Reporter terakota - 21/05/2018
Oleh: F.X. Domini B.B.
Hera*
Beberapa pelaku pergerakan nasional tahun 1908 yang masih hidup tampil
dalam malam peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 di Istana Agung,
Yogyakarta. Baris depan nomor ketiga dari kiri, A.M. Sangadji, tokoh Sarekat
Islam yang kondang; Dokter Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952); Mr. Assaat
(1904-1976), Acting Presiden RI; dan Ki Hajar Dewantara (1889-1959), Ketua
Panitia Hari Kebangunan Nasional (Sumber Foto: Majalah Mimbar Indonesia, 12
Djuni 1948).
Nomenklatur ‘Hari Kebangunan Nasional’ terus dipakai
hingga tahun 1955. Pada tahun 1958, nomenklatur ini sudah berubah menjadi ‘Hari
Kebangkitan Nasional.’ Nampaknya dalam dua tahun, 1956-1957, terjadi perubahan
di kalangan elit untuk mengubah diksi nomenklatur dari yang semula ‘Hari
Kebangunan Nasional’ menjadi ‘Hari Kebangkitan Nasional.’ Perihal ini
diperlukan sebuah penelitian dan studi mendalam untuk mengungkap perubahan di
atas. Selanjutnya hingga tahun 2018 dan masa-masa yang akan datang, nomenklatur
‘Hari Kebangkitan Nasional’ dengan akronim Harkitnas akan terus dipakai di
Indonesia.
Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20
Mei di Indonesia memiliki banyak aspek pencapaian. Salah satu aspek yang luput
disadari ialah timbulnya kesadaran kelas dalam periode awal kebangkitan
nasional tahun 1908.
Terakota.id– Secara umum, momentum peringatan Kebangkitan
Nasional mengambil tanggal pendirian organisasi Budi Utomo. Hal ini
sebagai tonggak munculnya kesadaran sebuah suku bangsa yang terjajah untuk
mengorganisasikan diri. Sekalipun Budi Utomo masih berisikan etnis Jawa,
sejarah pergerakan Indonesia kemudian memperlihatkan transformasi kesadaran
etnis-etnis lain di Nusantara yang bersatu hingga mewujud dalam kesadaran
sebuah bangsa yang ingin merdeka dua puluh tahun kemudian (1928, Konggres
Pemuda II). Transformasi itu meliputi perubahan dari kesadaran etnisitas menuju
kesadaran nasional sebuah bangsa.
Transformasi lain yang tak banyak dibicarakan ialah
perkembangan mula-mula kesadaran kelas dalam kebangkitan nasional Indonesia.
Aspek ini hampir hilang dalam narasi historiografi Indonesiasentris, terlebih
pasca Gestok (Gerakan Satu Oktober, istilah yang dipilih Presiden Sukarno
sendiri) 1965. Raibnya aspek kelahiran kesadaran kelas dalam kebangkitan
nasional Indonesia ini memiliki pencapaiannya tersendiri, yakni mampu melintasi
perbedaan rasial.
VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel, Serikat
Buruh Kereta Api dan Trem) menjadi saksi bisu kelahiran kesadaran kelas yang
mampu menyatukan berbagai ras di Hindia Belanda. Kesadaran itu terjadi di
tingkatan para buruh-pekerja kelas bawah dan menengah yang selama ini hanya
menjadi sekrup-sekrup perekonomian kolonial. Suatu hal yang sangat berkebalikan
bak bumi dan langit dibandingkan dengan Budi Utomo yang terdiri dari para
priyayi elit yang terdidik.
Gambar 1. Para Pengurus Pusat VSTP mengambil potret di dalam gedung
VSTP tahun 1923. Berurutan dari duduk kiri ke kanan, Semaun, Ketua VSTP (No.
1); Soedibio, Kepala Redaksi media VSTP berbahasa Melayu Si Tetap (No. 4);
Abdoelrachman, Propagandis VSTP yang digaji penuh (No. 5); Soegono, Kepala
Redaksi media VSTP berbahasa Belanda De Volharding (No. 3); Kadarisman,
Sekretaris VSTP (No. 2); Potret foto di atas berturut-turut dari kiri ke kanan,
Zainoeddin (Pengurus VSTP Cabang Kota Raja, kini Aceh); F.A. Zeijdel, Bendahara
VSTP (No. 6); Mohammad Ali, Bendahara VSTP (No. 7); dan Abdoelwahab, Pengurus
VSTP Cabang Padang (No. 9) (Sumber Foto: Rianne Subijanto, 2017, Enlightenment
and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia, dalam International Journal
of Communication 11, hlm. 1366).
