Heyder Affan, BBC Indonesia
- 30 September 2019
Sebagai penebusan kesalahan ayahnya yang menjadi algojo
alias eksekutor orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan pada
1968, sang anak menggelar rekonsiliasi dengan korban dan
keluarga mereka yang dahulu dimusuhi ayahnya.
Farida Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman
(kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farida) di samping Gua Tikus, lokasi
pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo,
Kabupaten Blitar. [BBC NEWS INDONESIA]
Pedang yang digunakan menggorok leher orang-orang yang
dituduh anggota PKI di Blitar selatan itu pernah menghiasi dinding di
salah-satu sudut ruang tamunya.
Hasim As'ari, sang pemilik pedang, menempatkannya di
dekat pintu ruang tamu di rumahnya di Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan,
Kabupaten Blitar, selama bertahun-tahun. Di sekitar 1968, Hasyim adalah aktivis
Ansor - organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
"Pedang itu menjadi alat untuk eksekusi orang-orang
PKI," kata sang anak, Farida Masrurin menghela napas panjang, saat saya
temui di rumahnya, awal September lalu.
Ibu satu anak itu adalah putri sulung pasangan Hasyim
As'ari dan Uli Wafiah.
Lebih dari 50 tahun silam, persisnya bulan-bulan di awal
1968, di wilayah Blitar selatan, yang tandus itu, termasuk di Desa Bacem, ABRI
(kini TNI) menggelar operasi untuk "membasmi sampai ke akar-akarnya"
pimpinan, anggota, dan simpatisan PKI.
Anak 'algojo PKI' dan eks
Tapol '65: 'Kita tidak benci dengan bapakmu'
Operasi Trisula, demikian sebutan resminya, seperti
tercatat dalam sejarah, kemudian 'melibatkan' antara lain organisasi Gerakan
Pemuda Ansor dengan salah-satu sayapnya, Barisan Serbaguna alias Banser.
Tidak pernah diketahui berapa jumlah persis korban mati
di pihak PKI atau simpatisannya dalam apa yang disebut berbagai laporan
independen sebagai pembunuhan massal.
"Bapak mungkin merasa bangga (membunuh orang-orang
yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga negara," ungkap
perempuan kelahiran 1982 ini seraya menunjuk lokasi di mana pedang itu pernah
dipajang.
Masrukin (suami Farida)
menunjukkan sebilah pedang yang dulu digunakan mertuanya untuk membantai
orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan.
[BBC NEWS INDONESIAI]
Dan, tatkala film G30S wajib diputar di televisi setiap
akhir September di masa Orde Baru, Farida teringat, ayahnya acap bercerita
perihal perannya pada bulan-bulan 'panas' ketika operasi itu digelar.
Saat itu Farida, tentu saja, masih kanak-kanak hingga
beranjak remaja.
"Kalau ada siaran televisi (film G30S), bapak lalu
bercerita 'oh ya, aku dulu loh berjuang'," Farida menirukan ucapan
almarhum ayahnya - meninggal delapan tahun silam.
Seperti diketahui film itu akhirnya tidak lagi wajib
diputar setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998.
"Kalau ada siaran
televisi (film G30S), bapak lalu bercerita 'oh ya, aku dulu loh
berjuang'," Farida menirukan ucapan almarhum ayahnya - meninggal delapan
tahun silam. (Foto Farid serta ayah dan ibunya saat dirinya wisuda sarjana
strata satu). [BBC Indonesia]
Dalam atmosfer Orde Baru, di mana operasi pembersihan
tokoh-tokoh PKI yang kabur ke Blitar selatan versi pemerintah menjadi sejarah
tunggal, Farida kecil tumbuh besar di dalamnya.
Kelak, pengalaman seperti inilah membuatnya sempat
bersikap reaktif ketika rekan-rekannya sesama aktivis NU menawarkan perspektif
berbeda dalam melihat kekerasan di Blitar selatan yang melibatkan nama ayahnya.
Farida bersama suami dan putrinya yang berusia 10 tahun,
sampai saat ini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Bacem, Kabupaten Blitar -
dulu secara sederhana disebut kawasan Blitar selatan.
Di salah-satu ruangan rumah itulah, ibunya mendidik
anak-anak seumuran putrinya untuk belajar agama - nyaris saban sore. Di depan
rumahnya berdiri musala, yang melalui pengeras suaranya, suara azan nyaring
terdengar.
"Di desa ini, memang dari dulu basisnya NU,"
ujarnya.
Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya di kawasan
perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah" - sebutan khas
untuk menyebut kawasan yang dulu mayoritas warganya berafiliasi ke PKI.
"Bapak mungkin merasa bangga
(membunuh orang-orang yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga
negara," ungkap Farida. [BBC News Indonesia]
Ketika saya dan juru kamera Anindita Pradana, mendatangi
kediamannya, pedang milik ayahnya itu tak lagi menempel di dinding ruang tamu.
Farida tidak mengetahui kapan persisnya pedang itu diturunkan dari dinding.
Alasan
penurunannya, dia pun tak tahu juga. Barangkali ketika rumahnya sedang
direnovasi, katanya.
Apakah masih menyimpan pedang itu? Tanya saya, dan
dijawab "masih ada", tetapi dia "lupa" di mana
menyimpannya.
Belakangan, suaminya, Masrukin, mengetahui di mana pedang
itu disimpan. Dia kemudian menunjukkannya kepada kami - lengkap dengan
sarungnya, yang panjangnya kira-kira satu meter dan sudah berkarat.
