Orang Komunis itu tahu betul, konsekuensi dari Pancasila yang dibelanya habis-habisan di sidang Konstituante adalah mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, salah satu amalan reguler dari sila itu adalah berlebaran Idul Fitri (Muslim) dan merayakan Natal (Kristiani).
Saat tiba perayaan Natal, misalnya, orang komunis Tentu saja merayakan. Paling tidak, biasanya, dua hari menjelang hari sakral di mana warga setanah air ini libur, secara reguler Comite Central PKI mengumumkan sikap-sikapnya soal Natal, lengkap dengan tuntunan bagaimana sebaiknya mengamalkannya dalam konteks sosio-politik.
Bagi PKI, Natal bukan lagi sebuah kalimat Injil. Natal sudah menjadi “kabinet hati” dari setiap manusia yang masih memiliki kemanusiaannya. Bahkan, arah sejarah dalam banyak hal ditentukan oleh hasrat damai yang memenuhi rongga dada ratusan juta umat manusia itu.
Nah, di sinilah soalnya. Setiap tahun Natal, tapi perdamaian begitu-begitu saja. Bahkan, seorang pengasong kebiadaban dan pengekspor perang dan senjata-senjata pemusnah massal juga mengucapkan "Selamat Hari Natal, Damai di Bumi".
Dalam konteks kiwari, sponsor-sponsor perang dan pabrik senjata juga mengucapkan Natal dan bahkan menghiasi bibir senjata kontemporer ciptaan mereka dengan simbol-simbol Natal.
"Paus Jonnes menyatakan amanat damainya, Sukarno menyatakan amanat damainya. Abdul Karim Kusim menyatakan amanat damainya. Nikita Chrusjov juga menyatakan amanat damainya. Eisenhower pun menyatakan menginginkan perdamaian. Dimana lagi letak rintangannya?" demikian catat CC PKI lewat editorial Harian Rakjat, 26 Desember 1958.
PKI "menemukan" soal pesan Natal yang kian jauh dari kenyataan terletak pada bahwa "beberapa pemimpin dari beberapa negara perdamaian itu dianut dalam kata, tetapi bahwa dalam perbuatan. Bagaimana misalnya damai bisa tercipta, jika orang tak mau juga menghentikan percobaan senjata2 atom dan nuklir secara mutlak. Bagaimana bisa tercipta, jika orang masih saja mendirikan pangkalan2 di negeri2 orang lain, sekalipun ditolak oleh Rakyat negeri yang bersangkutan. Bagaimana bisa damai tercipta, jika kolonialisme masih saja disokong, bahkan misalnya oleh WF-AS Nison masih saja dipuji."
Jika kita menginginkan perdamaian, jelas PKI, jalan yang mesti ditempuh ialah dengan memobilisasi pendapat umum sedemikian rupa, sehingga pertentangan antara kata dan perbuatan bisa dihilangkan.
Merayakan Natal berada dalam garis poros dengan "Etika dan Moral Orang Komunis". Di Salatiga pada November 1962, D.N. Aidit mendakwahkan soal hubungan orang Komunis Indonesia dan agama yang dituangkan dalam konstitusi partai.
Dalam Qanun Asasi PKI (Anggaran Dasar) tidak mengharuskan seseorang meninggalkan agamanya untuk diterima menjadi anggota PKI. Tetapi kaum Komunis tidak menyetujui dan menentang orang-orang atau golongan yang menggunakan ajaran dan otoritet agama untuk tujuan-tujuan politik reaksioner, untuk menghambat dan menentang kemajuan perkembangan masyarakat.
Menurut kaum Komunis, masalah kepercayaan dan agama adalah hak masing-masing orang untuk menganutnya dan tidak menganutnya.
"Moral ini kami anggap paling tepat dan sesuai dengan penerimaan kami terhadap Pancasila. Menerima Pancasila menurut paham kami berarti menerima ketentuan bahwa tidak boleh mengadakan propaganda anti-agama dan tidak boleh melakukan paksaan beragama," kata Ketua CC PKI D.N. Aidit.
Dengan moral seperti itulah kita bisa memahami konteks mengapa Lebaran dan Natal bagi orang Komunis di Indonesia adalah waktu-waktu sakral yang mesti dirayakan secara syahdu dan dengan penuh kegembiraan. Dengan demikian, beginilah pernyataan resmi CC PKI:
"Atas nama kaum Komunis Indonesia, Central Comite PKI mengutjapkan SELAMAT HARI NATAL kepada golongan Rakjat Indonesia jang beragama Kristen. Semoga tahun jang akan datang, berkat bantuan umat Kristen Indonesia akan mendjadi tahun jang lebih baik bagi Rakjat Indonesia dan umat manusia didunia, dimana persatuan nasional melawan imperialisme dan persatuan internasional anti-kolonial dan untuk perdamaian abadi mendjadi lebih kuat dan lebih berhasil dalam mentjapai tujuannja."