Oleh: Andre Barahamin |
26 April 2019
Ilustrasi pembantaian 1965
(Andreas Iswinarto)
Seorang anak muda, dipenjara dengan semena-mena dan mesti
menjalani hidup penuh diskriminasi karena terseret pusaran pembantaian manusia
Indonesia di tahun 1965
RAMBUT JOSEPH KALENGKONGAN hampir semuanya ditutupi
uban saat saya menemuinya di tahun 2006. Kami sudah kenal lebih dari dua tahun.
Mulai akrab sekitar delapan bulan terakhir ketika saya lebih sering menemuinya.
Senyum laki-laki ini ramah. Genggaman tanggannya erat. Ia
memperlakukan saya seperti anak sendiri. Meski bertutur dengan topik yang
melompat-lompat, tapi Kalengkongan memiliki fisik mumpuni untuk tahan
berdialog. Penuh semangat. Bercerita dengan menatap mata. Pandangannya lekat
kepada lawan bicara.
Laki-laki ini adalah satu di antara sedikit yang mau
bicara dan mengusir ketakutan. Alasannya, ia ingin menjaga asa tentang
pemulihan hak-hak ekonomi, sosial dan politik yang pernah direnggut darinya.
Kalengkongan merasa dirinya menjadi korban. Hak asasi-nya dirampas secara
sepihak ketika kudeta militer pada 1 Oktober 1965 terjadi.
Kami sering berjumpa dan berbincang di rumahnya yang
terletak di simpang tiga tak jauh dari pasar Ranotana. Rumah itu kini terbagi
dua bagian. Bagian depan disewa oleh sebuah lembaga non pemerintah yang
bergerak di bidang konseling dan misi agama di penjara-penjara. Kalengkongan
mengaku dekat dengan orang-orang tersebut.
Di masa lalu, ia sempat bergabung dengan mereka setelah
bebas dari masa tahanan. Mengunjungi bilik-bilik tahanan dan menyapa
penghuninya. Bertukar cerita, saling menguatkan lalu ditutup dengan berdoa.
Kalengkongan merasa berbagi nasib dengan orang-orang tersebut.
“Tapi saya bukan kriminal. Saya tahanan politik.
Dipenjara karena soal ideologi.”
Nada suaranya masih kencang. Penuh letupan. Saya
membayangkan laki-laki ini di masa muda. Besar kemungkinan ia penuh cita-cita
dan raganya diliputi semangat revolusi yang jadi tren zaman itu.
Pertengahan dekade 60-an, Kalengkongan adalah seorang
guru muda yang berdinas di SMP Kristen Ranotana, Manado. Ia mengajar mata
pelajaran Civic. Dua topik ajar utamanya seputar Pancasila dan Manipol Usdek
-kepanjangan dari Manifesto Politik: Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945),
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Dua topik ini
cukup unik.
“Kita dapat mengetahui posisi ideologi orang lain dengan
cara mendengarkan cara dia menjelaskan arti Pancasila dan Manipol USDEK.”
Saya
hanya mengangguk pelan mendengar pernyataan tersebut.
***
Kalengkongan lahir di Motoling pada 6 April 1937. Kini
desa ini telah dimekarkan menjadi sebuah kecamatan setelah sebelumnya dibelah
menjadi beberapa desa. Terletak di Kabupaten Minahasa Selatan, Motoling terkenal
sebagai salah satu sentra penghasil minuman keras lokal hasil destilasi dengan
metode sederhana. Orang mengenal luas dengan nama Cap Tikus.
Pada masa sebelum 1 Oktober 1965, Kalengkongan adalah
seorang aktivis di sebuah organisasi profesi guru yang bernama Persatuan Guru
Republik Non Vaksentral (PGRI NV). Organisasi pecahan dari PGRI setelah konflik
yang memuncak di Kongres X yang dilaksanakan pada tahun 1962 di Jakarta. Banyak
pihak menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik perpecahan ini.
