May 24, 2018
Ruang dialog antargenerasi dapat membentuk zona aman yang dalam jangka panjang dapat menyembuhkan kegetiran dan luka yang dialami oleh penyintas dan keluarga penyintas.
Anggota Dialita dan pengisi
acara Mental Health Awareness: Eliminate the Stigma, Support for Inclusions.
Keruntuhan rezim Orde Baru yang ditunjukkan
dengan pernyataan pengunduran diri Suharto sebagai presiden pada 20 Mei 1998
menandai terbukanya kesempatan berharga bagi beberapa kalangan, termasuk salah
satunya penyintas dan keluarga penyintas tragedi ’65. Jika sebelumnya mereka
hampir sama sekali tidak bisa berkutik di tengah kencangnya pusaran propaganda
anti-komunis dan stigma sosial yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru,
dimulainya era reformasi menjadi sebuah angin segar. Hal tersebut diakui pula
oleh Ibu Uchikowati, ketua paduan suara Dialita, yang beranggotakan penyintas
dan keluarga penyintas tragedi ’65 pada presentasinya di acara bertajuk Mental
Health Awareness: Eliminate the Stigma, Support for Inclusions.
Acara yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa
Arkeologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada
11 Mei 2018 menawarkan sebuah wacana baru dalam melihat fenomena bangkitnya
suara-suara penyintas yang terbungkam selama rezim Orde Baru.
Acara yang diawali dengan pemutaran film Shadows
and Illumination dan The Bird Dancer ini dilanjutkan
dengan diskusi tentang pentingnya meneliti aspek psikologis dari orang-orang
yang mengalami stigma sosial, mulai dari mereka yang dianggap ‘gila’ karena
memiliki gangguan psikologis sampai mereka yang terkungkung dalam trauma dalam
diri mereka ditambah dengan stigma yang menyerang dari masyarakat.
Dalam lingkungan masyarakat Indonesia,
pembicaraan tentang gangguan psikologis masih sering dianggap sebagai hal yang
tabu, atau paling tidak dianggap melanggar norma-norma agama dan sosial.
Sebagai konsekuensinya, sampai hari ini masih begitu banyak penderita gangguan
psikologis yang tidak tertangani dengan baik di Indonesia. Keadaan tersebut
diperparah dengan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam proses pendataan
maupun penanganan penderita gangguan psikologis.
Dan terkait dengan hal ini, telah diketahui
bersama bahwa pemerintah juga belum menunjukkan adanya upaya untuk menangani
permasalahan psikologis yang dialami oleh penyintas dan keluarga penyintas ’65.
Setelah pemaparan yang diberikan oleh pemateri
Rhino Ariefiansyah (akademisi Antropologi) yang menekankan perbedaan antara
penyakit mental yang bersifat psiko-bio-sosial dan stigma yang sepenuhnya
bersifat konstruksi sosial, Bagus Utomo (Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia
Indonesia) melanjutkan diskusi terkait dengan bidang yang didalaminya.
Berdasarkan pengalamannya, orang-orang Indonesia perlu menjadi masyarakat yang
dewasa untuk bisa menerima perbedaan yang ada, termasuk dalam menanggapi fenomena
gangguan psikologis yang sebenarnya berada sangat dekat di sekitar kita.
Selanjutnya pemaparan yang disampaikan Erna M.
Dinata (akademisi Ilmu Kesejahteraan Sosial) menekankan pentingnya ‘zona aman’
bagi para penderita gangguan psikologis. Zona aman ini tidak terpaku pada satu
ruang nyata atau yang bersifat formal, namun bisa berupa zona abstrak yang
memungkinkan adanya komunikasi untuk meringankan beban yang dirasakan penderita
gangguan psikologis.
Bahasan tersebut dilanjutkan oleh Ibu Uchi yang
merasa telah menemukan zona amannya sebagai generasi kedua korban tragedi ’65.
Penangkapan dan pemenjaraan yang dialami oleh ayahnya, ditambah dengan stigma
sosial yang menempatkannya sebagai ‘anak komunis’ menjadikannya sebagai seorang
individu yang tumbuh dengan dipenuhi rasa takut dan trauma dalam dirinya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu-ibu
anggota Dialita yang lain, walaupun masing-masing dari mereka memiliki kisah
hidup yang tidak sama persis satu dengan yang lain. Ibu Uchi menganggap
berakhirnya rezim Orde Baru sebagai tonggak terbukanya zona aman bagi dirinya
dan teman-teman senasibnya untuk berbagi cerita dan pengalaman.
Pertemuan Ibu Uchi dengan mereka yang memiliki
pengalaman serupa merupakan bentuk ruang zona aman lain yang sifatnya lebih
intim dan berpengaruh bagi mereka, terutama dalam proses penyembuhan gangguan
psikologis yang mereka alami seperti trauma. Selain berbincang dan bertukar
pengalaman, bernyanyi merupakan cara lain yang bisa menghibur lara hati mereka.
Oleh karena itu, Dialita sebagai sebuah komunitas paduan suara tidak bisa
dianggap sebagai sekedar ajang berkumpul bagi para lansia untuk menghabiskan
masa tua, namun perlu diapreasiasi sebagai kesadaran para penyintas tragedi ’65
tentang eksistensi mereka sebagai manusia yang perlu dihargai dan juga bentuk
upaya mandiri mereka untuk menciptakan zona aman dalam proses penyembuhan diri
mereka.
Pada sesi tanya jawab, saya mengajukan
pertanyaan apa yang bisa dilakukan generasi muda atau aktivis kemanusiaan
terutama yang terfokus pada isu ’65 untuk membantu generasi sebelumnya
menyembuhkan diri dan terbuka dengan masa lalu mereka. Para pemateri menawarkan
solusi yang sederhana namun memerlukan komitmen.
Beberapa solusi tersebut antara lain
menciptakan ruang dialog antar generasi yang memungkinkan adanya komunikasi
tidak hanya di tingkat verbal, namun juga psikologis untuk menciptakan saling
pemahaman dan penerimaan. Ruang dialog tersebut akan membentuk zona aman lain
yang pada jangka panjang dapat menyembuhkan kegetiran dan luka yang dialami
oleh penyintas dan keluarga penyintas.
Selain itu, Bu Uchi juga menceritakan gerakan
serupa yang ada di Purwokerto, yakni terbentuknya kelompok paduan suara ibu-ibu
penyintas dan keluarga penyintas ’65 yang serupa dengan Dialita yang semua
anggotanya berdomisili di Jabodetabek.
Dalam hal ini, peran generasi ketiga penyintas,
ataupun aktivis kemanusiaan bisa menjadi penggagas dan perantara untuk
mempertemukan generasi sebelumnya yang merasakan imbas kejahatan kemanusiaan
65–66 agar mereka tidak selamanya terkungkung dalam trauma, kecemasan, dan
ketakutan. Oleh karena itu, peran generasi muda sangat dibutuhkan dalam proses
penyembuhan bangsa Indonesia dari luka yang pernah ditoreh begitu dalam
tersebut.
Ditulis oleh Editor Ingat65: Dhianita Kusuma Pertiwi
0 komentar:
Posting Komentar