Sore itu, di minggu ketiga September, ketika langit di
atas desa itu perlahan berubah menjadi kemerahan, kisah horor di balik
keberadaan pedang itu seperti tersamar oleh waktu yang terus beranjak.
"Kami belakangan pernah menggunakannya untuk
menangkap tikus di rumah," Masrukin tertawa kecil, yang kemudian menular
pada istrinya.
"Di desa ini, memang dari dulu
basisnya NU," ujarnya. Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya
di kawasan perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah". (Foto:
Rumah orang tua Farida di Desa Bacem, Kabupaten Blitar). [BBC News Indonesia]
Sikap enteng hati Farida dan Masrukin terkait peruntukan
pedang itu di masa lalu, tentu tidaklah segampang membalik tangan.
Ada proses panjang yang mereka lalui sehingga mereka kini
memiliki cara pandang baru tentang memori kolektif kekerasan tragedi 1965 di
wilayahnya.
Ide rekonsiliasi
Gus Dur bergaung hingga ke Blitar selatan
Setahun setelah Suharto turun dari kursi presiden,
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh sentral Nadhlatul Ulama (NU), yang
terpilih menjadi presiden, menawarkan ide-ide rekonsiliasi.
Dihadapkan memori kolektif yang terbelah dan hubungan
sosial yang retak akibat warisan sejarah tragedi 1965, Gus Dur memilih
membangun jembatan rekonsiliasi dengan para penyintas kekerasan '65 - dan
gaungnya sangat terasa di kalangan nahdliyin, hingga ke sudut desa di mana
Farida tinggal.
”Gus Dur sejak awal
mendengungkan bahwa memanusiakan manusia itu lebih penting daripada yang
lain," Farida menyebut Gus Dur sebagai orang pertama yang
menginspirasinya. (Foto: Gus Dur, 7 Juni 1999).
PAULA BRONSTEIN/GETTY IMAGES
"Gus Dur sejak awal mendengungkan bahwa memanusiakan
manusia itu lebih penting daripada yang lain," Farida menyebut Gus Dur
sebagai orang pertama yang menginspirasinya, sekaligus secara perlahan
menyadarkannya dalam melihat ulang sejarah kelam seputar konflik berdarah
antara orang-orang NU dan pendukung PKI pada 1968 di tempatnya tinggal.
Dalam beberapa kali forum tidak resmi, Gus Dur - saat
menjadi presiden - dilaporkan telah meminta maaf kepada penyintas kekerasan
pasca Oktober 1965. Dia juga dilaporkan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.
Seperti diketahui, ketetapan ini menyatakan tentang
pembubaran PKI dan organisasi terlarang, serta larangan menyebarkan atau
mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Walaupun pernyataan Gus Dur itu mendapat penolakan keras
dari kelompok-kelompok Islam dan TNI, termasuk dari sebagian kalangan internal
NU, toh idenya tentang rekonsiliasi terkait kekerasan 1965 tak berhenti sampai
di situ.
Sejumlah aktivis NU muda
menindaklanjuti ide rekonsiliasi Gus Dur dengan membentuk Masyarakat Santri
untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) awal 2000-an, yang dimotori Imam Aziz. (Foto:
Acara Syarikat pada September 2015 di Yogyakarta). [BBC News Indonesia]
Sejumlah aktivis muda NU kemudian menindaklanjuti dan
mengembangkannya, dengan membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk
Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat, di awal 2000-an, yang dimotori
Imam Aziz dkk di Yogyakarta.
Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965:
Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia (2016), organisasi ini menyebut
dirinya sebagai jangkar dalam merajut kembali hubungan sosial di tingkat akar
rumput yang hancur akibat tragedi '65.
Mereka berjejaring dengan sejumlah organisasi LSM, serta
sesama aktivis muda NU, di berbagai daerah yang memiliki kepedulian yang sama -
termasuk di Blitar, tempat Farida lahir dan tumbuh besar.
Ketika rekonsiliasi terkait warisan kekerasan 1965 di
tingkat nasional "macet", Syarikat dan aktivis NU muda menggulirkan
apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat akar rumput.
Dan akhirnya "di tingkat akar rumput justru bisa
berjalan, kendati terkadang tidak semulus yang diharapkan," demikian tim
penulis buku tersebut menyimpulkan.
Ketika rekonsiliasi terkait
warisan kekerasan 1965 di tingkat nasional "macet", Syarikat dan
aktivis NU muda menggulirkan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat
akar rumput. (Foto atas: Imam Aziz, pendiri organisasi Syarikat). SYARIKAT/FACEBOOK
Di Kabupaten Blitar, rekonsiliasi dengan penyintas
kekerasan 1968, dirintis oleh aktivis muda NU - yang tergabung dalam Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, atau biasa disingkat Lakpesdam -
pada awal 2000-an.
Salah-satu figur pentingnya adalah M Munif, Ketua
Lakpesdam NU saat itu.
"Banyak cerita sangat menyesakkan"
Beberapa tahun kemudian, sekitar 2003, ketika terjun
sebagai relawan Lakpesdam di Kabupaten Biltar, Farida mulai bersentuhan
langsung dengan upaya rekonsiliasi tersebut. Semula hanya ikut diskusi kecil,
dia kemudian "ikut senior-seniornya ke rumah para penyintas kekerasan
1965".
Sebagian para penyintas itu adalah orang-orang yang dulu
aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi,
atau Barisan Tani Indonesia.