Menurutnya, tuduhan itu tidak berdasar. Alasan di balik
perpecahan itu adalah soal interpretasi terhadap Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi
Ajaran Revolusi Soekarno. PGRI-NV merupakan himpunan guru-guru yang secara
radikal menolak sikap antipati terhadap politik Soekarno yang menjadi sikap
PGRI.
“Ini soal siapa yang Soekarnois dan siapa yang tidak.”
Sejarah memang kemudian membuktikan di kemudian hari.
PGRI menautkan dirinya kepada tentara. Organisasi ini secara aktif ikut
terlibat pembersihan terhadap PGRI-NV dengan bantuan aktif tentara. Tahun
1965-1967, PGRI memasuki masa paling kelam dalam sejarah keorganisasiannya.
Mereka yang
tergabung dalam PGRI-NV dianggap berseberangan dan menjadi duri dalam lembaga.
Nama-nama utama dalam kelompok tersebut kemudian menjadi incaran. Bersama
tentara, PGRI menyerahkan kawan-kawan sendiri kepada maut, kegelapan nurani dan
dendam tanpa alas kaki.
Selain bergabung dalam PGRI-NV, Pemuda Rakyat adalah
organisasi lain yang jadi tempat Kalengkongan juga mempelajari politik dan
hal-hal mengenai kepemudaan. Keaktifan dan militansi tinggi yang ditunjukkan
selama bergiat di kedua organisasi massa tersebut membuat Kalengkongan ditarik
untuk bertugas sebagai salah satu staf. Tugasnya membantu para pengurus partai
di Committee Daerah Besar (CDB) Sulawesi Utara Tengah (Sulutteng). Kini
provinsi tersebut telah menjadi tiga wilayah administratif berbeda: Sulawesi
Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Masa itu, provinsi Sulutteng meliputi dua kotapraja:
Manado dan Gorontalo, serta delapan kabupaten: Sangihe Talaud, Bolaang
Mongondow, Minahasa, Gorontalo, Buol Toli-Toli, Donggala, Poso, dan
Luwuk-Banggai.
Gubernur provinsi dijabat oleh Letnan Kolonel (Letkol) F.
J. Tumbelaka yang resmi memimpin sejak 16 Juni 1962. Tumbelaka ditunjuk
Soekarno menggantikan A. A. Baramuli yang tunai periode. Ketika kudeta militer
terjadi, Tumbelaka lalu digantikan oleh Brigadir Jendral (Brigjend) Soenandar
Prijosoedarmo yang saat itu sedang memangku posisi sebagai Panglima Komando
Daerah Militer (Kodam) XIII Merdeka. Pada pemilihan umum 1955, Partai Nasional
Indonesia (PNI) tampil sebagai pemenang di daerah ini. Di belakangnya menyusul
PKI.
***
Pagi hari, 1 Oktober 1965, Kalengkongan seperti biasa
melakukan tugasnya sebagai seorang pengajar. Kedatangannya di sekolah adalah
awal mula ia mendapat kabar tentang gonjang ganjing peristiwa di Jakarta.
Beritanya soal Kolonel Untung yang berupaya untuk menyelamatkan Pemimpin Besar
Revolusi, Soekarno.
Informasi ini didengarnya dari percakapan dengan sesama rekan
pengajar. Kalengkongan masih ingat betul, bisik-bisik Tampaguma, Padeiroth dan
Alex Lapian soal apa yang baru terjadi di pusat kekuasaan. PKI jadi tertuduh
dan dianggap sebagai dalang yang ingin mengambil alih kekuasaan dari tangan
Bung Besar.
Ia gelisah. Kalengkongan yakin ada yang tidak beres.
Dalam pikirannya, tidak mungkin PKI melakukan kudeta tanpa persiapan yang
matang. Sebagai orang yang bertugas di Kantor Besar Wilayah, Kalengkongan tidak
mendengar kasak-kusuk soal ini. Orang-orang CDB justru sedang bersiap untuk
menyambut pemilu. PKI cukup yakin bahwa mereka akan bisa mengungguli PNI di
pemilihan mendatang.
Kalengkongan tak jadi menyelesaikan tugasnya untuk berada
di sekolah hingga jam pelajaran usai. Awalnya ia berniat untuk langsung pulang ke
rumahnya yang terletak di Ranotana Jaga IIB. Hari ini, orang Manado mengenal
kawasan tersebut dengan nama Karombasan Utara. Tapi urung dilakukan.
Kalengkongan muda tidak sanggup menahan diri.
Digelayuti berbagai tanya, tentang apa yang terjadi di
Jakarta, Kalengkongan berinisiatif mendatangi figur yang dianggapnya lebih
punya akses informasi ke Jakarta dan mungkin lebih tahu apa yang sebenarnya
sedang terjadi.
Tujuan pertama adalah menemui Herman Siwu di rumahnya
yang berlokasi di Jalan Bethesda, Kleak. Siwu adalah pimpinan wilayah PNI
Suluttenggo. PNI dan PKI adalah dua partai pendukung Soekarno dan front
Nasakom-nya. Saat itu, Siwu juga menjabat sebagai anggota parlemen mewakili PNI
dalam Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR-GR).
Jaraknya tidak jauh dari sekolah di mana Kalengkongan
mengajar. Siwu ada di rumah.
Kalengkongan berhasil menemuinya tapi tak mendapatkan apa
yang ia cari. Jawaban dari Siwu tak memuaskan dan masih penuh tanda tanya.
Kepada pemuda tersebut Siwu mengaku masih belum tahu apa-apa tentang detil
peristiwa yang terjadi di Jakarta. Sebagai salah seorang pimpinan partai di
daerah, Siwu juga tampak panik menurut Kalengkongan.
Tidak ada instruksi. Sama seperti yang lain, Siwu masih
menunggu klarifikasi atau pemberitahuan dari pengurus PNI di Jakarta tentang
apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ingin merumitkan situasi, Siwu menyuruh
Kalengkongan pulang saja ke rumah.
“Kau tunggu saja komando selanjutnya.” Kalengkongan
menirukan perintah terakhir Siwu kepadanya.
Tapi, Kalengkongan merasa belum puas. Ia enggan pulang
dengan tangan kosong. Pemuda ini kemudian memutuskan pergi menemui Ketua
Wilayah Sulutteng Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Jhon Umboh,
seorang sarjana hukum lulusan Universitas Sam Ratulangi. Kalengkongan mengenang
Umboh sebagai seorang macan panggung.
“Bagus sekali kalau pidato. Semua orang pasti mendengar.
Terkesima. Jhon itu persis Soekarno, tapi dalam versi Minahasa.”
Umboh, menurut Kalengkongan adalah seorang kader PKI yang
cerdas dan berwibawa. Juga disukai banyak orang karena peragainya yang sopan
dan penuh senyum. Mereka berdua mulai akrab sejak Kalengkongan muda magang
kerja di kantor CDB PKI yang terletak di pusat kota, tepat di samping Taman
Kesatuan Bangsa (TKB). Hari ini, gedung itu sudah beralih fungsi jadi kantor
wilayah Bank Negara Indonesia (BNI).
Dari Bethesda, Kelengkongan mendatangi Umboh di rumahnya
yang terletak di Ranotana, Manado berharap mendapatkan titik terang mengenai
kejadian di Jakarta. Namun Umboh juga memberikan jawaban yang hampir sama
seperti yang telah ia dengar dari Siwu. Belum ada berita lebih lanjut dari
Committee Central.
Umboh juga masih menunggu dan menyarankan agar
Kalengkongan melakukan hal yang sama. Pulang ke rumah, lakukan kegiatan seperti
biasa sembari menunggu komando dari Jakarta tentang apa yang sebenarnya yang
harus dilakukan oleh seluruh kader partai. Sebagai kader partai yang taat dan
loyal, Kalengkongan melakukan saran Umboh.
Keesokan harinya ia tetap pergi untuk mengajar. Semuanya
berlangsung normal sampai tanggal 5 Oktober 1965.
***
Pada 5 Oktober, sudah mulai terjadi gelombang demonstrasi
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengaitkan peristiwa yang
terjadi di Jakarta dan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Menurut
Kalengkongan, yang paling menonjol adalah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia atau IPKI.
Beberapa karib kerja Kalengkongan seperti Pandeiroth dan
Alex Lapian menjadi bagian dari kelompok ini. Demonstrasi terus berlangsung
pada besok hari dan akhirnya memuncak pada penyerbuan, pengambilalihan,
penjarahan lalu pembakaran gedung kantor CDB PKI Suluteng.
Penyerangan dimotori oleh tentara dan dibantu dengan
berbagai milisi sipil pemuda seperti Gerakan Pemuda Anshor (GP-Anshor), Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII),
dan Pemuda Pancasila. Kabar ini diterima Kalengkongan dari ibunya yang baru
saja pulang berbelanja di pusat kota.
Berita ini mengusik rasa tenang Kalengkongan yang
beberapa hari terakhir ini terus menanti konfirmasi berita dari CC PKI atau
dari sumber lain semisal petinggi PNI di Jakarta. Tak ingin ada hal buruk
menimpa dirinya, Kalengkongan segera mengungsi sembunyi. Istrinya tak diikutkan
dalam rute pelariannya.
Dengan berat hari ia menyarankan agar istrinya pulang ke
kampung halaman orang tuanya. Kalengkongan tahu dengan pasti, jika mereka
tertangkap bersama maka hal yang lebih buruk akan terjadi. Pukul 15.00 WITA
adalah moment perpisahan yang tak akan pernah bisa dilupakan Kalengkongan.
Dengan diburu rasa takut, segera ia menuju kebun-kebun di daerah pinggiran
Manado karena tak ingin diamuk massa yang sudah terlanjur kalap dibakar emosi.
Di kemudian hari, Kalengkongan mendapatkan informasi
bahwa rumahnya diserbu dan diobrak-abrik oleh milisi pemuda dari berbagai
ormas. Salah seorang anggota Pemuda Rakyat Manado, Jack Aer menjadi saksi mata
kejadian ini.
Di persembunyian, tak disangka Kalengkongan bertemu
dengan beberapa temannya sesama kader PKI yang juga dalam pelarian antara lain
Siwu dan Jhon Umbo. Turut juga dalam rombongan tersebut adalah Sam Solang,
ketua Pemuda Rakyat Suluteng, Wellem Tan, salah satu aktifis teras BAPERKI dan
Alo Rembet seorang aktifis PKI.
Terjepit dalam kondisi yang sama, mendorong mereka
menjadi satu kelompok pelarian yang berpindah-pidah tempat dari satu kebun ke
kebun yang lain agar tak tertangkap. Rombongan ini kemudian menemui jalan buntu
pada tanggal 18 Oktober 1965.
Sekitar jam enam sore, mereka akhirnya berhasil disergap
oleh kelompok pemuda di yang dibantu tentara dibawah komando Komanda Komando
Rayon Militer (KORAMIL) Letnan TNI Ngantung dan Kepala Polisi Sektor (POLSEK)
kecamatan Pineleng, Inspektur Polisi Wollah. Penyergapan ini terjadi di sekitar
area persawahan sekitar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Seminari Pineleng ketika
mereka bermaksud menuju pegunungan Lolombulan yang terletak di daerah Minahasa
Selatan hari ini.
Seluruh anggota kelompok pelarian politik ini kemudian
dibawa ke kantor Komando Distrik Militer (KODIM) Manado.
***
Oleh Kodim Manado, mereka langsung dijebloskan ke penjara
Manado. Perintah tersebut datang dari Letnan Kolonel Rauf Moo selaku komandan
KODIM. Di penjara Kalengkongan menjumpai belasan tentara yang sedang menjalani
hukuman kasus pidana biasa.
Tentara-tentara ini sudah ditugaskan oleh Bagian Intel
Komando Daerah Militer (KODAM) XIII Merdeka, Sulawesi Utara Tengah untuk
melakukan penyiksaan pada semua kader ataupun simpatisan PKI yang sudah
tertangkap dan dibawa ke penjara. Hari ini, penjara tempat Kalengkongan dan
kawan-kawannya disekap telah berubah menjadi bangunan yang disebut Gedung Joeng
45.
Letaknya di pusat kota Manado, dari gedung pusat Bank
Daerah Sulawesi Utara. Sekitar 150 meter dari gedung bekas kantor CDB PKI
Suluteng.
Sejak malam 18 Oktober 1965 hingga 24 jam berikutnya,
Kalengkongan dan kawa-kawannya menjalani interogasi tanpa henti yang juga
disertai dengan pelbagai jenis penyiksaan yang tak manusiawi.
Selain disuruh berlari mengelilingi lapangan, mereka juga
harus menghadapi hantaman kayu pada tulang-tulang rawan seperti tulang kaki,
tangan, dan juga masih mendapatkan menu tambahan seperti tamparan dan tinju
yang sering mampir di wajah dan perut mereka. Mata Kalengkongan juga menjadi
saksi bagaimana kawannya yang bernama Dirk Wondal, anggota Committee Sub Seksi
Kecamatan Tomohon harus direndam dalam tinja manusia hingga setinggi dagu.
Maraton interogasi dan penyiksaan di Penjara Manado
berakhir pada tanggal 20 Oktober 1965 ketika akhirnya Kalengkongan dan enam
kawannya yang lain kemudian dipindahkanke markas Resimen Tim Pertempuran (RTP)
I Sulawesi Utara yang terletak di ruas jalan Sam Ratulangi. Ruas jalan itu kini
membentang dari kecamatan Sario hingga kecamatan Wenang kota Manado. Markas RTP
I juga adalah markas Komando Operasi Tertib Wilayah I yang meliputi Sulawesi
bagian Utara dari Talaud, Sangihe, Minahasa, Manado, Bolaang Mongondow dan
Gorontalo.
Di tempat baru ini, Kalengkongan bersama dengan keenam
kawannya mendapatkan fasilitas inap dalam sebuah WC yang berukuran 1,5 X 1,5 M.
Mereka harus tidur tanpa alas di lantai WC yang dingin. Saat tidur mereka
bertujuh tak sendiri. Ada ulat-ulat WC yang datang mengerubungi mereka. Selama
ditahan, Kalengkongan dan teman-temannya hanya mendapatkan jatah makan satu
kali dalam sehari.
Empat bulan harus dihabiskan oleh Kalengkongan di RTP I
ini. Selama itupula mereka harus menjalani pemeriksaan meski tidak setiap hari.
Namun satu yang tak berubah sejak dari Penjara Manado yaitu mereka harus
mengalami penyiksaan fisik dan pelecehan seksual dari para interogator. Selain
pukulan, Kalengkongan juga mengalami penyetruman yang dilakukan dengan cara
melilitkan kabel di kedua telunjuk tangan. Di antara sela-sela jari, ada pensil
yang menjepit.
Kalengkongan juga menyaksikan bagaimana para tentara yang
bertindak selaku interogator melakukan pelecehan seksual kepada seorang
perempuan suatu ketika dalam ruang pemeriksaan yang sama. Gadis muda tersebut
adalah anggota Pemuda Rakyat disiksa dalam kondisi setengah telanjang tanpa
baju, tanpa kutang dan hanya menggunakan rok. Oleh para tentara, Kalengkongan yang
kedapatan sempat memalingkan wajah dipaksa harus melihat bagaimana sekujur
tubuh gadis tersebut diraba-raba oleh salah seorang interogator. Tentara
berpangkat kopral bernama Iman adalah orang yang memegang kepala Kalengkongan
agar tidak bergerak dan tetap mengikuti ritual penyiksaan.
“Saya sampai sangat kesal. Akhirnya karena tidak tahan,
saya teriak. Saya bilang kalau kami semua yang berada di ruangan itu dilahirkan
oleh perempuan. Jadi tidak layak kalau kita memperlakukan perempuan dengan
buruk seperti itu.”
Wajah laki-laki tua itu tampak sumringah. Jelas bahwa ada
rasa bangga dalam dirinya karena bisa melawan tindakan tidak manusiawi macam
itu.
Tapi, jawaban heroik tersebut berbalas pukulan di perut
dan beberapa kali tamparan di wajah Kalengkongan. Mulutnya sobek. Darah
mengucur dari sela bibir bawah dan rasa ngilu bukan kepalang di tulang rahang
pipi. Kejadian malam itu membuatnya mengingat betul beberapa nama tentara yang
pernah melakukan interogasi sembari menyiksanya.
“Namanya Letnan Sangit, Sersan Mayor Saragih dan Letnan
Kolonel Supomo.”
***
Kerasnya hidup di RTP I dijalani dengan tabah oleh
Kalengkongan hingga pemindahan pada tanggal 30 Januari 1966.
Siang hari di tanggal tersebut, Kalengkongan kembali ke
Penjara Manado. Belum sempat mendapatkan interogasi lanjutan, ia mendengar
sebuah pengumuman terkait pemanggilan beberapa nama. Ada empat puluh tujuh nama
yang dipanggil. Kalengkongan hanya mampu mengingat beberapa nama diantaranya.
Semua yang namanya dipanggil langsung diharuskan melewati portir penjara
langsung dan naik mobil yang sudah disiapkan oleh militer.
Sekitar bulan Februari 1966, Kalengkongan mendapatkan
informasi bahwa daftar nama tersebut telah dieksekusi secara sepihak di kantor
Resimen Induk KODAM XIII Merdeka (RINDAM) oleh sebuah kesatuan Zeni Tempur
(ZIPUR) yang dipimpin oleh Kapten Kosim. Orang ini dikemudian hari sempat
menjabat Komandan KODIM (Dandim) di Madiun, Jawa Timur dengan pangkat Letnan
Kolonel.
Beberapa anggota keluarga korban yang sempat datang
menjenguk Kalengkongan mengatakan bahwa semua keluarga mendapatkan sebuah surat
dari Letnan Kolonel Ichdar selaku Komandan Komando Tertib (KOTIB I) KODAM XIII
Merdeka saat itu. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa telah terjadi kecelakaan
yang pada akhirnya menenggelamkan kapal yang membawa empat puluh tujuh orang
yang dimaksud ketika hendak menuju sebuah pulau pengasingan di daerah Sangir
Talaud. Itu sebab kematian versi tentara.
Tapi banyak yang tidak percaya. Keluarga korban meyakini
bahwa 47 orang tersebut dieksekusi. Informasi tersebut misalnya didapatkan dari
Heri Maloring, anak laki-laki dari Gad Maloring. Ayah Heri adalah mantan ketua
CGMI Suluteng. Selepas periode jabatannya, Gad kemudian aktif sebagai anggota
CDB PKI Suluteng hingga 1 Oktober meletus. Nama Gad Maloring termasuk salah
satu di antaranya. Ada sumber yang mengatakan bahwa tempat eksekusi sekarang
sudah menjadi kantor Pemerintah Kota Tomohon.
Kalengkongan menjalani hukuman tanpa pernah disidang di
Penjara Manado hingga tahun 1979.
