Kamis, 17 Mei 2018
Rakyat Indonesia dikejutkan oleh rentetan pemboman satu minggu terakhir ini. Tetapi ada yang sungguh berbeda dengan pemboman kali ini dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya, yang membuatnya tampak di luar nalar. Pelaku adalah 3 keluarga, dengan bapak ibu yang mengikutsertakan anak-anak mereka dalam aksi bom bunuh diri. Kegeraman di antara rakyat luas terhadap terorisme pun menjadi berlipat, karena melihat anak-anak tak berdosa yang dilibatkan dalam aksi keji ini. Banyak yang merasa kalau kita sedang memasuki sebuah zaman yang “edan” dan sungguh mereka tidak terlalu jauh dari kebenaran.
Serangkaian pemboman bunuh diri ini diinspirasi oleh ISIS dan dilaksanakan secara terencana di bawah arahan kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD), salah satu faksi pendukung ISIS terbesar di Indonesia. ISIS sendiri lewat medianya Amaq telah mengklaim serangan-serangan ini.
Semua pihak telah mengutuk terorisme semacam ini sebagai kebiadaban yang paling keji, sebagai kegilaan yang hanya bisa lahir dari orang-orang yang pikirannya sudah tercuci oleh ekstremisme. Tetapi dari mana datangnya kegilaan ini? Dan mengapa kegilaan ini mengunjungi kita hari ini?
Asal Usul JAD dan ISIS
Sebelum JAD dan ISIS, momok Islam Fundamentalis atau ekstremisme adalah Al-Qaeda bentukan Taliban. Mereka mengumumkan ke seluruh dunia awal dari aksi teror mereka dengan pukulan besar ke jantung kekuatan imperialis AS pada 11 September 2001. Pemerintah AS membalas dengan meluncurkan invasi ke Afghanistan, dengan sumpah bahwa mereka akan membebaskan rakyat Afghanistan dari cengkeraman rejim Islam Fundamentalis Taliban dan membawa demokrasi dan kesejahteraan ke sana. Tetapi AS dan kekuatan-kekuatan imperialis lainnya dengan nyaman melupakan bahwa merekalah yang membina dan mendanai kekuatan-kekuatan Islam Fundamentalis di Timur Tengah untuk melawan gerakan sosialis.
Khususnya di Afghanistan, pada 1980an AS mendanai kekuatan-kekuatan gelap Islam Fundamentalis untuk meremukkan Revolusi Saur yang meledak di Afghanistan pada 1978. Revolusi Saur adalah sebuah revolusi populer yang bertujuan menghancurkan despotisme, feodalisme, pertuantanahan, dan imperialisme yang mencekik rakyat Afghanistan. Revolusi ini menelurkan sejumlah dekret progresif yang menghapus hutang kaum tani terhadap kaum tuan tanah dan tengkulak; menyita tanah dari kaum feodal dan tuan tanah besar dan mendistribusikannya ke kaum tani miskin; memastikan persamaan hak bagi perempuan; menghapus relasi feodal-patriarkal di antara suami dan istri; mengkriminalisasi pernikahan bawah umur dan pernikahan paksa; dan berbagai kebijakan modernisasi lainnya yang bertujuan membawa Afghanistan keluar dari peradaban gelap. Revolusi Saur diinspirasi oleh nilai-nilai sosialisme, dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya tidak bisa tidak mengarah ke penghancuran relasi feodal dan kapitalis di sana.
Kekuatan imperialis tidak ingin Afghanistan menjadi negara komunis, yang pengaruhnya bisa menyebar ke Pakistan, India, dan wilayah Timur Tengah. Untuk menghancurkan kekuatan komunis, AS lantas bersandar pada kekuatan anti-komunis, dan satu-satunya kekuatan anti-komunis yang bisa diandalkan di Afghanistan adalah kaum Islamis Fundamentalis, yang nantinya menjadi cikal bakal Taliban dan Al-Qaeda. Menurut satu estimasi yang paling konservatif, AS mengucurkan 600 juta dolar AS (8,5 triliun rupiah) untuk mendanai kaum Isfun, yang menyebut diri mereka Mujahideen. Selain menerima bantuan dari AS, kaum Mujahideen juga menerima ratusan juta dolar dari Arab Saudi untuk memerangi rejim Revolusi Saur dan kekuatan Soviet yang menyokongnya.
Setelah rejim Revolusi Saur berhasil diruntuhkan pada 1992, Afghanistan dikuasai oleh kaum Islamis Fundamentalis di bawah rejim Taliban. Di bawah rejim Taliban, hukum Syariat diterapkan dengan cara yang paling ekstrem dan reaksioner, dimana kaum perempuan secara efektif menjadi warga kelas kedua dimana semua hak-haknya dikekang, seperti tidak diperbolehkan sekolah, tidak boleh bekerja, tidak boleh naik motor, dsb. Relasi feodal dan tribalisme, yang dikombinasikan dengan interpretasi Islam yang reaksioner, menyeret seluruh masyarakat Afghanistan ke peradaban gelap.
Kemiskinan merajalela dan ekonomi menjadi terbelakang karena kekangan Taliban terhadap seluruh aspek kehidupan, sehingga seluruh perekonomian Afghanistan harus disokong lewat produksi opium dan heroin, yang menyuplai 90% permintaan dunia.
Kendati semua pembicaraan oleh negeri-negeri kapitalis Barat mengenai demokrasi dan hak kaum perempuan, mereka lebih memilih menyerahkan rakyat Afghanistan ke tangan kaum Islamis Fundamentalis yang paling reaksioner alih-alih melihat rakyat Afghanistan membebaskan diri mereka dari belenggu feodalisme. Masalahnya, anjing-anjing gila ini kemudian berbalik menggigit tangan sang tuan. Al-Qaeda menjadi jaringan teror mendunia dengan agenda mereka sendiri.
Setelah menderita serangan 11 September, AS serta NATO memutuskan untuk memukul mati anjing-anjing gila yang tidak tahu terima kasih ini. Invasi ke Afghanistan diluncurkan pada 2001 untuk menghancurkan Taliban. Namun, tidak disangka, kekuatan gelap yang sudah dihidupkan oleh imperialisme AS ini tidak bisa begitu saja dipadamkan dengan mudah. Ia telah menjelma menjadi monster Frankenstein. Sampai hari ini Afghanistan masih sangat tidak stabil. Kekerasan-kekerasan sektarian dan bom-bom terus mengguncang negeri ini. Pemerintahan boneka AS di Afghanistan de fakto hanya punya kendali di Kabul dan sekitarnya, sementara wilayah luas Afghanistan ada di bawah kuasa Taliban secara langsung atau tidak langsung.
AS juga menggunakan dalih 9/11 untuk menyerbu Irak dan menumbangkan rejim Saddam Husein. Ini menciptakan ketidakstabilan yang bahkan lebih parah di wilayah Timur Tengah. Mudah untuk menumbangkan sebuah rejim secara militer, tetapi satu tantangan yang jauh sangat berbeda untuk bisa mendirikan rejim baru yang stabil di Irak yang terpecah-pecah. Kekacauan akibat intervensi imperialis di Irak ini menciptakan lahan subur bagi perkembangan lebih lanjut Islam Fundamentalis. Di Irak-lah pendukung Al-Qaeda bermetamorfosis menjadi varian Islam Fundamentalisme yang bahkan lebih fanatik, ekstrem dan keji, yang kita kenal hari ini dengan nama ISIS.