Tapi tak sedikit yang menjadi korban lantaran ikut-kutan
atau menjadi simpatisan semata - atau bahkan mungkin tidak tahu-menahu, tetapi
terjebak dalam situasi.
Mereka pernah ditahan militer atau polisi, dan beberapa
diantaranya dibuang ke pulau Buru.
Sebagian para penyintas
tragedi 1965 adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah
naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia. (Foto atas:
Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap oleh aparat militer Indonesia
setelah 1 Oktober 1965). BETTMANN/GETTY IMAGES
Dua tahun kemudian, Farida dan suaminya mulai
berinteraksi langsung dengan para penyintas. Ini terjadi setelah mereka
terlibat penelitian tentang kekerasan pasca Oktober 1965 di wilayah Blitar
Selatan, dengan berbasis isu perempuan.
Saat itu, Farida mengaku "belum selesai secara
batin" terkait kasus kekerasan itu, lantaran belum mampu melepaskan dari
perspektif sejarah ala Orba yang diterimanya selama belasan tahun.
Perlahan-lahan cara pandangnya makin meluas setelah
mengikuti pelatihan di organisasi Syarikat tentang menganalisa persoalan dan,
terutama, interaksinya secara mendalam dengan para ibu penyintas di Blitar
selatan - diantaranya dengan Put Mu'inah, eks Ketua Gerwani, Gerakan Wanita
Indonesia, Kabupaten Blitar.
"Di situ saya justru menemukan banyak cerita yang
menurut saya sangat menyesakkan," Farida berkata dengan suara tercekat.
Seorang
anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai
anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY
IMAGES
Dia menarik napas panjang dan matanya terlihat basah.
"Ada penyiksaan (terhadap korban di pihak orang-orang yang dituduh PKI)
yang luar biasa."
Fakta tentang kekerasan yang dialami ibu-ibu penyintas
ini, ditambah pengalaman serupa para penyintas di kota-kota lainnya,
menyadarkannya bahwa apa yang terjadi di desanya dan desa-desa lainnya di
perbukitan gersang di wilayah Blitar selatan pada sekitar 1968, selama ini
ditutup-tutupi.
Dilatari itu semua, Farida makin tertarik mendalaminya.
Apalagi di sisi lain dia dibenturkan kenyataan bahwa ayahnya terlibat dalam
kekerasan di sekitar tahun 1968.
"Apalagi saya kaitkan pengalaman saya dengan
bapak," ujarnya lirih. Suaranya kembali tercekat. "Jadi, saya harus
melakukan ini."
Sejumlah anggota militer
Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI
di Jakarta, 10 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY IMAGES
Melanjutkan rintisan para seniornya di Lakpesdam yang
membuka pintu rekonsiliasi kultural, Farida secara gamblang mengaku itu
dilakukannya karena juga faktor apa yang diperbuat ayahnya.
"Putra
eksekutor"
"Karena berposisi putra dari pelaku eksekutor dari
tragedi '65, jadi membuat saya merasa sangat perlu untuk bagaimana cara menebus
kesalahan yang pernah.... bapak lakukan itu, dengan proses rekonsiliasi,"
kata Farida dengan suara tercekat.
Dia menambahkan, "Itu penting dilakukan, karena dari
kejadian kekerasan itu menumbuhkan banyak kebencian, banyak persoalan yang
mungkin sampai hari ini belum tuntas."
Sejauh ini, sulit menemukan sosok seperti Farida, yang
secara terbuka mengakui dan mengungkap kepada umum tentang keterlibatan ayahnya
dalam tragedi kekerasan pasca Oktober 1965.
Bagi sebagian pihak, apa yang dilakukannya dapat dianggap
membuka aib keluarga sendiri.
Beberapa orang merusak dan
membakar kantor CGMI, onderbouw PKI, di Jakarta, 13 Oktober 1965. CAROL
GOLDSTEIN/GETTY IMAGES
"Itu bukan aib," katanya. Menurutnya, apa yang
dibanggakan ayahnya saat membunuh orang-orang yang disebut PKI, seharusnya
bukan sebuah kebanggaan
Dia juga menekankan bahwa kesaksiannya tentang peranan
ayahnya di masa itu adalah perwujudan dari "kebenaran yang harus
diungkap".
"Agar penerus bangsa ini juga benar-benar tahu bahwa
peristiwa itu memang ada kebohongan publik yang terstruktur sehingga membuat
sejarah menjadi runyam, menjadi tidak jelas," jelasnya.
'Saya tidak mau
seolah-olah menghakimi ayah'
Awalnya, Farida tidak bercerita kepada ayahnya tentang
aktivitasnya mendampingi para penyintas kekerasan pasca Oktober 1965.
Para penyintas itu dahulunya - secara langsung atau tidak
langsung - adalah musuh ayahnya ketika operasi pembersihan digelar pada 1968.
"Saya tidak berani mengorek secara langsung (kepada
ayahnya)," katanya. Dia takut ayahnya akan "terluka" dan lagi
pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya.
"Karena berposisi putra
dari pelaku eksekutor dari tragedi '65, jadi membuat saya merasa sangat perlu
untuk bagaimana cara menebus kesalahan yang pernah bapak lakukan itu, dengan
proses rekonsiliasi," kata Farida. (Foto: Farida (kiri) bersama seorang
penyintas tragedi 1965 di Blitar selatan). BBC NEWS INDONESIA
Dia memilih bersikap pasif dengan harapan ayahnya yang
bersikap aktif untuk bertanya perihal "sejarah baru" terkait operasi
pembasmian orang-orang yang dituduh PKI pada 1968.
Namun lambat-laun, ayahnya akhirnya tahu tentang kegiatan
anaknya lantaran Farida acapkali mengundang teman-temannya dari Lakpesdam dan
Syarikat berdiskusi di rumahnya.
Ayahnya juga diam-diam membaca dokumen atau majalah
terkait program pendampingan yang dilakukannya dan kawan-kawannya.
Dalam wawancara dengan saya, Farida mengaku meletakkan
dokumen itu di ruang tamu, dengan harapan ayahnya membacanya.
"Mungkin proses itu, termasuk pergesekan, atau
diskusi, dan sering komunikasi, antara saya dengan bapak, yang suatu saat
membuat ayah saya meminta maaf," ungkapnya.
Farida menambahkan, "Meminta maaf dalam artian
bahwa, apapun, membunuh itu merupakan perbuatan yang salah."
Ayah minta maaf,
sesuatu yang luar biasa
"Saya tidak berani
mengorek secara langsung (kepada ayahnya)," kata Farida. Dia takut ayahnya
akan "terluka" dan lagi pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya.
BBC NEWS INDONESIA
Kepada anaknya, sang ayah juga berulangkali meyakini
bahwa orang-orang NU juga menjadi korban pada tragedi itu, sepertinya halnya
para penyintas dari orang-orang yang dituduh PKI.
"Karena, ketika ditelisik, ternyata data yang
diterima teman-teman Banser, itu dari siapa, itu juga tidak jelas sampai hari
ini. Pihak penyintas '65 juga ternyata tidak tahu dari siapa catatan-catatan
itu," katanya.
"Data"atau "catatan" yang dimaksud
Farida itu adalah daftar nama orang-orang yang harus dibunuh, baik dari pihak
PKI dan NU, seperti yang dia dengarkan dari para penyintas dan orang-orang NU.
Mengomentari kembali keputusan ayahnya untuk mengakui
tindakannya salah dan kemudian meminta maaf, Farida menyebutnya sebagai luar
biasa.
"Dan membiarkan kami untuk berproses dan mendampingi
para penyintas, itu juga luar biasa." Seperti sebelumnya ketika
menyinggung sosok sang ayah, mata Farida terlihat berkaca-kaca.
Meminta maaf di
hadapan penyintas
"Bagaimana reaksi eks tapol saat mengetahui ayah
Anda adalah tukang jagal orang-orang yang dituduh PKI?" tanya saya ke
Farida.
"Bukan saya yang bercerita," kata Farida, masih
tersendat, dan matanya menerawang jauh. Maksudnya, Farida belum berani secara
terbuka bercerita tentang keterlibatan ayahnya dalam pembunuhan massal di
Blitar selatan.
"Saya meminta maaf atas
nama bapak, atas nama keluarga." Hanya satu kalimat itu yang terucap dari
mulutnya saat itu.
BBC NEWS INDONESIA
Di salah-satu forum Syarikat, yang dihadiri anak-anak
muda NU dan para penyintas, Farida memilih diam dalam sesi berbagi pengalaman
seputar terkait memori kekerasan pasca Oktober 1965.
"Saya belum berani mengutarakannya."
Justru peran ayahnya di seputar pembunuhan massal itu
diungkapkan oleh rekan-rekannya dari Lakpesdam.
Di hadapan para penyintas, mereka menyebut sosok Hasim
As'ari adalah eksekutor orang-orang PKI di Blitar selatan pada 1968.
"Saya tidak bisa membayangkan wajah para
penyintas," ungkapnya, mencoba mengingat lagi apa yang ada di benaknya
ketika peran ayahnya diungkit di forum itu.
Setelah kesaksian itu disampaikan melalui mulut
rekan-rekannya, Farida - di hadapan forum - meminta maaf kepada para penyintas.
"Saya meminta maaf atas nama bapak, atas nama
keluarga."
Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya saat
itu. Menurutnya, sampai di situ keberaniannya untuk mengutarakan permintaan
maaf kepada eks tapol.
"Sudah, sudah, kita
tidak benci kepada bapakmu. Kita tidak benci sama orang NU, kita sama-sama
korban," kata Farida menirukan perkataan Sukiman. (Foto: Sukiman) BBC NEWS
INDONESIA
Dalam suasana hening, salah-seorang penyintas bernama
Sukiman (kini berumur 71 tahun), warga Desa Pasiraman, Kabupaten Blitar,
berdiri mendekatinya, lalu merangkul Farida.
Eks anggota Lekra, yang pernah dipenjara dan pernah
bersumpah membalas dendam kepada Ansor itu, mengeluarkan sederetan kalimat yang
terus diingat oleh Farida sampai sekarang.
"Sudah, sudah, kita tidak benci kepada bapakmu. Kita
tidak benci sama orang NU, kita sama-sama korban. "Kita tidak pernah tahu persoalannya, kita memang
dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kadang kita tak tahu."
Farida kaget mendengarnya. Dia tak pernah menyangka
kalimat seperti itu bisa meluncur begitu saja dari mulut orang yang dulu
termasuk dalam barisan yang diburu ayahnya.
Farida kemudian mengulangi permintaan maafnya.
"Karena apapun motif atau niatnya, membunuh itu
sesuatu yang berdosa."
Semenjak saat itulah, dia tidak ada beban psikologis
untuk mengungkapkan apa yang dilakukan ayahnya di masa-masa kelam 1968.
"Saya
Sukiman, saya dulu anggota Lekra"
Pada hari kedua liputan kami di Blitar selatan, kami
bersama Farida menaiki kendaraan roda empat, untuk menemui seorang pria
kelahiran 1948, yang mengaku pernah dipenjara - tanpa diadili - karena dianggap
menjadi penghubung, atau kurir, orang-orang yang dituduh melindungi pimpinan
dan anggota PKI di desanya.
Kami melewati jalanan beraspal yang menanjak dan memutari
perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias gundul.
Di sepanjang jalur itu, hanya didominasi ilalang kering
kecoklatan, sesekali pohon sengon yang sengaja ditanam berjejer, wajah kota
Blitar di kejauhan, serta langit kebiruan pucat.
Kami melewati jalanan
beraspal yang menanjak dan memutari perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias
gundul di wilayah Biltar selatan. BBC NEWS INDONESIA
"Semua dijarah, pohon-pohon jati itu dibabat habis
setelah 1998." Farida bercerita dan menekankan bahwa penggundulan hutan
itu membuat desanya nyaris selalu kebanjiran setiap curah hujan tinggi.
Dari dalam mobil, saya justru membayangkan mengapa
sebagian pimpinan PKI memilih wilayah perbukitan Blitar selatan sebagai lokasi
persembunyian.
Dahulu, ketika pohon-pohon jati masih rimbun dan jalanan
masih berlumpur, tentu tidak mudah mengakses kawasan berbukit-bukit itu.
"Ansor bantu
mencari dan menangkap orang-orang PKI," Asmungi, eks Ketua Ansor anak
cabang Wlingi, Kabupaten Blitar
"Saya tidak berperan apa-apa pada seputar Operasi
Trisula 1968, kecuali hanya membantu ABRI (kini TNI) dan polisi, turut mencari
dan menangkap orang-orang PKI.
Karena hanya membantu, Ansor hanya menyerahkannya kepada ABRI
dan polisi. Jadi, Ansor tidak pernah berjalan sendiri. Kami bersama-sama ABRI
dan polisi.
Beberapa anggota Ansor didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi)
ke rumah-rumah warga untuk mengetahui apakah mereka menyimpan senjata atau
menyimpan dokumen terkait PKI. Ternyata banyak sekali.
Anggota Ansor yang mau membantu diberi semangat mental,
yaitu membaca shalawat, sehingga saat ditembak tidak mempan - Insya
Allah.
"Beberapa anggota Ansor
didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi) ke rumah-rumah
warga..." kata Asmungi, eks Ketua Ansor anak cabang Wlingi, Kabupaten
Blitar, pada 1960an. BBC NEWS INDONESIA
Senjata yang dirampas dari rumah masyarakat, sebagian
besar buatan China, yang merknya Cung. Sebagian disimpan di Museum Brawijaya di
kota Malang, Jatim.
Pada awal 1968 di Blitar selatan itu adalah pemberontakan
PKI. Kita berperang, karena PKI juga mempunyai senjata. Pimpinan mereka ada
yang tokoh-tokoh eks ABRI.
Di wilayah itu, banyak sukarelawan PKI dan mereka
bersenjata. Kita intinya berperang, karena melawan mereka yang bersenjata.
Generasi muda sekarang harus tahu bahwa PKI mau berontak terhadap negara.
Mereka diantaranya adalah pimpinan pusat PKI, seperti Ir Surachman
dan Oloan Hutapea, dan banyak lagi, bersama eks ABRI berkumpul kembali di
Blitar selatan.
Oloan mati dibunuh massa di tempat persembunyiannya dan
Ir Surachman ditembak mati.
Operasi yang berjalan sampai Agustus 1968, berhasil
menumpas habis orang-orang PKI. Ada yang tertembak, ada yang ditangkap, dan ada
pula yang diadili.
Sekarang ada informasi yang menyebut PKI itu adalah
korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan kita berperang. Hanya saja
mereka kalah.
"Sekarang ada informasi
yang menyebut PKI itu adalah korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan
kita berperang. Hanya saja mereka kalah," kata Asmungi. BBC NEWS INDONESIA
Kalau ada upaya perdamaian atau rekonsiliasi dengan eks
tapol yang masih hidup, pemerintah yang harus berperan. Kalau tidak dilakukan
pemerintah, kedua pihak saling mengklaim paling benar.
Sekarang keluarga eks tapol sudah bisa menjadi pegawai
negeri, sehingga tidak ada bedanya dengan masyarakat lainnya.
Keadaannya sudah normal seperti sediakala, sehingga
silaturahmi sudah berlangsung dengan baik secara alamiah, dan tidak ada lagi
saling mencurigai.
Sekarang sudah normal, saya tidak perlu takut kalau
seandainya mereka membalas.
Saya sudah tahu peta di wilayah Wlingi, saya tahu wilayah
yang dulu dikuasasi kelompok merah. Sekarang saya biasa saja mengikuti
pengajian di wilayah itu.
Hubungan saya dengan mereka saat ini baik-baik saja.
Kalau saya diundang pada hajatannya, saya datang. Demikian pula sebaliknya.
Tidak ada masalah.
Baik Ansor maupun eks PKI dan keturunannya sama-sama
tidak merasa terancam, karena kedudukannya sudah sama di hadapan hukum.