Ia lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Manado
yang baru selesai dibangun di daerah Tuminting. Di tempat baru, Kalengkongan
menginap hingga tahun 1980.
Selama jadi pesakitan di penjara Manado, Kalengkongan
masih beberapa kali dipanggil untuk diperiksa di kantor POM. Tim pemeriksa
adalah Teperda Laksusda KODAM XIII Merdeka. Pimpinannya Mayor CPM Bimo, yang
kala itu menjabat sebagai Kabag Ops Teperda Laksusda Suluteng. Kejadiannya
sekitar bulan Juli 1969, Selain rutin menerima pukulan, tamparan, tendangan
selama interogasi, Kalengkongan juga masih harus menerima setrum melalui kabel
yang dililit di alat kelaminnya.
“Saya sempat beberapa kali pingsan.”
Pada tahun 1977, Kalengkongan akhirnya dihadapkan ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun berdasarkan PERPRES
11/63.
“Saya dituduh merusak mental generasi muda. Buktinya
sebagai guru mata pelajaran Civic, saya terbukti menjadikan Manipol-USDEK
sebagai mata pelajaran.”
Padahal menurut Kalengkongan, ia mengajarkan topik
tersebut seturut dengan petunjuk bahan ajar sesuai ketentuan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Gelora revolusi yang terus menerus
dilantangkan oleh presiden Soekarno adalah salah satu sebabnya. Mata pelajaran
Civic kira-kira menyerupai mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang ditambah
sedikit dengan pengetahuan soal ketatanegaraan.
Civic diajarkan dari tingkat SD hingga universitas
sebagai salah satu cara pemerintah Indonesia saat itu untuk mengajarkan
semangat revolusi ala Soekarno.
***
Alam kebebasan dinikmatinya pada tahun 1980, namun
Kalengkongan masih harus menjalani sebuah kewajiban lainnya. Yaitu harus
melakukan wajib lapor minimal satu kali dalam sebulan ke kantor KORAMIL Manado
Selatan dengan membawa hadiah untuk para petugas berupa uang berkisar antara
Rp. 10.000 hingga Rp. 50.000, bahan baku seperti semen, rokok, minuman ringan
jenis Coca Cola dan beberapa kebutuhan pokok seperti gula dan beras. Hukuman
luar dan wajib upeti ini dijalani hingga tahun 1999.
Kalengkongan hanya ingat satu nama yang sering jadi
penadah semua upeti darinya ketika melapor. Tentara tersebut bernama Letnan
Maksum. Sebagai ganti semua seserahan tersebut, Kalengkongan mendapatkan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) bertanda ET (Eks Tahanan Politik) yang berlaku hingga
tahun 2000.
Bebas bukan berarti semuanya serta merta selesai.
Masih ada banyak diskriminasi yang harus dijalani oleh
Kalengkongan dan ikut berimbas kepada anak dan istrinya. Misal, anak
Kalengkongan tidak dapat menjadi Pegawai Negeri Sipili (PNS) mengingat ayahnya
adalah seorang mantan tahanan politik. Kalengkongan dan istrinya juga dilarang
berdoa di tempat-tempat umum ketika acara pesta syukuran dan sejenisnya.
Satu hal lain yang juga tak akan mungkin bisa dilupakan
oleh Kalengkongan semenjak ia bebas adalah ketika waktu Pemilihan Umum (PEMILU)
berlangsung. Sebagai eks tapol, Kalengkongan dipaksa harus memilih Golongan
Karya jika tak ingin lagi kembali ke dalam penjara.
“Setelah Soeharto jatuh, saya berhenti wajib lapor dan
bayar upeti.” Itu kata terakhir Kalengkongan yang saya ingat.
Di tahun 2018, pada 20 Juni, saya mendapatkan kabar bahwa
ia meninggal dunia dua hari sebelumnya. Terkubur bersama jenazahnya adalah
harapan tentang keadilan yang belum juga terwujud. (*)
Editor: Denni Pinontoan