Arjuna Putra Aldino
Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
PADA Mei dua puluh tahun yang lalu, Jakarta menjadi pusat konsentrasi massa yang berdemonstrasi menuntut Suharto turun dari tahta kepresidenannya. Tak lama, setelah demonstrasi mahasiswa bergulir tanpa henti dan terus membesar, Suharto mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis 21 Mei 1998.
Penyataan itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR. Setelah berkuasa selama 32 tahun, sang tiran itu akhirnya mengundurkan diri secara terpaksa. Selama ia berkuasa, kekuasaannya ditopang oleh hubungan penting antara penguasa politik dengan para kroni bisnis. Jeffrey Winters menyebutnya sebuah rezim “Oligarki Sultanik”, yakni sebuah rezim yang melakukan akumulasi kekayaan melalui politik patronase yang terpusat pada satu tangan, satu figur; Soeharto. Di sini praktik-praktik akumulasi kekayaan sangat bergantung pada hubungan dekat dengan sang pengendali kekuasaan. Dengan kata lain, akumulasi kekayaan itu terjadi melalui pemanfaatan otoritas dan sumber daya yang dimiliki oleh Negara.
Maka yang muncul adalah sebuah entitas bisnis yang dilatarbelakangi oleh mekanisme perburuan rente (rent seeking). Mereka mengembangkan usahanya dan membangun konglomerasi dengan memanfaatkan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang diberikan pemerintah, seperti pemberian hak monopoli usaha, pemanfaatan lahan, yang ditujukan untuk memaksimumkan laba tanpa menanamkan modal untuk kegiatan produksi. Yoshihara Kunio menyebutnya sebagai bentuk ersatz capitalism (kapitalisme semu), yakni berkembangnya kekuatan bisnis dan konglomerasi lebih disebabkan oleh dukungan politik, bukan karena kemampuan entrepreneurship.
Kasus yang saat itu mengemuka ialah kasus monopoli tepung terigu oleh PT. Bogasari/Indofood Sukses Makmur, industri tepung terigu yang dimiliki oleh kelompok usaha Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Monopoli itu dilakukan melalui mekanisme penunjukkan secara eksklusif Bogasari Flour Mills oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) tanpa melalui proses tender. Sehingga selama rezim Orde Baru berkuasa, pasokan tepung terigu dimonopoli oleh Bogasari Flour Mills, dengan Bulog sebagai importir tunggalnya.
Di sini menunjukkan bahwa bentuk konglomerasi, akumulasi kekayaan dan pembangunan ekonomi di era Orde Baru merupakan hasil interaksi dari hubungan patron-klien antara para penguasa politik dengan kelompok-kelompok usaha tertentu dimana Pemerintah sebagai patron dan segelintir pengusaha pemburu rente sebagai kliennya. Sehingga di era Orde Baru, lingkungan ekonomi-politik pekat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara pengusaha dengan Pemerintah, terutama untuk melanggengkan praktek monopoli dalam perburuan rente ekonomi (economic rent seeking).
Temuan Richard Robison menyebutkan bahwa setiap laba yang diperoleh dari usaha tepung terigu yang dijalankan oleh P.T. Bogasari, sebesar 26 persen dari total laba P.T. Bogasari tersebut disalurkan ke Yayasan Harapan Kita milik Ibu Tien Soeharto dan Yayasan Dharma Putra milik Kostrad. Dengan lingkungan ekonomi-politik semacam ini, maka ia menuntut adanya kebutuhan sistem politik yang otoritarian dan struktur ekonomi yang monopolistis. Lembaga demokrasi seperti Parlemen dan Partai Politik hanya menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan Suharto.
Menuju Plutokrasi?
Tahun ini, dua puluh tahun sudah berlalu sejak genderang pertama reformasi bergulir. Keran demokratisasi telah dibuka, dan dalam sekejap, sejumlah proyek penataan ulang institusi dan mesin pemerintahan berlangsung. Mulai dari pengadaan sistem multipartai, perubahan sistem pemilu yang memungkinkan pemilihan langsung untuk presiden, kepala daerah dan anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah, penerapan “desentralisasi”, dan pembentukan institusi-institusi baru yang diharapkan dapat menghindari sistem otoritarian dan menciptakan check and balance.
Namun reformasi institusional yang telah terjadi tak juga mengubah lingkungan sosial-politik dan ekonomi menjadi lebih baik. Pasca reformasi, kita masih dihadapkan oleh sejumlah kasus kolusi yang melibatkan hubungan antara penguasa politik dan pengusaha rente yang memanfaatkan fasilitas Negara untuk mengakumulasi dan mempertahankan kekayaan. Dari kasus BLBI yang diduga merugikan negara sebesar Rp. 84,84 triliun, kasus Lumpur Lapindo yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp. 27,4 triliun menjadi tanggungan negara lewat APBN, hingga kasus Bank Century yang merugikan negara sebesar Rp. 7,4 triliun.
