Budi Setiyono | 1 Mei 2018
Sidang Presidium SOBRI I di Jakarta, Desember 1954.
DALAM pidato di depan kongres peleburan tiga partai pada 7 November 1948, Tan Malaka menggambarkan Syamsu Harya Udaya, kala itu ketua Partai Buruh Merdeka (PBM), sebagai sosok yang tegar; “berdiri seperti batu karang, yang tidak bisa diombang-ambingkan ombak perasaan.”
PBM ikut fusi dan menjadi Partai Murba. Syamsu Harya Udaya menjadi pengurus partai sebagai sekretaris jenderal. Tapi habitat Syamsu di gerakan buruh tak pernah benar-benar ditinggalkan. Sjamsu ikut memimpin Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI), onderbouw Murba.
SOBRI dibentuk dalam sebuah kongres di Bandung pada 5-9 Februari 1951 yang dihadiri federasi serikat buruh Badan Pusat Sarekat Sekerdja (BPSS), Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (GSBI), dan yang dominan Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia (Gasbri). Kongres sepakat membentuk Vakcentrale Baru.
“Sebenarnya di dalam saat menemukan pendapat serta menggalang Vaksentral Baru, sudah nampak rangka-rangkanya Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia,” tulis Sandra dalam Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia.
Dalam kongres di Jakarta pada 27-30 April 1951, Vakcentrale Baru digantikan namanya jadi SOBRI. SOBRI beranggotakan 14 serikat buruh nasional dan 46 serikat buruh lokal. Yang terpenting adalah Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) dan Sarekat Buruh Gula (SBG) Proklamasi.
“Program urgen menggabungkan tuntutan-tuntutan politik dan tuntutan serikat buruh murni,” tulis Poeze. “Penolakan terhadap persetujuan KMB, pengembalian Irian Barat, dan pembebasan tahanan politik sejalan dengan pernyataan tentang upah minimum, politik agraria, lapangan kerja untuk penganggur, perjanjian tentang upah kerja, nasionalisasi, dan kaum buruh duduk di dalam badan-badan perwakilan...”
Boedhyarto Martoatmojo, seorang pengacara yang juga anggota Partai Murba, ditetapkan sebagai sekretaris jenderal pertama. Seperti Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), SOBRI bergabung dengan World Federation of Trade Unions (WFTU).
“Hubungan erat federasi ini dengan Partai Murba dan kenyataan bahwa bagian besar pemimpin SOBRI adalah anggota partai politik ini, menentukan watak sosialis dari SOBRI,” tulis Iskandar Tedjasukmana, mantan menteri perburuhan, dalam studi rintisan mengenai pengaruh ideologi pada serikat-serikat buruh yang pada 1958 diterbitkan dengan judul Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia.
Merosot
Tedjasukmana menulis, SOBRI tumbuh secara berangsur-angsur, mengklaim jumlah anggotanya 469.490 pada 1955, tapi kemudian merosot. “SOBRI menderita dari keberhasilan federasi-federasi lainnya. Keanggotaannya sekarang ditaksir tidak lebih dari 100.000.”
Menurut Poeze, pemberitaan dari pemerintah, pusat dan daerah, untuk Juni dan akhir 1957 menyebut jumlah anggota SOBRI sebanyak 44.000 dan 117.000. “Dengan demikian, menurut keanggotaannya, SOBRI merupakan federasi ketiga atau kelima sesusah SOBSI dan federasi-federasi yang berinduk pada PNI, dan juga PSI dan Masyumi.”
Sedikit informasi tersedia mengenai kiprah SOBRI dalam politik perburuhan waktu itu. SOBRI, Sarbupri, dan SBG beberapa kali disebut berkaitan dengan aksi-aksi buruh dan cercaan terhadap SOBSI tapi tidak terlalu luas. Pada 1957, memenuhi undangan untuk menghadiri kongres II Federasi Serikat Buruh China, SOBRI mengutus Hasjim Darif diutus untuk berangkat ke sana. Di dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas), SOBRI menempatkan Kobarsih sebagai wakilnya.
Informasi lainnya menyangkut hukum diungkapkan Poeze. Pada 30 Agustus 1958, SOBRI mengeluarkan pernyataan sikap sebagai reaksi atas langkah Kepala Staf Angkatan Darat Mayjen AH Nasution mereorganisasi Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) demi memperkuat pengaruh militer. Dengan keras SOBRI mengecam langkah itu dan menganggapnya sebagai bahaya bagi front persatuan yang luas. Tindakan balasan diambil Nasution. Dianggap menganggu keamanan dan ketertiban, pada awal September, sejumlah pemimpin SOBRI ditahan dan diadili. Hakim kemudian memutuskan Ibnu Parna, Sjamsu, Kahar Kusman, dan Njo Weng Pin divonis enam bulan penjara, dikurangi masa tahanan dan dengan masa percobaan satu tahun.
“Dengan pemenjaraan Sekretaris Jenderal Sjamsu dan Wakil Sekretaris Jenderal Ibnu Parna, maka tampillah Slamet Djojosumitro sebagai pimpinan sementara,” tulis Poeze.
