Sabtu 26 Mei 2018, 13:52 WIB - Aryo Bhawono
Pramoedya Ananta Toer -
Soeharto (Montase: Mindra Purnomo)
Jakarta - Presiden Soeharto pernah mengirimkan surat
kepada Pramoedya Ananta Toer ketika sastrawan itu masih dalam pembuangan di
Pulau Buru pada 1973. Surat itu dikirim bersama bingkisan untuk Pram dan para
tapol lainnya.
Harian Kompas edisi 9 November 1973 mencatat
surat ini diserahkan oleh Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Laksamana Sudomo kepada Badan Pengelola Resettlement Pulau Buru
(Bapreru) Brigjen Wadli. Sudomo-pun membacakan surat itu.
"Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar. Namun kewajaran ini harus pula ada kelanjutannya yang wajar, yakni kejujuran dan keberanian untuk menemukan jalan yang lurus dan dibenarkan," tulis Soeharto.
Surat beserta bingkisan itu ditunggu-tunggu oleh para
tapol yang berlatar sastrawan dan seniman. Militer masa orde baru mengirimkan
mereka ke pulau itu sejak Agustus 1969. Pramoedya datang ke Pulau Buru sejak
pengiriman pertama tapol PKI.
Kapal yang membawa Pramoedya tiba di Namlen, kota
Kabupaten Pulau Buru pada 10 September 1969 bersama 850 tapol golongan B.
Sebelum berangkat ia mengalami penahanan di Rumah Tahanan Militer Tangerang
lalu dipindahkan ke Penjara Karang Tengah, Nusa Kambangan.
Istri Pramoedya menitipkan bingkisan berupa empat buku
ejaan Bahasa Indonesia. Sastrawan asal Padang, Rivai Apin menantikan buku-buku
pelajaran bahasa Perancis dari istrinya. Pemerintah sendiri juga memberikan
bingkisan buku, diantaranya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sebanyak 15 tapol
pelukis dan pemahat juga mendapatkan alat lukis dan pahat dari pemerintah.
Penyerahan bingkisan ini membantu Pramoedya untuk
menuliskan karya-karyanya dari balik penjara. Pada tahun itu, orde baru mulai
bersikap sedikit melunak memperlakukan tapol PKI di Pulau Buru.
Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro bertandang dan bertemu
dengan Pramoedya pada Oktober 1973. Kunjungan itu dilakukan tak setelah dia
singgah dan bertemu sejumlah orang asing di Paris dan Belanda dalam
perjalanan pulang dari Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok IV di Aljazair pada
1973. Kepada Soemitro orang-orang asing itu menanyakan soal tahanan politik
terutama Pramoedya Ananta Toer yang ditahan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku.
Pada Oktober 1973 dia datang ke Pulau Buru dengan
menyertakan tim psikolog seperti Fuad Hasan, Saparinah Sadli, dan Susmaliah
Suwondo. Juga mengajak sejumlah kawakan dari berbagai media seperti Rosihan
Anwar, Mochtar Lubis, Jacob Oetama, dan Nardi D.M.
Koh Young Hun dalam buku Pramoedya Menggugat:
Melacak Jejak Indonesiamencatat, kehadiran Soemitro membuat Pramoedya kembali
bisa berkarya. Pramoedya mendapat bantuan mesin ketik untuk menulis yang
dikirimkan setelah Soemitro pulang. Selain mengirim semua permintaan Pram,
Soemitro juga memerintahkan melepaskan Pram dari sel.
(ayo/jat)
0 komentar:
Posting Komentar