Perbedaannya dari rezim Orde Baru, di era reformasi ini tidak ada pengendali kekuasaan tunggal di tangan satu figur layaknya Soeharto. Sistem patronase tidak lagi berpusat pada satu payung kuasa tunggal. Jeffrey Winters menyebutnya sebagai rezim “Oligarki Liar”, dimana kekuatan ekonomi (kroni bisnis) terfragmentasi sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik hasil dari proses demokratisasi. Di antara kekuatan oligarki sendiri bersaing dalam percaturan demokrasi elektoral dalam sistem multipartai.
Sedangkan proses desentralisasi atau otonomi daerah menghasilkan apa yang disebut John T. Sidel sebagai local bossism atau dalam istilah Migdal dan Vedi Hadiz disebut sebagai local strongmen, dimana desentralisasi digunakan oleh sebagian elite politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi, sehingga memunculkan orang-orang kuat di tingkat lokal. Para orang kuat lokal ini seringkali memanfaatkan birokrasi untuk menggalang suara, mendapatkan dana dari proyek pemerintah dan mengatur pejabat-pejabat agar jatuh kepada keluarga atau kroninya serta menjalin kedekatan dengan penyelenggara pemilu daerah dengan tujuan untuk membuat dirinya memperoleh keuntungan dari bisnis perizinan pengelolaan sumber daya alam. Dengan kata lain, yang terjadi justru desentralisasi mekanisme perburuan rente. Kasus seperti Ratu Atut Chosiyah, dan Zumi Zola yang mewarisi darah politik ayahnya, Zulkifli Nurdin, adalah sederet contoh yang mengemuka tentang penjelmaan otonomi daerah menjadi kekuasaan local bossism.
Semua ini membuat hasil reformasi tak juga mendorong ke arah civil society yang kuat dan peningkatan kesejahteraan rakyat seperti apa yang dicita-citakan awal mula reformasi digalakkan. Pasca reformasi, jurang ketimpangan justru semakin tinggi. Berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia.
Besarnya ketimpangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Data Lembaga Penjaminan Simpanan menunjukkan bahwa dari total 187,24 juta rekening, 97,8 persennya memiliki nominal di bawah Rp 100 juta. Sementara simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar hanya 80.829 rekening atau sekitar 0,04 persen dari total rekening simpanan. Namun, nilai simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 2.136,7 triliun atau sekitar 46 persen dari total simpanan perbankan nasional.
Data kepemilikan lahan juga menujukkan tingginya angka ketimpangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Di era reformasi saat ini, juga masih terdapat masyarakat, terutama masyarakat miskin, yang tak memperoleh akses pendidikan yang ideal.
Pada 2015 data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sekitar 52 persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD/SMP. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu menempuh jenjang Sekolah Dasar. Hanya 16,7 persen penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA atau lebih tinggi. Padahal di era demokrasi saat ini, memperoleh akses pendidikan yang berkualitas adalah pra-syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi dan menjadikan demokrasi lebih berkualitas.
Alih-alih membawa perubahan, demokrasi elektoral hasil reformasi justru memperkuat siklus hartawan menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik. Hal ini tercermin dari hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan bahwa dari 560 anggota DPR periode 2014-2019, ada 293 orang (52,3 pesen) yang memiliki latar belakang pengusaha. Dari 288 entitas bisnis yang teridentifikasi, ICW menemukan sebanyak 11 persen atau 32 perusahaan memiliki potensi konflik kepentingan langsung dengan jabatan, wewenang dan tugas Anggota DPR yang bersangkutan.
Situasi ini kian mengarahkan kebijakan publik yang seyogyanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kebaikan bersama rawan dibajak untuk kepentingan bisnis pribadi segelintir orang. Ditambah syarat prosedural (UU Parpol 2011) mewajibkan syarat pendirian partai politik memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan serta partai harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir Pemilu. Semua ini tentu membutuhkan dana yang cukup besar.
Selain itu, syarat ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) 4 persen dan 20 persen untuk ambang batas presidential threshold mendorong terjadinya politik kartel serta hanya memperkokoh kekuasaan elite oligarki yang memiliki kekuatan modal yang kuat. Semua ini semakin menjadikan sistem politik kita mengarah pada plutokrasi, dimana kekuasaan politik berada di tangan segelintir orang kaya (plutocrat) yang akhirnya meniadakan persaingan dan menutup ruang kepada semua warga untuk berpartisipasi politik. Lebih jauh, imbasnya politik kini kehilangan kesuciannya sebagai upaya meraih keadilan sosial dan kebaikan bersama (common good) namun dimaknai hanya sekedar alat untuk akumulasi dan mempertahankan kekayaan.
***
Penulis adalah Ketua DPP GMNI, Bidang Kaderisasi dan Ideologi 2017-2019
Sumber: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar