Kamis, 31 Mei 2018 14:44 WIB | Ria Apriyani
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto. (Foto: ANTARA)
Ditemui usai pelantikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Merdeka, Kamis (31/5/2018), Wiranto irit bicara.
Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto tidak menghadiri pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Ditemui usai pelantikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Merdeka, Kamis (31/5/2018), Wiranto irit bicara.
Dia melangkah tergesa menuju mobil dinasnya.
"Tanya Mensetneg. Saya ada tugas di tempat lain. Tanya beliau," kata Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis(31/5).
Nama Wiranto kerap disebut-sebut sebagai aktor dalam kerusuhan Mei 98. Saat kerusuhan meletus, Wiranto menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI.
Pasca Soeharto lengser, Wiranto berhadapan dengan kasus dugaan penculikan, kerusuhan, dan penembakan aktivis mahasiswa. Dia diduga terlibat secara langsung maupun tidak dalam Tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti.
Kamis (31/5/2018) siang ini, Presiden Joko Widodo dijadwalkan bertemu keluarga korban dan penyintas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Rencana ini tercetus saat Jokowi menemui sejumlah ahli hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Istana Merdeka hari ini, Rabu (30/5/2018).
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan pada pertemuan tersebut ia mengulas kembali sederet kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini masih mandek. Mendengar itu, Jokowi meminta Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki dan ajudannya untuk mengagendakan pertemuan dengan keluarga korban.
"Presiden merasa selama ini sudah berusaha menerima (keluarga korban). Tapi keluarga menurut presiden tidak pernah mau datang. Saya katakan, kalau memang benar presiden bisa bertemu dan serius ingin bertemu para korban aksi Kamisan, ya kita agendakan saja," kata Usman usai bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Rabu (30/5/2018).
"Langsung Presiden menyampaikan kalau begitu besok (Kamis) bagaimana? Besok kebetulan Kamisan," tambahnya.
Rencana kedatangan Jokowi ke Aksi Kamisan ke-540 itu justru menimbulkan pertanyaan bagi para penyintas dan aktivis HAM. Sebab tercatat telah 11 tahun aksi di depan Istana Negara ditambah ratusan surat kepada Presiden--termasuk pada era Jokowi. Namun kesemua itu tak berbalas atau berbuah respon.
"Kami khawatir kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau 'gimmick' di tengah tahun politik," ungkap pernyataan tertulis yang diterima KBR.
Para penyintas dan keluarga korban kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu jelang pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/5/2018). (Foto: KBR/ Ria Apriyani)
Keraguan itu disampaikan oleh gabungan LSM HAM dan keluarga korban antara lain Kontras YLBHI, LBH Jakarta dan Suciwati Munir. Para aktivis dan penyintas mengingatkan, jika pertemuan tak dilandasi tekad dan komitmen maka justru hal tersebut menghina rasa keadilan dan kemanusiaan. Bukan tak mungkin, malah memupus harapan para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Sejak awal tujuan utama Aksi Kamisan bukan semata-mata untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia," tulis gabungan pernyataan dari Kontras, YLBHI, LBH Jakarta dan Suciwati Munir yang diterima KBR.
Catatan sejumlah lembaga pemantau Hukum dan HAM tersebut menilai, kinerja Presiden Jokowi dan bawahannya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tergolong lamban. Padahal, lanjut keterangan tertulis itu, penuntasan kasus pelanggaran HAM masuk dalam agenda Nawa Cita Jokowi-JK.
"Kebijakan Presiden Jokowi juga membawa mundur upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), dan menyerahkan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah Menkopolhukam."
Karena itu, koalisi LSM tersebut mendesak Presiden Jokowi membersihkan kabinet dari figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM. Untuk mengukur kesungguhan penuntasan kasus pelanggaran HAM, Presiden juga diminta segera membentuk Komite Kepresidenan.
"Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan melakukan tindakan konkret daripada sekadar tindakan populis."
0 komentar:
Posting Komentar