Enam bulan setelah Budi Utomo didirikan di Batavia (kini
Jakarta), VSTP didirikan di Semarang pada 14 November 1908. Dua organisasi yang
kemudian menonjol dalam awal sejarah pergerakan Indonesia tersebut sama-sama
dilahirkan di tahun yang sama. Sebelum meninjau lebih dalam mengenai luputnya
kesadaran kelas dalam narasi kebangkitan nasional, terlebih dahulu patut
menengok lebih jauh perayaan pertama kali peringatan kebangkitan nasional di
era Indonesia merdeka. Peringatan itu dilaksanakan saat kancah Revolusi
Indonesia yang sedang berlangsung di medan-medan pertempuran dan diplomasi dari
meja satu ke meja perundingan lain.
Dari ‘Kebangunan
Nasional’ Menuju ‘Kebangkitan Nasional’
Revolusi Indonesia begitu berwarna. Pada tanggal 23 Januari
1948, Kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifuddin (1907-1948, menjabat 1947-1948)
jatuh dan bubar. Presiden Sukarno (1901-1970) langsung meminta Wakil Presiden
Muhammad Hatta (1902-1980) untuk segera membentuk kabinet baru.
Pasca kejadian ini kondisi politik dalam negeri makin
meruncing dikarenakan sejumlah partai dan organisasi massa politik yang terbagi
sesuai orientasi ideologi mereka masing-masing. Rasa persatuan di kalangan
semua golongan politik Indonesia menjadi kunci yang senantiasa dipikirkan Presiden
Sukarno untuk memenangkan dan melampaui revolusi yang sedang berkecamuk.
Sebuah momentum diperlukan guna mengikat kembali semua kekuatan
politik Indonesia yang semakin menajam satu sama lain. Para pelaku sejarah
pergerakan Indonesia yang masih hidup diminta Presiden Sukarno untuk turun
gunung kembali. Ki Hajar Dewantara (1889-1959), salah satu di antara mereka
yang masih hidup, terpilih menjadi ketua peringatan sebuah momentum yang bakal
menyatukan insan-insan dan organisasi politik Indonesia. Pilihan itu tidak
salah, Ki Hajar Dewantara beserta komisinya memilih Budi Utomo dan hari
kelahirannya sebagai momentum berharga untuk konsolidasi kekuatan dan persatuan
politik Indonesia.
Budi Utomo berdasarkan kondisi politik saat itu merupakan
opsi yang paling netral dibandingkan organ-organ pergerakan lain yang sudah
memiliki corak ideologi masing-masing. Budi Utomo menjadi pilihan tepat dikarenakan
ia menjadi sumber inspirasi paling netral. Organisasi priyayi dan
pelajar-pelajar muda Jawa ini bergerak di isu perjuangan pendidikan dan yayasan
beasiswa.
Nama Dokter
Wahidin Sudirohusodo (1852-1917) menjadi figur sentral dalam inisiatif pendirian
Budi Utomo, selain pendiri lain yang menonjol seperti Dokter Sutomo (1888-1938)
dan Dokter Gunawan Mangunkusumo. Sepanjang 10 tahun pertamanya, Budi Utomo
sudah membuka diri bagi etnis-etnis lain untuk bergabung dalam keanggotaan.
Nomenklatur awal yang diperkenalkan pada publik dari
kelahiran Budi Utomo itu bernama ‘Hari Kebangunan Nasional.’ Acara berlangsung
begitu khidmat pada malam hari 20 Mei 1948 di Istana Agung, Yogyakarta.
Presiden Sukarno mengakhiri pidatonya dengan kembali menekankan rasa persatuan
di kalangan semua insan politik Indonesia.
“Saudara-saudara! Mari berjalan terus! Bersatu, untuk
merdeka! Merdeka, untuk sejahtera! Sejahtera, karunia Tuhan! Merdeka, Sekali
Merdeka, Tetap Merdeka!”, demikian Sukarno menutup pidatonya yang berjudul ’40
Tahun Kebangunan Nasional’ (Mimbar Indonesia, 12 Juni 1948, hlm. 5-9).