Setelah Revolusi Arab memukul rejim Assad di Suriah, imperialisme AS mengira bahwa mereka bisa menggunakan kesempatan ini untuk menggulingkan Assad. Mereka lempar dukungan penuh mereka ke kelompok-kelompok anti-Assad yang notabene mayoritas adalah kaum Islamis Fundamentalis dengan hubungan langsung atau tidak langsung dengan Al-Qaeda dan ISIS. Bersama-sama dengan Arab Saudi dan Qatar, yang juga punya kepentingan di Suriah, AS mengucurkan ratusan juta dolar bantuan militer ke kelompok-kelompok Islamis anti-Assad yang mereka sebut “moderat”. Tetapi pada kenyataannya tidak ada kelompok Islamis moderat di Suriah, dan de fakto kekuatan imperialis mempersenjatai kelompok-kelompok Islamis Fundamentalis. Hal yang sama terjadi di Libya, dan kekacauan besar akibat intervensi imperialis di kedua negeri penting di wilayah tersebut menciptakan lahan subur bagi berkembangbiaknya ISIS. Irak, Suriah dan Libya yang porak poranda menjadi basis ISIS untuk menyebarkan jaring-jaring terornya ke seluruh dunia. Dari sinilah kita bisa telusuri asal mula sel-sel teroris di Indonesia, yang terutama: Jemaah Islamiyah (Al-Qaeda) yang bertanggung jawab atas pemboman Bali 2002, Marriot 2003, Dubes Australia 2004, Bali 2005; dan JAD (ISIS) yang meluncurkan pemboman Surabaya baru-baru ini. Mereka pada analisa terakhir adalah konsekuensi tak terelakkan dari imperialisme.
Mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya
Setelah pemboman di Surabaya, semua politisi dan pengamat politik tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan mengecamnya dan bersumpah akan mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya. Rakyat lantas disuguhi drama politik saling menyalahkan, apalagi tahun depan akan ada pemilu. Fadli Zon dari Gerindra, lewat cuitannya, menyalahkan pemerintahan Jokowi yang dianggap lemah dalam menghadapi ancaman terorisme. Sementara Gerindra dituduh telah menghalang-halangi rampungnya RUU Terorisme, yang dianggap oleh lawan-lawannya Gerindra sebagai senjata pamungkas untuk menangkal terorisme.
Namun ketika pemerintah Jokowi ingin tegas dengan merampungkan RUU Terorisme agar memberi aparatus keamanan lebih banyak taring, Gerindra menjelma menjadi pembela HAM. Fadli Zon meminta agar kerangka HAM dihormati dalam pemberantasan terorisme, supaya “tidak asal tangkap”. Ia mengingatkan agar definisi terorisme dalam RUU Terorisme tidak semena-mena sehingga mengancam HAM dan demokrasi: “Jangan dijadikan ini semacam nanti alat untuk melanggar HAM di masa yang akan datang. Dipakai untuk kepentingan politik, kepentingan yang lain di luar untuk memburu teroris.” Ini datang dari partai yang sama yang ketua umumnya Prabowo adalah pelanggar HAM besar, yang bertanggung jawab menculik dan menyiksa aktivis pada jaman Orde Baru. Dimana Fadli dengan celoteh HAMnya ketika buruh, tani dan kaum miskin kota hak-haknya diinjak-injak, serikatnya diberangus, gajinya tidak dibayar, tanahnya diserobot, rumahnya digusur? Namun tidak hanya Gerindra saja. Semua partai politik hari ini diisi oleh elemen-elemen lama dan lanjutan dari rejim Orde Baru, dimana demokrasi dan HAM hanya jadi buah bibir kalau bersangkutan dengan rakyat pekerja. Kemunafikan dari Gerindra ini hanya adegan politik untuk mencetak skor untuk pemilu tahun depan.
Mari kita kembali ke usaha pemerintahan Jokowi untuk memberi aparat keamanan sarana-sarana yang diperlukan untuk bisa memerangi terorisme, dari RUU Terorisme, Perppu, sampai ke pembentukan semacam unit khusus anti-terorisme yang baru. Para pakar keamanan meributkan metode terbaik untuk memerangi terorisme. Semua yakin kalau cara yang diajukannya adalah yang paling mampu mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya. Tetapi tidak ada satu pun yang mampu memberi menjelaskan akar terorisme Islamis Fundamentalis hari ini.