Kalau memang ada yang mau mendamaikan, harus melibatkan
pemerintah. Kalau tidak ada upaya itu, ya tidak apa-apa. Pokoknya jangan
diungkit-ungkit lagi."
Kira-kira memakan waktu 30 menit, kendaraan kami menepi
di rumah beton sederhana yang eksteriornya sudah bersentuhan dengan
modernisasi.
Lokasinya di Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto,
Kabupaten Blitar.
Sekelebat pikiran saya membayangkan ketika ratusan
tentara berbaris di depan rumahnya di bulan-bulan awal 1968 - lalu satu per
satu tentara itu menggedor pintu rumah warga untuk mencari orang-orang PKI.
Yang ada di hadapan saya justru semilir angin dan suara
menggelegar dari depan pintu.
"Saya Pak
Sukiman... Saat usia 18 tahun, saya berhimpun di organisasi Lekra..."
"Kakak-kakak saya
hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya
yang dibuang ke Leuwung (gua) tikus," kata Sukiman - ayah tiga anak ini -
mengutarakannya seperti tanpa beban. BBC NEWS INDONESIA
Lembaga Kesenian Rakyat, atau Lekra, adalah organisasi
kesenian yang disebut merupakan onderbouw PKI.
"Saya dulu
bermain sendratari, yaitu tari Remong."
Berperawakan agak tinggi, kurus, bahu lebar, dan sebagian
rambutnya sudah memutih, tapi pendengaran Sukiman masih tajam. Dia juga suka
menebar tawa lebar di sela-sela menjawab pertanyaan.
Dia masih mampu mengingat peristiwa horor yang menimpa
keluarganya pada 1968, ketika pasukan ABRI dibantu Banser NU melakukan operasi
penangkapan orang-orang yang dituduh anggota PKI atau orang-orang dianggap
membantunya.
"Kakak-kakak saya hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan
Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya yang dibuang ke luweng (gua)
tikus,"
Sukiman- ayah tiga anak ini - mengutarakannya seperti
tanpa beban. Dia sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.
Ketika Operasi Trisula digelar, Sukemi sempat kabur ke
Jombang dan Malang. Namun dia memilih kembali ke desanya, tetapi ditangkap
karena dituduh menjadi kurir yang menghubungkan para pimpinan PKI dan
pendukungnya di wilayah itu.
"Padahal, saya tidak tahu menahu tentang politik.
Saya juga tak tahu isi suratnya."
'Saya dulu dendam dengan Ansor, tapi sekarang...'
Seperti kebanyakan penyintas '65 lainnya, dia mengaku
disiksa dan kesulitan mendapatkan makanan secukupnya selama di penjara.
Setahun kemudian dia dikeluarkan dan diwajibkan wajib
lapor ke instansi militer setempat.
Keluar dari penjara, seperti yang dialami eks tapol
lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya oleh masyarakat
lantaran pilihan politiknya dahulu.
Dia teringat putri sulungnya, Istini, yang pernah
kesulitan berhubungan dengan lawan jenis, karena "latar belakang"
ayahnya.
"Setelah ada
rekonsiliasi, kita sudah berdamai," kata Sukiman, masih dengan nada
perlahan. BBC NEWS INDONESIA
Di masa-masa itu, usai keluar dari bui, dia sempat
bersumpah kepada dirinya sendiri untuk membalas dendam terhadap orang-orang
Ansor - ormas kepemudaan onderbouw NU.
"Dendam kesumat, hutang darah dibayar dengan
darah... Saya tahu segi tiga yang dinamakan Ansor," nada suaranya
meninggi. Segi tiga yang dimaksudnya adalah bingkai pada logo Ansor yang
berbentuk segi tiga.
Namun nada suara Sukiman kembali memelan, dan buru-buru
menambahkan bahwa dirinya tidak lagi menaruh dendam kepada Ansor. Ini terjadi
setelah dia mengikuti rekonsiliasi kultural yang ditawarkan anak-anak muda NU
pada awal 2000-an.
"Setelah ada rekonsiliasi, kita sudah berdamai,"
kata Sukiman, masih dengan nada perlahan.
"Yang menyadarkan saya itu saudara Munif."
Berulangkali Sukiman juga menyebut bahwa dirinya dan orang-orang Banser sebagai
"sesama korban" karena keadaan dan hasutan pihak ketiga.
Munif adalah Ketua Lakpesdam NU pada awal 2000-an, yang
ikut berperan mempertemukan pertama kalinya antara orang-orang yang selamat
dari Operasi Trisula dan warga Nahdliyin yang menjadi Banser saat operasi
tersebut.
Keluar dari penjara, seperti
yang dialami eks tapol lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya
oleh masyarakat lantaran pilihan politiknya dahulu. (Foto; Sukiman dan kakak
perempuannya). BBC NEWS INDONESIA
Pada September 2001, seperti tercatat dalam buku
Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, terbitan Syarikat dan Tifa (2016), Munif
dan kawan-kawan mempertemukan mereka yang dulu bermusuhan itu dalam acara
kesenian bertema Rukun Agawe Santoso.
Acara yang diisi sholawatan, pengajian, dan kentrung
dan campursari itu digelar di pelataran Tugu Trisula di Desa Bakung, Kabupaten
Blitar.
"Tidak ada pemisahan tempat duduk bagi kedua
komunitas memori itu," ungkap Moh. Asrofi, dalam tulisan berjudul Merajut
kembali ingatan masa lalu, salah-satu tulisan di buku itu.
Acara ini kemudian ditindaklanjuti oleh acara silaturahmi
di antara kedua pihak - termasuk memanfaatkan halalbihalal Idul Fitri. Walaupun
masih ada penolakan dari sebagian anggota NU, proses rekonsiliasi ini terus
bergulir.
"Farida itu seperti anak saya sendiri"
Di ruangan tamu, usai wawancara, Sukiman terlihat
bercengkerama dan sesekali bergurau dengan Farida - dalam bahasa Jawa.
"Farida itu seperti anak saya sendiri." Di lain
sisi, Farid menganggap Sukiman sudah seperti ayahnya sendiri.
Suasana keakraban antara anak tokoh NU dan eks Lekra itu,
tak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Kedua pihak yang pernah
berseteru akan terus menyimpan amarah dan dendam, apabila upaya membangun
jembatan untuk mendekatkannya tidak dirintis sejak awal.
"
Farida itu seperti anak saya
sendiri," kata Sukiman. Di lain waktu, Farida menganggap Sukemi sudah
seperti ayahnya sendiri. BBC NEWS INDONESIA
Saya pun membayangkan pula betapa tidak mudah bagi Farida
dan, terutama, para pendahulunya dalam membangun komunikasi awal dengan Sukiman
dan kawan-kawan.
Puluhan tahun mereka terjebak dalam memori kolektif yang
terbelah dan hubungan sosial yang nyaris hancur akibat warisan kekerasan pasca
Oktober 1965.
"Kami sempat bingung untuk mengawalinya,"
ungkap Moh, Asrofi, aktivis Lakpesdam NU Blitar, dalam buku Rekonsiliasi
Kultural Tragedi 1965. "Bagi kami, rekonsiliasi kultural itu adalah hal
baru."
Menimba pengalaman dari diskusi dengan lembaga yang sudah
melakukan langkah serupa, mereka lantas mencari sosok yang bisa menjadi pintu
pembuka untuk menjadi jembatan ke pihak para penyintas.
Langkah ini akhirnya bergulir, dan Farida mengingat
betapa tidak gampangnya untuk meyakinkan para penyintas dari kalangan perempuan
untuk bercerita terbuka tentang apa yang mereka alami di masa-masa itu - pada
awalnya.
"Kita pendekatannya secara pribadi, tidak melibatkan
organisasi apapun," katanya.
Diawali dengan membangun kepercayaan yang antara lain
ditandai dengan beberapa kali pertemuan silaturahmi, para penyintas barulah
merasa nyaman untuk mulai berbagi informasi perihal pengalaman pahit mereka di
masa lalu.
Dalam beberapa pertemuan berikutnya, mereka lantas saling
membuka diri, lalu "saling menyadari" bahwa mereka adalah
"sama-sama korban". Di momen-momen itulah, menurut Farida, kedua
pihak secara terbuka untuk saling memaafkan.
"Bahwa saya, beliaunya, yang tak luput dari salah,
maka kita membuka diri untuk saling memaafkan, tidak ada dendam, dan kita
saling melakukan sesuatu secara bersama," katanya.
Untuk memelihara kedekatan itu, Farida dan anak-anak muda
NU serta para penyintas berjanji untuk saling bertemu, termasuk di acara-acara
keluarga.
"Ketika ibu-ibu itu mengawinkan anak-anaknya, kita
datang ramai-ramai."
Lokasi pembantaian
orang-orang PKI: Gua Tikus
Ketika saya mengutarakan ide untuk mengajaknya ke
salah-satu lokasi eksekusi dan kuburan massal orang-orang yang dicap PKI, yaitu
gua tikus atau luweng tikus di Dukuh Bokolan, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung,
Farida tidak keberatan.
"Saya belum pernah ke sana," katanya. Masrukin,
suaminya, yang juga pernah aktif di Lakpesdam NU Kabupaten Blitar dan turun
mendampingi para penyintas, kami ajak pula.
Kenyataannya lancar-lancar
saja, kecuali medannya yang relatif berat. Mobil sewaan akhirnya kami titipkan
ke rumah salah-seorang pegiat Lakpesdam, dan kami melaju ke lokasi dengan
mengendarai sepeda motor. BBC NEWS INDONESIA
Bagaimana dengan Sukiman, yang salah-satu anggotanya
diduga dibunuh dan dibuang ke gua tersebut, apakah dia berkenan ikut serta? Dia
mengiyakan dan bersemangat.
"Saya sudah berulangkali mengunjunginya."
Saya sempat khawatir kedatangan kami ke gua tikus itu
akan ditolak aparat keamanan setempat. Maklum, lebih dari 15 tahun silam, upaya
penggalian gua tikus oleh sejumlah LSM untuk kepentingan penyelidikan dugaan
pembunuhan massal, ditolak Bupati Kabupaten Blitar, karena alasan
"meresahkan masyarakat".
Kenyataannya lancar-lancar saja, kecuali medannya yang
relatif berat. Mobil sewaan akhirnya kami titipkan ke rumah salah-seorang
pegiat Lakpesdam, dan kami melaju ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor.
Dibiarkan menganga, tanpa
pagar, dan dirimbuni pohon bambu di kedua sisinya, pintu masuk ke gua itu
kira-kira berdiameter tiga dan dua meter. BBC NEWS INDONESIA
Memakan waktu sekitar 30 menit, kami melalui jalanan
tanah berdebu, naik-turun, terkadang hanya jalan setapak, melintasi perbukitan
gersang di tengah sengatan matahari di siang bolong.