Acara itu sendiri diakhiri dengan penanda-tanganan
pernyataan persatuan nasional dari setiap oleh pemimpin-pemimpin rakyat yang
terdiri dari semua pimpinan organisasi politik. Penandatanganan itu disaksikan
semua hadirin dengan didampingi Ki Hajar Dewantara selaku ketua panitia Hari
Kebangunan Nasional.
Nomenklatur ‘Hari Kebangunan Nasional’ terus dipakai
hingga tahun 1955. Pada tahun 1958, nomenklatur ini sudah berubah menjadi ‘Hari
Kebangkitan Nasional.’ Nampaknya dalam dua tahun, 1956-1957, terjadi perubahan
di kalangan elit untuk mengubah diksi nomenklatur dari yang semula ‘Hari
Kebangunan Nasional’ menjadi ‘Hari Kebangkitan Nasional.’ Perihal ini
diperlukan sebuah penelitian dan studi mendalam untuk mengungkap perubahan di
atas. Selanjutnya hingga tahun 2018 dan masa-masa yang akan datang, nomenklatur
‘Hari Kebangkitan Nasional’ dengan akronim Harkitnas akan terus dipakai di
Indonesia.
110 Tahun VSTP,
110 Tahun Kebangkitan Nasional
Melihat kebutuhan jiwa zaman pada tahun 1948 yang
memerlukan momentum persatuan nasional dengan sebuah peringatan yang bersifat
netral, maka dapat dimengerti jika VSTP yang juga berdiri di tahun yang sama
dengan Budi Utomo bukanlah sebuah pilihan. VSTP sebagai organ buruh tentu
memiliki corak ideologi dan warna gerakan yang berbeda dengan Budi Utomo.
Di sisi lain, fakta bahwa VSTP juga menjadi agen
pendorong pergerakan dan kebangkitan bangsa tidak dinafikan. Terlebih pasca
Reformasi 1998 yang tahun ini diperingati 20 tahunnya, tantangan demokratisasi
sejarah merupakan keniscayaan. Demokratisasi sejarah itu meliputi penggalian
kembali narasi-narasi yang dibungkam maupun yang raib dari khazanah
historiografi Indonesiasentris, termasuk luputnya narasi buruh dan
perjuangannya dalam narasi Kebangkitan Nasional.
VSTP merupakan reaksi dari pendirian Staatspoorwegen
Bond (SS Bond, Serikat Buruh Kereta Api Negara) yang didirikan pada tahun
1905. Sekalipun organisasi ini terdiri dari pekerja Belanda dan Bumiputera,
namun yang boleh memegang pimpinan organisasi ialah mereka yang berkebangsaan
Belanda. SS Bond juga tidak berhasil memperjuangkan kepentingan kaum buruh. SS
Bond bahkan tidak memberikan hak suara kepada anggota kulit berwarna.
Rasionalitas jumlah pekerja Bumiputera yang lebih banyak dibandingkan pekerja
bangsa Eropa maupun Indo cukup mengganggu pergerakan buruh yang mulai mengenal
sosialisme di Hindia Belanda dalam gelombang global Internasionale II
(1889-1917). Rasialisme dan semua pembedaan yang mengikutinya dalam bidang
lapangan pekerjaan dirasakan sebagai batu sandungan yang harus dipecahkan dalam
gerakan sosialisme.
Tahun 1908 menjadi panggung kelahiran VSTP yang lebih
memberi porsi proporsional bagi gerakan buruh yang tidak mengenal sekat kulit
sekaligus menempatkan kepemimpinan yang sportif bagi kalangan Bumiputera.
Sejarawati Mona Lohanda dalam skripsi berjudul Vereeniging van Spoor en
Tramweg Personeel in Nederlandsch-Indie, Sebuah Studi Pendahuluan (1975:
39) menunjukkan permulaan VSTP hanya terdiri dari 188 anggota. Sebagian besar
anggota pertama ialah para pekerja rendahan dan personil kereta api serta trem
milik swasta. Ketua dan Sekretaris pertama VSTP ialah C.J. Hulshoff dan H.W.
Dekker.
Gambar 2. Kiri, Gedung VSTP tampak dari luar saat masih beroperasi
dengan alamat Heerenstraat, Semarang. Kanan, Kondisi Gedung VSTP pada tahun
2015 yang kini berada di Jl. Purwodinatan, Semarang. Sumber Foto: Dokumentasi
KPS (Komunitas Pegiat Sejarah) Semarang kepada Tribun Jateng dalam
‘Gedung Tua di Kota Lama Semarang Ternyata Bekas Kantor Pusat VSTP’ oleh Yayan
Isro Roziki, Senin 8 Juni 2015 pukul 18.20 WIB.
Pada tanggal 12 Februari 1909, Gubernur Jenderal J.B. van
Heutsz (1851-1924, menjabat 1904-1909) menerbitkan Surat Keputusan No. 23 untuk
hak badan hukum VSTP. Pada 6 bulan pertama, VSTP memiliki 1.374 anggota dengan
sebaran 12 cabang (afdelingen) di Jawa. Jumlah itu terdiri dari 520 pekerja
bangsa Eropa (termasuk Indo), 850 Bumiputera, dan 4 Cina. John Ingleson,
Sejarawan dengan konsentrasi sejarah perburuhan, mencatat dalam bukunya Tangan
dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial (2004:
103) mencatat bahwa VSTP dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun
1926 menyusul aksi-aksi yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Setahun
sebelumnya, VSTP telah memiliki 77 cabang di seantero Hindia Belanda dengan
8.292 anggota.
Sejarah VSTP yang berlangsung selama 18 tahun itu terdiri
dari dua periode, yakni 1908-1914 dan 1914-1926. Pada periode pertama, VSTP
bersifat administratif sedangkan pada periode keduanya VSTP makin progresif dan
militan memperjuangkan keadilan sosial bagi para pekerja kereta api dan trem.
VSTP juga mengeluarkan dua media guna menjembatani komunikasi antar bahasa bagi
para anggotanya.
Kedua media itu ialah Volharding dan Si
Tetap. VSTP jugalah yang menyediakan panggung bagi kiprah kepemimpinan buruh
Bumiputera. Nama-nama itu antara lain Muhammad Yusuf, seorang juru tulis di
Staastpoor Semarang dan salah satu pendiri Sarekat Islam Cabang Semarang dan
Semaun (1899-1971), anak seorang buruh kereta api yang dalam usia belia telah
terjun ke kancah pergerakan perburuhan. Semaun sendiri kemudian menjadi ketua
legendaris VSTP.
Gambar 3. Tanda tangan Semaun sebagai Ketua VSTP dalam suratnya kepada
Henk Sneevliet tertanggal 26 Agustus 1921 yang dikirim dari Semarang. Sumber
Foto: Khazanah Arsip Henk Sneevliet Koleksi IISG (Internationaal Institut voor
Sociale Geschiedenis), Amsterdam nomor inventaris 207.
H.J.F.M. Sneevliet atau Henk Sneevliet (1883-1942)
merupakan figur yang tidak terpisahkan dari usaha menciptakan jembatan-jembatan
antar ras bertemu dan bergerak dalam medan perjuangan perburuhan di Hindia
Belanda. VSTP menginisiasi serangkaian tuntutan dan pemogokan hingga yang
terbesar pada Mei 1923. Tidak berlebihan jika rumah dinas Kereta Api Indonesia
yang mayoritas buatan Belanda masih tegak hingga hari ini merupakan saksi bisu
sekaligus jejak tersendiri bagi perjuangan Serikat Buruh Kereta Api dan Trem
bernama VSTP itu. Kokohnya bangunan itu menggambarkan setiap guratan tuntutan
kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kelas pekerja di negeri jajahan. Salah
satu di antaranya ialah isu perumahan layak huni bagi buruh.
VSTP sebagai monumen perjuangan kaum buruh dan kesadaran
kelas pada akhrnya menghantarkan sebuah cita-cita hakiki bernama kemerdekaan
dari sebuah negeri yang adil dan makmur bernama Tanah Air Indonesia. Tidak
salah momentum 20 Mei ini menjadi peringatan 110 Tahun VSTP sekaligus 110 Tahun
Kebangkitan Nasional. Sekian banyak pekerjaan rumah bagi historiografi
Indonesiasentris mengenai isu perburuhan yang luput dan belum tergarap untuk
dikerjakan. Sembari itu, di era Indonesia Merdeka ini cita-cita keadilan sosial
kaum buruh masih harus terus diperjuangkan.
*Peneliti Pusat
Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya, Malang
0 komentar:
Posting Komentar