Seperti yang telah kita paparkan di atas, akar dari terorisme Islam Fundamentalis adalah imperialisme. Di Indonesia, akar ini menancap lebih dalam dan tumbuh subur karena metode politik pecah-belah agama yang kerap digunakan oleh kelas penguasa dan para politisi serta “pemuka agama” bayaran mereka. Pada Pilkada Jakarta kemarin, selapisan kelas penguasa memobilisasi FPI serta preman-preman berjubah putih reaksioner lainnya untuk mengobarkan kampanye Bela Islam guna menyingkirkan Ahok yang non-Islam. Pesan agar umat Islam harus memilih gubernur yang juga Islam – sampai sejumlah masjid menolak mensalatkan jenazah pendukung Ahok karena dianggap menistakan agama – disebar luas untuk memecah rakyat ke dua kubu: kubu Islam melawan kubu non-Islam. Politik pecah-belah agama ini jelas akan digunakan lagi pada pilpres tahun depan, dimana Amien Rais, yang juga memimpin aksi 212, lewat komentarnya “Partai Allah versus Partai Setan” jelas telah mengambil ancang-ancang ke arah sana.
Oleh karenanya menjadi lelucon yang tidak lucu ketika ketua Bidang Advokasi Gerindra, Habiburokhman mengatakan bahwa satu cara menghapus radikalisme adalah dengan semangat aksi 212. “Kita lawan radikalisme dengan semangat 212, semangat perdamaian dan semangat saling menghormati perbedaan,” tandasnya. Tidak ada yang damai sama sekali dengan aksi 212 dan kampanye politik di seputarnya, yang merupakan kampanye pecah-belah agama.
Kelas penguasa Indonesia selalu memelihara elemen-elemen reaksioner yang siap sedia menggunakan Islam untuk memecah belah rakyat. Prasangka-prasangka terbelakang rakyat pekerja terus disulut, bukan hanya prasangka agamis, tetapi juga rasial, suku, golongan, dsb. Tepat 20 tahun yang lalu ketika artikel ini ditulis, kita ingat betul bagaimana sentimen anti-Cina dikobarkan oleh rejim Orba agar rakyat pekerja mengarahkan kemarahan mereka pada kaum Keturunan dan bukannya pemerintah yang sesungguhnya bertanggungjawab atas penderitaan mereka. Dengan demikian, apa tidak heran kalau lantas ada selapisan rakyat yang sungguh percaya kalau dunia yang mereka huni adalah dunia dimana kekuatan Islam sedang bertempur melawan kekuatan-kekuatan non-Islam yang terus mengancamnya, bahwa oleh karenanya adalah tugas umat Islam untuk membela agamanya dengan cara apapun dari gempuran kekuatan kafir. Jamaah Islamiyah dan JAD hanya merupakan konsekuensi ekstrem namun logis dari semua ini.
Untuk itu, kelas penguasa Indonesia-lah yang bertanggung jawab atas menguatnya Islam Fundamentalisme dan terorisme yang menyertainya. Tidak akan pernah ada perangkat hukum, kekuatan polisi dan militer, serta intel yang mencukupi untuk mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya, terlebih karena kelas penguasa punya kepentingan memelihara kekuatan fundamentalisme. Bukankah AS dan negeri-negeri maju lainnya memiliki aparatus keamanan yang paling maju, yang menerima dana ratusan juta dolar untuk memerangi terorisme, dengan jaring-jaring pengawasan yang dapat mendengar percakapan semua warganya, dengan penjara-penjara rahasianya seperti Guantanamo yang menahan ratusan teroris? Ini tidak menghentikan serangan teroris sama sekali di AS ataupun Eropa.
Kebuntuan kapitalisme dan masa depan Sosialisme
Krisis ekonomi, politik dan sosial yang melanda kapitalisme hari ini adalah latar belakang utama bagi kebangkitan paham-paham ekstrem. Ketika masyarakat tampaknya memasuki jalan buntu, dengan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, degradasi moral di antara pemimpin-pemimpin dunia, dan perang tanpa henti, maka gagasan-gagasan spiritual ekstrem menjadi penjelasan yang masuk akal di antara selapisan rakyat yang resah akan situasi di sekeliling mereka. Keresahan ini tidak terbatas pada lapisan rakyat miskin saja, tetapi bahkan sebenarnya lebih memukul kelas menengah, yang sebelumnya kehidupannya stabil tetapi dengan krisis kapitalisme kestabilan tersebut terancam. Kelas menengah umumnya mengenyam pendidikan lebih tinggi dan oleh karenanya lebih mampu mengkaji kekacauan dunia di sekitar mereka, tetapi kajian mereka dangkal dan reaksioner. Inilah mengapa kita tidak perlu terkejut ketika banyak kaum Jihadis dan pemimpin mereka datang dari latar belakang kelas menengah dan borjuis kecil. Kita tidak perlu terkejut ketika pelaku pemboman Surabaya bukan datang dari lapisan miskin. Lapisan kelas menengah dan borjuis kecil memang secara historis selalu menjadi basis dari kekuatan reaksioner.
Ketika masyarakat hari ini – yakni kapitalisme – sudah tidak bisa lagi menawarkan masa depan, maka jawabannya terletak pada masa lalu, kembali ke nilai-nilai Islam yang lama dan “murni”, setidaknya Islam menurut apa yang ada dalam benak dari para pemimpin Jihadis ini. Di sini ideologi dan gerakan Islam Fundamentalis menjadi salah satu refleksi dari kebangkrutan kapitalisme, seperti halnya Hindu Fundamentalis di India, atau Budha Fundamentalis di Myanmar dan Sri Lanka, atau Kristen Fundamentalis di AS. Fundamentalisme religius adalah pendistorsian dari penolakan rakyat terhadap status quo, yang ketika tidak bisa melihat ke masa depan maka menoleh ke masa lalu. Tetapi rakyat pekerja luas – setelah menyaksikan barbarisme dan kekejian dari Al-Qaeda dan ISIS – dengan cepat mengenali bahwa kegemilangan masa lalu yang dijanjikan oleh para pemimpin Jihadis ini ternyata berisi kegelapan yang pekat, dan dengan cepat menolaknya. Pada kenyataannya, penggunaan metode terorisme oleh kekuatan fundamentalis adalah tanda kelemahannya. Gerakan Islam Fundamentalis tidak memiliki basis massa yang luas dan kokoh.
Satu-satunya gagasan yang bisa menawarkan masa depan bagi umat manusia adalah sosialisme. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan perang hanya mungkin terjadi ketika segelintir orang menguasai tuas-tuas utama ekonomi dan politik. Babat kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang merendahkan martabat rakyat pekerja maka akan tergerus pula basis material yang menumbuhsuburkan fundamentalisme. Dengan menasionalisasi ekonomi, meletakkannya di bawah kepemilikan kolektif rakyat pekerja dan manajemen demokratik dan terencana oleh rakyat pekerja, maka kita bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah layak untuk semua orang yang ingin bekerja; kita bisa menjamin tanah untuk kaum tani, kesehatan gratis, pendidikan gratis dan berbagai program sosial yang akan mengangkat rakyat keluar dari kemiskinan. Ada kekayaan yang berlimpah hari ini, tetapi kekayaan ini dimonopoli oleh segelintir pemilik modal. Rebut ini dan kelola untuk kebutuhan rakyat, maka masa depan rakyat akan segera tampak cerah.
Pemerintahan sosialis juga akan menghentikan semua intervensi imperialis dan menjamin hak penentuan nasib sendiri yang sejati bagi semua negeri. Bila kaum buruh AS merebut kekuasaan dan membangun negeri sosialis di Amerika Serikat, maka hal pertama yang akan dilakukan oleh rejim sosialis ini adalah menarik mundur semua kekuatan militernya yang tersebar di seluruh dunia dan membubarkan angkatan bersenjatanya. Kaum buruh AS tidak punya kepentingan sama sekali untuk menindas rakyat Timur Tengah. Dengan demikian basis Islam Fundamentalis di Timur Tengah akan luluh lantak. Tanpa ada lagi kepentingan korporasi dan profit kapitalis, maka rakyat pekerja dari berbagai negeri dapat membangun persatuan kelas pekerja di atas basis duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Persaudaraan manusia yang sesungguhnya, tanpa memandang ras, suku, agama dan golongan, akan terbangun. Inilah masa depan sosialisme yang harus kita perjuangkan kalau kita tidak ingin kapitalisme menyeret peradaban kita ke kegelapan.
Sumber: MilitanIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar