- Sun, 20 Mei 2018 | 00.01 wib
Pendirian Boedi Oetomo, 20 Mei 1908,
ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, momen itu menemu urgensinya
pada 1998. Saat itu, rakyat Indonesia dipelopori para mahasiswa turun ke jalan,
menuntut perubahan. Yayak Yatmaka merupakan
salah satu aktivis yang membidani gerakan itu. Berikut perbincangan wartawan Suara Merdeka Adhitia
Armitriantodengan eksponen pergerakan yang kini tinggal di
Yogyakarta itu.
Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam gerakan sosial pada masa Orde
Baru?
Waktu itu aku masih di ITB dan bersama rekanrekan mahasiswa yang lain
membuat gerakan menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden lagi. Namun lama
kemudian tentara menduduki kampus. Kemudian lahirlah kebijakan pemerintah yang
membubarkan lembaga dewan mahasiswa di seluruh kampus.
Sejak itu, aku memutuskan aktif di luar kampus. Dengan dasar belajar
komunikasi visual, tugasku mendukung kerja pengorganisasian rakyat dengan
menggambar karikatur, poster, dan media visual lain serta membantu
penerbitan-penerbitan.
Pada 20 Mei 1998, aksi massa
membuat Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden keesokan harinya. Apakah
itu bisa diartikan sebagai pemaknaan ulang kebangkitan nasional?
Yang harus
diingat, Soeharto turun tak berarti persoalan selesai. Sebab, musuh utama masih
ada, yakni neokolonialisme atau dalam bahasa Soekarno, nekolim. Masih ada
aturan-aturan yang berpihak pada asing. Masih banyak rakyat tak punya tanah.
Padahal, katanya negara ini adalah tanah airku. Masa rakyat tak bisa punya
tanah.
Kuncinya adalah
tata ulang negara. Pegangannya konsesus, yakni UUD 1945, dan titik sentralnya
Pasal 33. Gerakan revolusi mental bisa sebagai awalan. Namun kita butuh lebih
dari itu. Kalau terusterusan begini, saya skeptis.
Kalau ditanya
apakah mungkin membuat negara yang ideal, aku jawab, mari berkaca pada
pengelolaan kereta api saat ini. Dulu, alat transportasi itu semrawut, sering
terlambat, beberapa kali kecelakaan, stasiun tak nyaman. Namun sekarang sudah
berubah dan ternyata bisa kan. Memang harus kerja keras.
Saya pernah
tinggal di Jerman, negara yang kalah perang. Namun ternyata mereka bisa menjadi
negara maju. Artinya, di sana semua warga punya harga sama. Rakyat bernilai
sama dengan presiden. Ada sekolah gratis dan jaminan kesehatan tercukupi. Di
indonesia mesti juga bisa. Jika bercermin pada pengelolaan kereta api sekarang,
saya yakin bisa. Bersama-sama mari usahakan supaya terwujud. Harus kita petakan
unsur-unsur apa yang harus kita kejar.
Apa yang harus kita lakukan
untuk menciptakan perubahan agar bangsa ini bisa bangkit?
Kalau mau bikin
perubahan, datanglah ke mereka sejak dasar. Karena itu aku memilih bergabung
dengan rekan-rekan yang peduli pada anak-anak. Kalau mendatangi saat mereka
berusia remaja, sudah sedikit terlambat. Mayoritas keluargaku belajar di Taman
Siswa. Aku terkesan pada metode pendidikan di sana. Salah satunya lewat lagu.
Di situ jitu. Sebab, sampai tua kami semua masih ingat lagu-lagu itu dan
nilai-nilai yang terkandung. Dulu, seingatku ada pelajaran revolusi yang
mengajarkan lagu dengan mengambil kisah binatang di hutan. Dalam lirik lagu
tercantum kalimat "sesuai dengan panji-panji revolusi". Itu aku ingat
betul.
Aku lalu ingat
lagu pada iklan-iklan yang ditayangkan di media elektronik. Jinggel itu efektif
mengingatkan orang pada produk tertentu. Pendek, berulangulang. Suatu saat ada
bocah-bocah menyanyikan jinggel yang menurutku kurang pas anak-anak nyanyikan.
Untuk melawan, aku bikin beberapa lagu, seperti "Roti Matahari".
Liriknya hanya empat baris sehingga mudah dihapal. Cukup mengulang tiga kali,
mereka pasti hafal dan bernyanyi berkeliling. Lewat lagu itu sebenarnya aku
menitipkan nilai-nilai agar bisa langgeng.
Pernah, setelah
beberapa tahun, anak-anak yang dulu bersama kami, kemudian kumpul bersama.
Ternyata semua peserta masih hafal lagu-lagu itu. Bahkan anak-anak mereka yang
juga diajak ke pertemuan itu juga telah hafal. Sebenarnya itu adalah
dasar-dasar pengorganisasian dan kerja kolektif. Mengembalikan lagi kerja sama,
kesenangan, dan kooperatif.
Gambar Anda mengungkapkan
realisme sosial. Sebagian menyebut "kasar", bahkan rezim Orde Baru
tersinggung gara-gara penerbitan kalender bergambar milik Anda pada 1991 yang
berjudul "Tanah untuk Rakyat". Mengapa memilih cara itu?
Pada masa itu,
kita harus mencurigai setiap tata krama. Kami menanyakan semua, termasuk sopan
santun. Santun yang mana, wongmereka tak punya. Sawah yang hendak dibuat
lapangan golf langsung dibuldozer dan petani dipaksa. Jadi mereka yang mengajarkan
kami tak sopan.
Bagiku, tugas
seni rupa mencatat peradaban pada masa hidupnya. Itu saja. Aku tidak omong itu
indah atau nggak. Yang utama komunikatif karena sebagai catatan. Untuk itu ada
banyak cerita.
Pameranku di
ruang kesenian milik pemerintah pernah ditolak karena dianggap tidak menuturkan
kehidupan harmoni. Setelah saya protes dan rekan-rekan lain mendukung, akhirnya
tetap dilaksanakan. Waktu di Eropa, gambarku pernah diturunkan dari pameran
karena dianggap kurang layak. Setelah itu aku berkata, pasang terbalik saja
lukisan itu, pasti beda. Eh, akhirnya dipasang lagi dan ternyata laku.
Ha-ha-ha.
Namun pernah di
sana gambarku kena sensor. Jadi jika selama ini kita mungkin mengenal kehidupan
barat liberal, ternyata tidak juga. Ada batasan juga, dalam hal ini soal
gambar. Aku belajar di situ. Aku sadar gambar bisa membawa dampak lain. Aku
juga sadar gambar adalah senjata. Konon, kreativitas tertinggi adalah
kemungkinan tak terduga dari pemikiran orang. Namun tetap ada titik ekstrem
yang tak bisa kita biarkan dengan pertimbangan kemanusian dan lain-lain.
Lantas pernah
juga ketika hendak pameran di Yogyakarta, lukisanku dinilai kurator ketinggalan
zaman dan susah dijual. Itu risiko. Menjadi miskin itu risiko, seperti dicap
PKI. Aku tak terganggu dengan halhal semacam itu. Hanya lebih hati-hati.
Bagiku, peran seni rupa membuka kesadaran. Itu yang kulakukan. Soal pasar, aku
kira itu pengondisian. Yang utama, pesan yang ingin kusampaikan sampai ke
masyarakat. Karena itu kini aku juga aktif di media sosial. Aku ingin agar
pesan itu tersebar.
Setelah 20 tahun reformasi
bergulir, apa yang Anda catat?
Banyak, banyak. Persoalan dengan pihak asing, mungkin bisa dilihat dari
Freeport.
Dulu Indonesia
hanya mendapat sedikit bagian keuntungan, tetapi sekarang sudah meningkat. Soal
pola pemerintahan, perubahan sentralisasi menjadi otonomi tak bisa dikatakan
berhasil begitu saja. Sebab, ternyata itu dimanfaatkan asing untuk langsung
bergerak ke daerah. Soal partai politik, aku melihat mereka hanya ingin merebut
kekuasaan agar bisa bertransaksi. Jadi kalau belum berkuasa, mereka mengkritik,
setelah berkuasa justru melakukan apa yang dulu mereka kritik. Seperti rayahan
gentong pecah.(44)
- Sumber: SuaraMerdeka.Com
0 komentar:
Posting Komentar