Setelah menghirup udara bebas, Sjamsu tidak mendapatkan kedudukannya sebagai sekjen tapi masih menjalani masa “skorsing”. Posisinya dipulihkan beberapa hari menjelang kongres ke-4 SOBRI tahun 1964 dan terpilih sebagai ketua ketika kongres. Sebaliknya, Ibnu Parna tak diterima lagi duduk dalam pimpinan SOBRI.
Pada tahun yang sama, SOBRI mendapat undangan dari federasi serikat buruh Soviet agar mengirimkan kadernya untuk mengikuti pendidikan di sekolah buruh federasi tersebut. SOBRI mengirim tiga kader mudanya, Koman Tarigan dari SOBRI Sumatra Utara, Sanjoto Soewito (Jawa Timur), dan Anas Kamaroesid (kemenakan Sukarni). Mereka menamatkan kursus dengan hasil baik. Menurut Poeze, undangan ini merupakan langkah pendekatan Soviet pada Partai Murba dan sejalan dengan persaingan antara serikat buruh Tiongkok dan Soviet.
Empat tahun sebelum kongres, SOBRI punya kesempatan untuk menghantam SOBSI. Pada Juli 1960, Menteri Perburuhan Ahem Erningpradja menghelar sebuah konferensi yang dihadiri seluruh serikat buruh terkemuka dan lembaga pemerintah untuk mendiskusikan draft regulasi tentang pembentukan Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia (OPPI). Dengan pembentukan OPPI, tulis Sandra, “Dikehendaki supaya buruh turut serta bertanggungjawab menentukan jalannya dan kelancaran produksi, mengontrol manajemen, dan mengatur hubungan kerja.”
SOBSI menentang rencana itu karena menganggap OPPI bisa menghapus peran induk organisasi yang sudah ada. SOBRI termasuk di antara 14 federasi yang menyatakan persetujuannya, yang ditandatangani Sekretaris Umum Soekirman. Namun, beberap hari kemudian, Partai Murba mengingkari sikap SOBRI. Alasannya tak diberikan kepada pers. “Penolakan itu mengherankan karena dengan ini kesempatan terbuka untuk melenyapkan posisi SOBSI yang dominan dengan sekali pukul,” tulis Poeze. OPPI pun mengalami kegagalan.
Ganti Baju
Setelah Partai Murba dibubarkan, SOBRI terkena imbasnya. Namun, naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan membuka jalan rehabilitasi partai. SOBRI lebih dulu direhabilitasi, yakni pada Maret 1966, berkat upaya Slamet Djojosumitro dan Soekirman Karyahardja.
SOBRI menyatakan tak terikat pada suatu partai politik. Penyesuaian dilakukan. Prinsip-prinsip dan aturan baru dibuat pada Juli 1967. Kata-kata seperti “perjuangan klas” dan “sentralisme demokrasi” dihapus.Sebagai penggantinya dituliskan kata-kata berusaha untuk mencapai masyarakat sosialis Pantjasila, dan pengambilan keputusan dilakukan menurut sistem musyawarah dan mufakat.
Pada bulan yang sama, dalam pertemuan dengan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, Dr. Semaun yang mewakili SOBRI menyatakan bertekad tetap berada di lingkungan Sekber Golkar dan tak berafiliasi pada partai. “Satu bulan kemudian, dalam sebuah pernyataan panjang, SOBRI menyatakan kesetiaannya kepada Presiden Soeharto. Dalam tahun 1968 pernyataan ini harus sekali lagi dinyatakan ulang,” tulis Poeze.
Melalui Golkar, SOBRI mendapat satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang diduduki Sjamsu sampai pertengahan 1969. Posisinya tak digantikan wakil SOBRI yang lain. Di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, SOBRI mendapat tiga kursi yang diduduki Sjamsu, Gondowardojo, dan Thalib Bachtiar Rahman Hatapayo. Dalam badan musyawarah serikat-serikat buruh, yang dibentuk tahun 1968, SOBRI diwakili Soekirman.
Perkembangan SOBRI sendiri tak istimewa. Menurut laporan dari Kementerian Tenaga Kerja tahun 1968, dikutip Poeze, SOBRI beranggotakan 125.000 orang. Laporan tanggal 31 Desember 1969 mengikhtisarkan aktivitas SOBRI di 23 provinsi: di 6 provinsi dengan aktivitas sekadarnya, di 3 provinsi mempunyai potensi beraktivitas, di 10 provinsi tak ada kegiatan apapun, dan di 4 provinsi lebih tak ada data. Untuk 100 cabang tercatat: 33 tidak aktif, 29 berpotensi aktif, dan 38 baru kembali aktif.
Serikat-serikat buruh terkait SOBRI juga aktif kembali setelah mendapat pengakuan dari pemerintah. Khusus untuk Sarbupri, yang namanya tercemar seperti SOBSI, berganti nama menjadi Ikatan Buruh Perkebunan Republik Indonesia (IBPRI) dan baru pada 1970 kembali aktif berkegiatan.
Perkembangan semua serikat-serikat buruh itu, menurut Poeze, “Tidak terlalu mengesankan.”
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar