Oleh: Rocky Gerung - 21 Mei 2018
Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.
The middle ground is a notoriously exposed, dangerous, and ungrateful position.
— Isaiah Berlin
Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah politik kita.
Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai “kaum intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebarat-baratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan “kaum intelektual” sekadar “teknokrat” untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis.
Semua itu adalah modal etik yang kuat untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu.
Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitam berbaris diam di depan Istana Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi berharap jabatan komisaris BUMN, melainkan cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia dari negara yang seharusnya beradab.
Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu kalah pamor dengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk gunting pita dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presiden dan para keluarga korban penghilangan paksa; ada ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada apa dengan negara?
Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit. Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya.
Reformasi tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga. Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.
Tetapi ajaib. Justru demagogi semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum “intelektual pro status quo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal sehat dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami Pancasila!” Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya? Siapa yang bukan-Pancasila?
Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memelihara arogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dan dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu seminar ke seminar yang lain untuk didiskusikan. Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib! Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitung giliran berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karena sibuk menghitung pohon.
Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bila pikiran kaum intelektual menjadi konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bila tabiat kaum liberal menjadi oportunis?
Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi politik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di forum-forum media sosial, menumpuk sentimen, lalu terengah-engah memusuhi oposisi.
Hanya demi ketakutan kehilangan afiliasi dengan kekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkan fungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipil bergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM.
Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilah era ketika elektabilitas mengepung intelektualitas, era ketika para pengajar menjadi pemuja status quo. Kekurangan pikiran—itulah sinopsis reformasi hari ini.
"The middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu setelah ia mempelajari sejarah pikiran Eropa yang membawa banyak penderitaan manusia pada abad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik, kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita hari-hari ini.
Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma ini melalui public relation yang insinuatif: “Tidak ada tempat bagi kaum intoleran”. Negara telah membuat definisi yang justru patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegara dihilangkan oleh keangkuhan negara.
Kaum intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah para medioker yang patuh karena tak paham, dan takluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu diucapkan oleh seorang medioker. Politik yang absolutis juga dapat berlangsung dalam era transisi demokrasi ketika kaum medioker berbondong-bondong menuju Istana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri kepada kekuasaan.
Sekadar dipakai untuk “public relation”, tokoh-tokoh masyarakat sipil dari sektor agama dan kebudayaan juga memperkuat barisan “the middle ground” ini. Pluralisme adalah umpan politik yang dengan mudah dilahap barisan ini, karena kekuasaan memiliki seluruh perangkat untuk memaksimalkan kecemasan “kaum minoritas”. Setiap kali terjadi konflik sosial, pemerintah datang dengan solusi moral: kumpulkan pemuka agama.
Toleransi menjadi proyek ideologis negara, kendati dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu sekadar toleransi di antara umat beragama. Bahwa sumber ketegangan sosial itu adalah disparitas dan kesalahan kebijakan pemerintah, tak ingin diakui.
Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan dari mereka yang tak ingin dikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan, bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritik untuk memperbaiki konsepnya.
Dalam urusan publik, tugas si pejabat publik untuk memperbaiki kebijakan, karena ia digaji rakyat untuk itu. Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi sudah dimulai sejak presiden dilantik. Karena itu, ide mengganti presiden memang melekat pada tugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapi memang logis: sungguh dungu bila oposisi berniat tidak mengganti presiden. Karena itu, mengaktifkan oposisi, justru menjamin kekuasaan tidak menempuh tradisi primitifnya: pongah.
Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan? Tak perlu dijawab, karena politik bukan klinik psikologi. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologi dari kaum terdidik yang justru menjadi pemuja kekuasaan.
Dalam isu mutakhir hari ini, yaitu tentang usulan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan soal terorisme, pendukung utama usulan ini adalah justru kalangan terdidik dan aktivis masyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi.
Di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipil patuh karena fanatisme. Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dan merekalah yang kini menyelenggarakan public relations pemerintah. Ajaib, tapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahun reformasi: surplus fanatisme, defisit akal.
_________
Rocky Gerung, aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an.
Artikel dari para kolumnis adalah rangkaian dari laporan dapur redaksi Tirto mengenai 20 tahun reformasi. Kami menyiapkan sejumlah pembahasan lewat Kronik Reformasi, beberapa artikel lepas yang menyoroti beberapa peristiwa penting pada Mei 1998 lewat Mozaik, serta peristiwa politik yang menyulut huru-hara di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru lewat laporan Indepth. Kami juga mengajak Anda terlibat dalam peristiwa besar tersebut yang akhirnya mendorong Soeharto mundur lewat Tirto Visual Report.
— Isaiah Berlin
Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah politik kita.
Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai “kaum intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebarat-baratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan “kaum intelektual” sekadar “teknokrat” untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis.
