak terjadi perubahan
signifikan bagi nasib rakyat. Hal tersebut disebabkan tidak adanya transformasi
sistem ekonomi-politik dan masih bercokolnya kekuatan oligarkhi ekonomi-politik
neo-orba. Termasuk juga masih kentalnya kekuatan blok militerisme yang masih
memanfaatkan basis dukungan kelompok fundamentalisme-radikal.
Memang memprihatinkan, kejatuhan soeharto dari tahta kediktatoran fasisnya
diinisiasi oleh kekuatan politik kiri namun kekuatan politik kiri justru
tertinggal dalam pembangunan organisasi (partai) dan pengembangan basis massa.
Kekuatan politik kiri kalah dibanding kekuatan politik kanan. Kekuatan politik
kanan reaksioner semacam FPI-HTI-MMI dan PKS mendominasi wacana politik
oposisional dan mereka terbukti militan melakukan propaganda diruang-ruang
massa.
Kekuatan politik kiri menjadi minoritas dalam panggung politik demokrasi
paska soeharto. Di parlemen tak ada perwakilan, di ruang propaganda politik
tidak bergaung suaranya, dan dikancah gerakan massa tidak mampu menggerakkan
kesadaran “revolutif” massa. Kondisi sekarang banyak eksponen kelompok kiri
yang justru perilakunya memalukan.
Bergaung dengan partai borjuis dan bersekutu dengan kelompok kanan
reaksioner. Andi Arief, Habiburokman adalah dua contoh aktifis “kiri” yang
memalukan sepakterjang politiknya karena bersekutu dengan kekuatan fasis.
Elemen politik kiri menyisakan beberapa organisasi dan kelompok diantaranya
PRP, KPO PRP, KASBI, dan PRD. Khusus PRD harus dikajiulang apakah masih
kekuatan kiri mengingat manuver politiknya tidak jelas ketika bergabung dengan
PBR dan Gerindra dalam pemilu 2009 dan 2014.
Nasib kekuatan kiri memang selalu berakhir tragis. Melawan kolonialisme
Belanda tahun 1926 mengalami penghancuran organisasi dan basis massa
pergerakan. Berjuang melawan fasis Jepang dan berkontribusi besar dalam
proklamasi kemerdekaan mengalami penghancuran 1948.
Berjuang menegakkan kedaulatan ekonomi-politik nasional tahun 1950an
-1960an namun dihancurkan oleh rejim orba yang didukung AS. Berjuang
menumbangkan Orde baru namun secara subyektif gagal mengkonsolidasikan
kekuatan.
Takdir Historis jangan sampai terulang. Kemakmuran-kejayaan-kedaulatan
bangsa ini bergantung kekuatan politik kiri. Jangan sampai negara ini jatuh ke
tangan kekuatan politik kanan reaksioner. Kekuatan politik kiri memang
perlu mengerem ego-eksistensialis untuk membangun unifikasi gerakan dan juga
mendirikan partai politik untuk perjuangan di level parlemen dan
ekstraparlemen.
(bap79\Editor)
Sumber: Law-Justice
0 komentar:
Posting Komentar