Kamis, 3 Mei 2018 13:38Reporter : Ahda Bayhaqi
25 tahun kematian Marsinah. ©2018
Merdeka.com/Ahda Bayhaqi
25 Perempuan Pembela Demokrasi mendesak pemerintah
mengusut tuntas kasus kematian Marsinah. Terhitung Mei 2018, kematian tokoh
perempuan pejuang hak buruh ini memasuki tahun ke-25.
Pratiwi Febri
dari LBH Jakarta yang ikut tergabung
dalam Perempuan Pembela Demokrasi, mengatakan peristiwa Marsinah menjadi salah
satu gambaran penegakan hukum dan peradilan di Indonesia yang diwarnai dengan
rekayasa dan kepalsuan.
Sebab dalam kasus
yang menimpa Marsinah, para pelaku meski sudah dihukum 17 tahun, dalam tingkat
kasasi mereka bebas dari segala dakwaan. Padahal fakta-fakta kematian Marsinah
sudah terungkap jelas ketika dalam persidangan di pengadilan. Pratiwi menilai
kasus Marsinah sama dengan kasus-kasus HAM lainnya, yang enggan diungkap oleh
pemerintah.
"Oleh karenanya dalam peringatan 25 tahun kasus Marsinah, kami mendesak kepada negara, kami menyerukan kepada legislatif, eksekutif, yudikatif untuk kembali mengungkap kasus Marsinah dan menemukan siapa pelaku sesungguhnya, dan siapa aktor intelektual dari pembunuhan Marsinah yang semata-mata bukan hanya pembunuhan saja tapi di balik kematian Marsinah ada perjuangan buruh yang saat itu memperjuangkan kesejahteraannya," ujar Pratiwi ketika konferensi pers di gedung LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (3/5).
Indah Nurmasari
dari KontraS mengatakan momentum ini seharusnya menjadi tahun terakhir Presiden Joko Widodo menuntaskan
janjinya untuk menyelesaikan kasus HAM.
"Saat ini, tahun terakhir bagi pemerintah untuk membuktikan niat baiknya yang selalu digadang-gadang dari awal sekali," ucapnya.
Peringatan 25 tahun kasus Marsinah akan
dilaksanakan aksi di depan Istana Merdeka pada Selasa, 8 Mei 2018. 25 Perempuan
Pembela Demokrasi menuntut Komnas HAM membuka kembali dan mengusut tuntas kasus
Marsinah. Serta, pemerintah juga diminta untuk mengakui peristiwa kematian
Marsinah sebagai kasus kejahatan Hak Asasi Manusia.
Adapun 25
perempuan yang tergabung adalah Sumarsih (Penggiat aksi Kamisan), Sukinah
(Pejuang Kendeng), Melani Subono (Artis dan Penggiat Demokrasi), Saras Dewi
(Penggiat HAM), Dewi Nova (Aktivis), Lita Anggraeni (JALA PRT), Dian Septi
(Marsinah FM), Nining Elitos (KASBI), Dina Septi (LIPS), Leni Desinah (Sanggar
Anak Harapan), Jumisih (FBLP dan KBPI), Vivi Widyawati (Permpuan Mahardhika),
Ellena Ekarahendy (Serikat Sindikasi), Kartika Dewi (KPA), Tiasri Wiandani (SPN
PT Panca Prima), Putri Kalua (Jaringan Muda Setara), Pratiwi Febri (LBH
Jakarta), Gallyta Bawoel(FBTPI), Mutiara Ika (Permpuan Mahardhika), Luviana
(Pekerja Media), Asfinawati (YLBHI), Yati Andriani (KontraS), Suciwati
(Penggiat HAM), Khalisah Khalid (Walhi), Puspa Dewi (Solidaritas Perempuan).
Peristiwa
Pembunuhan Marsinah
Marsinah
merupakan aktivis dan buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), di Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur. Dia ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 silam, setelah tiga
hari sebelumnya menghilang secara misterius. Kematiannya diduga karena
keterlibatannya dalan aksi buruh menuntut hak buruh, mulai dari kenaikan upah,
upah lembur, fasilitas kerja dan cuti hamil untuk perempuan.
Marsinah kala itu
aktif dalam perencanaan aksi unjuk rasa dan mogok kerja 2 Mei 1993 di
Tanggulangin, Sidoarjo. Aksi tersebut dilandasi surat edaran Gubernur Jawa
Timur pada awal tahun, tentang imbauan kepada pengusaha agar meningkatkan
kesejahteraan buruh dengan menaikkan gaji hingga 20 persen gaji pokok.
Aksi dimulai pada
3 Mei. Sampai 5 Mei, 15 orang perwakilan karyawan termasuk Marsinah ikut dalam
perundingan dengan perusahaan. Namun, pada 5 Mei 13 orang, tanpa Marsinah,
digiring ke Kodim Sidoarjo karena dianggap sebagai penghasut dan dipaksa untuk
mengundurkan diri.
Marsinah sempat
mendatangi Kodim untuk mencari tahu keberadaan teman-temannya, namun malam itu
dia menghilang. Jenazahnya baru ditemukan pada 8 Mei di hutan Dusun Jegong,
Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dalam keadaan mengenaskan. Hasil
otopsi forensik mengungkap alat kelaminnya ditimahpanas.
Bos PT CPS, Yudi
Susanto divonis 17 tahun penjara, staf yang terlibat ikut divonis 12 tahun.
Namun, dalam tingkat kasasi di MA, mereka ditetapkan bebas dari segala dakwaan.
Dalam pengusutan kasus ini, tim khusus Polda Jatim dan Detasemen Intel Kodam
Brawijaya, disebut menuduh dan memaksa bos CPS dan bawahannya, mengaku sebagai
tersangka.
Bahkan, pengacara
Yudi Susanto mengatakan ada bentuk rekayasa untuk mengkambinghitamkan pelaku
sebagai pembunuh Marsinah. [dan]
Sumber: Merdeka.Com
0 komentar:
Posting Komentar