Keangkuhan Negara
Reformasi adalah pulihnya kritisisme. Kekacauan ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto. Teknokrat mundur karena melihat perintah politik Cendana makin mengacaukan rasionalitas kebijakan kabinet. Nepotisme menjadi beban ekonomi. Tentara memutuskan mengambil jarak dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswa menempati ruang oposisi yang lebih frontal. Tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya hak asasi manusia, reformasi TNI, dan pemberantasan korupsi.Semua itu adalah modal etik yang kuat untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu.
Lihat Tirto Visual Report:
Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitam berbaris diam di depan Istana Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi berharap jabatan komisaris BUMN, melainkan cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia dari negara yang seharusnya beradab.
Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu kalah pamor dengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk gunting pita dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presiden dan para keluarga korban penghilangan paksa; ada ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada apa dengan negara?
Baca juga:
Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit. Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya.
Reformasi tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga. Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.
Tetapi ajaib. Justru demagogi semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum “intelektual pro status quo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal sehat dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami Pancasila!” Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya? Siapa yang bukan-Pancasila?
Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memelihara arogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dan dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu seminar ke seminar yang lain untuk didiskusikan. Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib! Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitung giliran berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karena sibuk menghitung pohon.
Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bila pikiran kaum intelektual menjadi konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bila tabiat kaum liberal menjadi oportunis?
Baca juga:
Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi politik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di forum-forum media sosial, menumpuk sentimen, lalu terengah-engah memusuhi oposisi.
Hanya demi ketakutan kehilangan afiliasi dengan kekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkan fungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipil bergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM.
Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilah era ketika elektabilitas mengepung intelektualitas, era ketika para pengajar menjadi pemuja status quo. Kekurangan pikiran—itulah sinopsis reformasi hari ini.
"The middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu setelah ia mempelajari sejarah pikiran Eropa yang membawa banyak penderitaan manusia pada abad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik, kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita hari-hari ini.
Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma ini melalui public relation yang insinuatif: “Tidak ada tempat bagi kaum intoleran”. Negara telah membuat definisi yang justru patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegara dihilangkan oleh keangkuhan negara.
Kaum intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah para medioker yang patuh karena tak paham, dan takluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu diucapkan oleh seorang medioker. Politik yang absolutis juga dapat berlangsung dalam era transisi demokrasi ketika kaum medioker berbondong-bondong menuju Istana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri kepada kekuasaan.
Sekadar dipakai untuk “public relation”, tokoh-tokoh masyarakat sipil dari sektor agama dan kebudayaan juga memperkuat barisan “the middle ground” ini. Pluralisme adalah umpan politik yang dengan mudah dilahap barisan ini, karena kekuasaan memiliki seluruh perangkat untuk memaksimalkan kecemasan “kaum minoritas”. Setiap kali terjadi konflik sosial, pemerintah datang dengan solusi moral: kumpulkan pemuka agama.
Toleransi menjadi proyek ideologis negara, kendati dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu sekadar toleransi di antara umat beragama. Bahwa sumber ketegangan sosial itu adalah disparitas dan kesalahan kebijakan pemerintah, tak ingin diakui.
Esensi Kritik
Kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu mengurai inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi dalam kebijakan pertama-tama harus dimulai dengan memeriksa inkoherensi dalam ide. Karena itu fungsi kritik adalah mengurai, bukan membangun. Itulah tugas utama akademisi.Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan dari mereka yang tak ingin dikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan, bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritik untuk memperbaiki konsepnya.
Dalam urusan publik, tugas si pejabat publik untuk memperbaiki kebijakan, karena ia digaji rakyat untuk itu. Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi sudah dimulai sejak presiden dilantik. Karena itu, ide mengganti presiden memang melekat pada tugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapi memang logis: sungguh dungu bila oposisi berniat tidak mengganti presiden. Karena itu, mengaktifkan oposisi, justru menjamin kekuasaan tidak menempuh tradisi primitifnya: pongah.
Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan? Tak perlu dijawab, karena politik bukan klinik psikologi. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologi dari kaum terdidik yang justru menjadi pemuja kekuasaan.
Dalam isu mutakhir hari ini, yaitu tentang usulan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan soal terorisme, pendukung utama usulan ini adalah justru kalangan terdidik dan aktivis masyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi.
Di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipil patuh karena fanatisme. Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dan merekalah yang kini menyelenggarakan public relations pemerintah. Ajaib, tapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahun reformasi: surplus fanatisme, defisit akal.
_________
Rocky Gerung, aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an.
Artikel dari para kolumnis adalah rangkaian dari laporan dapur redaksi Tirto mengenai 20 tahun reformasi. Kami menyiapkan sejumlah pembahasan lewat Kronik Reformasi, beberapa artikel lepas yang menyoroti beberapa peristiwa penting pada Mei 1998 lewat Mozaik, serta peristiwa politik yang menyulut huru-hara di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru lewat laporan Indepth. Kami juga mengajak Anda terlibat dalam peristiwa besar tersebut yang akhirnya mendorong Soeharto mundur lewat Tirto Visual Report.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar