Martin Sitompul | 28 Mei 2018, 22:04
Bagaimana otoritas militer Indonesia mulai mencampuri kehidupan politik dan ekonomi.
KSAD, Letjen Abdul Haris Nasution selaku Penguasa Perang Pusat membuka rapat penguasa-penguasa perang se-Indonesia setelah pusat-pusat pemberontakan PRRI dikuasai, 5 Agustus 1958. Foto: Repro buku "Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua".
Undang-Undang Terorisme akhirnya rampung. Dalam sidang paripurna yang digelar pada 25 Mei 2018, DPR mengesahkan revisi UU Antiterorisme. Perdebatan panjang membuat UU ini sempat mengendap sekian lama. Beberapa pasal menjadi sorotan. Salah satunya pasal 43 (ayat 1 dan 2) yang mengatur keterlibatan peran TNI. Sebagian kalangan, terutama dari Komnas HAM mengkhawatirkan bila keterlibatan militer akan memasuki domain sipil.
Dalam sejarahnya, militer memang pernah berkuasa dalam kehidupan bernegara. Berdirinya sejumlah dewan daerah yang menentang pemerintah pusat itu jadi momentum supremasi militer.
Pada akhir 1956, di Sumatera berdiri Dewan Banteng pimpinan Letkol Ahmad Husein; Dewan Gajah pimpinan Kolonel Maludin Simbolon; Dewan Garuda pimpinan Letkol Barlian. Di Sulawesi Utara Letkol Ventje Sumual mengumumkan piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 yang memberlakukan pemerintahan militer di daerah itu. Kelak, gerakan oposisi ini membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Tak sanggup mengatasi kemelut di daerah bergolak, Kabinet Ali mengembalikan mandatnya. Presiden Sukarno kembali memegang kekuasaan negara dibantu Kepala Staf Angkatan Darat, Letjen Abdul Haris Nasution.
“Tapi saya perlukan berlakunya UU Bahaya (SOB) agar dibolehkan bertindak menjaga keamanan negara secara menyeluruh,” ungkap Nasution dalam memornya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua. SOB (Staat van Oorlog en Beleg) yang dimaksud Nasution adalah peraturan yang menentukan keadaan darurat dan perang. Ditetapkan sejak zaman kolonial Belanda pada 1939 dan tetap berlaku setelah pengakuan kedaulatan.
Sukarno menyetujui usulan Nasution. Dia tetap memangku kekuasan tertinggi selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), sementara Nasution merangkap Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dan panglima militer di daerah menjadi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Dengan SOB, tentara punya legitimasi melakukan tindakan yang dianggap penting atas nama keamanan dan ketertiban negara.
Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya, SOB adalah suatu keputusan yang sebenarnya muncul atas desakan Nasution. Ia memperhitungkan, Sukarno yang bergaya penguasa tunggal itu nantinya bisa dikontrol oleh tentara. Dengan demikian, kesempatan bagi Angkatan Darat untuk tampil di tampuk pemerintahan terbuka lebar.
“Gaya kepemimpinan penguasa tunggal membuat Bung Karno kurang memperhatikan motivasi Nasution ini,” tulis Baskara dalam Bung Karno Menggugat
Keadaan berbahaya memberi ruang bagi militer menumpas gerakan PRRI dan Permesta lewat serangkaian operasi militer. Pun demikian halnya dengan perjuangan Irian Barat. Modernisasi angkatan perang hingga mobilisasi umum tak lepas dari pemberlakuan SOB.
Namun lamban laun, otoritas tentara kian meluas. Mereka dapat menangkap para oposisi atau orang yang dianggap koruptor, mengampu jabatan sipil, hingga menertibkan pers. Tak lagi berkutat soal pertahanan negara, melainkan merambah ke bidang politik dan ekonomi.
Pada September 1958, Nasution mengumumkan pembekuan Partai Masjumi di daerah-daerah yang mendukung PRRI dan Permesta. Pembekuan tersebut diikuti dengan penangkapan terhadap tokoh-tokoh partai bersangkutan. Perkara finansial, militer juga memperoleh tempat yang empuk setelah banyak perwira AD yang melibatkan diri dalam kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda.
”Kurangnya pengalaman dan keahlian pada sebagian besar perwira yang mengelola berbagai perkebunan dan perusahaan menjadi salah satu sebab timbulnya miss management dan turunnya produktivitas,” tulis Hariyono dalam disertasinya berjudul “Keadaan Bahaya di Indonesia (1957--1963) di Universitas Indonesia.“ Penguasa perang yang ditahun 1957 sangat tegas terhadap tindak korupsi sejak tahun 1958 cenderung permisif dan kurang berdaya dalam menertibkan perwira militer yang terlibat dalam tindak korupsi.
Keterlibatan peran tentara di sektor ekonomi tak lepas dari gagasan Nasution tentang “Jalan Tengah” yang didengungkan tahun 1958. Nasution dengan konsepnya tersebut mempersiapkan tentara untuk berperan ganda: sebagai kekuatan militer dan sebagai kekuatan sosial-politik. Doktrin inilah yang kelak dikembangkan menjadi “Dwi Fungsi ABRI”.
Keadaan bahaya di Indonesia baru berakhir pada 1 Mei 1963, tepat ketika Irian Barat resmi menjadi bagian kekuaan Republik. Situasi baru ini secara perlahan mulai mengurangi peran militer dalam pemerintahan. Para panglima menyerahkan kepada gubernur kekuasaan dan wewenang penyelenggara keamanan di masing-masing daerah.
Berlakulah lagi keadaan tertib sipil. Kendati demikian, sebagaimana dicatat Rosihan Anwar dalam Sukarno Tentara PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961—1965, hapusnya SOB tidaklah berarti kembali menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kendati benar-benar dicabut, menurut Haryono keterlibatan militer di luar bidang pertahanan sudah melembaga.
“Sehingga tak terlalu berpengaruh terhadap tatanan kehidupan politik dan ekonomi yang ada.”
0 komentar:
Posting Komentar