Minggu 27 Mei 2018, 00:33
WIB - Erwin Dariyanto
Iqbaal Ramadhan (Minke) dan Mawar Eva de Jong (Annelis). (Foto:
instagram Bumi Manusia)
Jakarta - Akademisi Ariel Heryanto pernah beberapa
kali berkomunikasi langsung maupun lewat surat dengan Pramoedya Ananta Toer.
Kepada sang pengarang dia antara lain meminta konfirmasi tentang sosok Minke
dalam novel Bumi Manusia, apakah merujuk figur Tirto Adi Soerjo.
Tapi Pramoedya selalu menegaskan bahwa semua
novel-novelnya merupakan karya fiksi dan bukan sejarah. Dia menyerahkan kepada
masyarakat untuk menafsirkan novel-novelnya termasuk sosok Minke.
"Bagi beliau (Pram), pembaca boleh menafsirkan, menikmati atau menolak karyanya dengan alasan masing-masing," kata Ariel yang juga guru besar Monash University, Australia menjawab pertanyaan tertulis detikcom lewat surat elektronik, Sabtu (26/5/2018).
Meski novel itu masuk kategori fiksi, tapi menurut Ariel,
proses pembuatannya melalui penelitian sejarah yang sangat tekun.
Penelitian telah dilakukan Pramoedya jauh sebelum dia dibuang ke Pulau Buru
oleh penguasa Orde Baru, 1969-1979.
Dari sejumlah sumber yang didapatnya, menurut Ariel,
salah satu cara untuk menjaga kisah-kisahnya, Pram biasa menyampaikannya secara
lisan kepada sesama tahanan. Ketika di pengujung 1973 dia mendapatkan
mesin ketik dan kertas, kisah itu ditulisnya. Tapi begitu selesai, petugas lalu
menyitanya.
Pram kemudian mengisahkan kembali kisah-kisah tersebut
secara lisan. Setelah ada kesempatan menulis untuk kedua kalinya, Pram
menyelundupkan naskah yang dia ketik keluar dari Pulau Buru. Namun tak semua
naskah itu ditemukan utuh. Sebagian ada yang hilang atau masih belum jelas
rimbanya.
Ariel menduga kemungkinan besar ada lebih dari satu versi
naskah-naskah Bumi Manusia dan tiga novel lainnya yang dikenal
sebagai 'Tetralogi Pulau Buru'.
"Saya sendiri pernah membaca salinan sebagian dari naskah-naskah tersebut. Ada yang dari Pram sendiri, ada yang dari orang lain. Ternyata ketika diterbitkan, saya temukan sejumlah perbedaan antara versi naskah yang saya baca dan yang tercetak," jelas Ariel.
Novel "Bumi Manusia" dalam beberapa hari ini
ramai diperbincangkan publik terkait rencana sutradara Hanung Bramantyo
mengangkatnya ke layar lebar. Respons publik beragam. Melalui akun twitternya,
@ariel_heryanto, Jumat lalu, Ariel mengaku banyak mendapatkan pertanyaan
terkait rencana Hanung tersebut.
"Perasaan saya campur-aduk sedih/gembira. Sesedih ayah kehilangan putri kesayangannya karena akan menikah. Gembira menyaksikan ia punya kehidupan baru dan lebih panjang, walau tidak terjamin semuanya akan OK," cuitnya.
Tapi Ariel kemudian melanjutkan bahwa dirinya bukan
penulis atau penerbit novel itu. Dia merasa tak berhak merasa ikut-memiliki
seperti cinta ayah pada putri kesayangannya.
"Jika pemilik hak-cipta atau pewarisnya merestui, yah kita hormati saja. Dan Hanung salah satu sutradara terbaik RI saat ini."
Meski begitu, Ariel sepertinya termasuk yang skeptis
novel berlatar sejarah yang panjang itu dapat terakomodasi dengan baik ke dalam
film dengan durasi sekitar dua jam.
"Medium film 2 jam harus memilih sebagian kecil dari novel panjang. Ini sulit dan kejam. Karena ini film komersial, pemilihan itu tidak lepas dari pertimbangan komersial. Beda/berlawanan dari penulisan novelnya. Saya harus belajar bersiap kecewa," kicau Ariel.
Andai dirinya seorang sutradara atau produser film, yang
ingin dibuat oleh Ariel adalah film dokumentar tentang nasib si pengarang,
proses penulisan novel itu, serta kegaduhan ketika (buku tersebut)
diterbitkan.
Novel Bumi Manusia mengambil seting akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19. Novel ini berkisah tentang perjalanan Minke, seorang anak
pribumi dari keluarga priyayi. Dia bersekolah hingga HBS (Hogere Burger School)
atau setara SMA, jenjang pendidikan cukup tinggi bagi kaum pribumi.
Di tengah perjalanan, Minke jatuh cinta kepada Annelies,
putri Nyai Ontosoroh, perempuan simpanan atau gundik dari pengusaha Belanda,
Tuan Mellema. Dari Nyai Ontosoroh dan salah satu sahabatnya yang keturunan
Prancis, Jean Marais, Minke mendapat dorongan semangat untuk melawan Belanda.
Perlawanan itu antara lain dilakukan lewat tulisan-tulisan kritis di media
massa.
(erd/jat)
0 komentar:
Posting Komentar