"Itu lubang guanya," kata Markus, aktivis
Lakpesdam setempat.
Dibiarkan menganga, tanpa pagar, dan dirimbuni pohon
bambu di kedua sisinya, pintu masuk ke gua itu kira-kira berdiameter tiga dan
dua meter.
Tidak pernah diketahui berapa jumlah orang-orang yang
dituduh PKI dijagal, dibunuh dan dibuang ke dalam lubang yang terlihat gelap
dari atas.
Hanya saja berhamburan cerita tentang bau busuk yang
menyengat tidak lama setelah eksekusi, kisah-kisah menyeramkan di seputarnya,
serta upaya penyelidikan siapa saja yang dibunuh di lubang itu yang akhirnya
gagal.
Berdiri di dekat lubang
mengerikan itu, Sukiman tetap berharap pemerintah agar serius menyelesaikannya.
BBC NEWS INDONESIA
Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan
pasca 1965, antara lain dengan mewawancarai saksi mata dan mendatangi sejumlah
lokasi yang disebut sebagai kuburan massal.
Melalui penyelidikannya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa
kasus kekerasan pasca G30S sebagai pelanggaran HAM berat. Para eks tapol itu
kemudian disebut sebagai korban atau penyintas.
Empat tahun lalu, dalam wawancara khusus dengan BBC
Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis (kini tidak lagi menjabat) mengatakan
pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran.
Namun upaya pengungkapan itu tak berlangsung mulus,
karena mendapat tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat dan kalangan dalam
pemerintah sendiri. Akibatnya penyelesaiannya sampai kini terkatung-katung,
tanpa ada kejelasan.
Adapun Farida (kanan)
mengharapkan, siapapun yang dibunuh dan dibuang ke dalam lubang gua itu, untuk
dikuburkan ulang secara layak. BBC NEWS INDONESIA
Berdiri di dekat lubang mengerikan itu, Sukiman tetap
berharap pemerintah agar serius menyelesaikannya. Namun dia kurang setuju jika
ada upaya penyelidikan siapa saja korban yang dibunuh di dalam gua itu.
"Itu sudah lampau, tidak penting. Sudah 50 tahun
silam," katanya.
Dia mengusulkan agar pemerintah membuatkan jalan yang
layak menuju ke gua ini, sehingga memudahkan keluarga korban yang ingin
berziarah.
Adapun Farida mengharapkan, siapapun yang dibunuh dan
dibuang ke dalam lubang gua itu, untuk dikub
"Siapapun mereka, seharusnya mereka dikuburkan
secara layak," katanya.
Dengan tindakan seperti, pemerintah sudah menunjukkan
bukti keseriusan untuk menyelesaikan tragedi '65 dengan cara mengakuinya,
katanya.
Masrukin sependapat dengan Farid agar diungkap siapa yang
dibunuh dan dibuang ke dalam lubang itu, walaupun diakuinya upaya ini akan
sulit direalisasikan saat ini, karena masih ada penolakan dari sebagian
masyarakat.
'Biarkan tugu
Trisula berdiri, jangan dibongkar'
Di akhir perjalanan, kami kemudian menuju Monumen
Trisula, yang didirikan oleh pemerintah pada 1972, di Desa Bakung, Kecamatan
Bakung.
Ini adalah bangunan tugu untuk menjadi pengingat
keberhasilan Operasi Trisula 1968 membasmi pimpinan dan pengikut PKI di Blitar
selatan.
Dalam salah-satu dindingnya tertera nama-nama anggota
masyarakat dan TNI/Polri yang disebutkan menjadi korban PKI.
"Saya kenal beberapa nama yang tertera di dinding
ini," kata Sukiman seraya menyebut setidaknya tiga nama.
Di akhir perjalanan, kami
kemudian menuju Monumen Trisula, yang didirikan oleh pemerintah pada 1972, di
Desa Bakung, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar.
BBC NEWS INDONESIA
Sukiman, yang mengaku dilibatkan bersama tapol lainnya
oleh instansi militer untuk menggali fondasi bangunan monumen itu ("Saya
saat itu masih dikenai wajib lapor setelah keluar penjara," katanya),
dapat menerima keberadaan tugu yang dibangun pada masa Orde Baru itu.
"Biarkan saja tugu ini, jangan dibongkar. Ini
sejarah," katanya.
Di hadapan saya, Sukiman lebih bersemangat bercerita
tentang acara rekonsiliasi yang dirintis anak-anak muda NU dan para penyintas -
dibungkus dalam acara kesenian - yang digelar di halaman tugu itu, September
2001.
Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965 disebutkan
bahwa acara yang digelar di pelataran monumen itu dapat membangkitkan ingatan
yang bukan hanya berbeda, tapi juga saling berlawanan.
Sukiman (kiri) mengaku
dilibatkan bersama tapol lainnya untuk menggali fondasi bangunan monumen itu. BBC
NEWS INDONESIA
"Tetapi kami yakin kebersamaan itu, niscaya akan
mencairkan sekat memori kolektif yang terbelah," tulis Moh.Asrofi, aktivis
Lapesdam NU Blitar, dalam buku itu.
Farida pun meyakini, rekonsiliasi kultural itu, sangat
bermanfaat karena setidaknya dapat meminimalkan kebencian di antara kedua
pihak, sekaligus menghapus dendam.
"Dan saya akui, proses rekonsiliasi harus berlanjut,
dan barangkali tidak akan pernah selesai. Silaturahmi harus terus
berlanjut," kata Farida.