“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Sumarsih, ibu mahasiswa Universitas Atma Jaya Bernardus Realino Norma Wirawan atau Wawan yang tewas saat tragedi Semanggi 1, mencium foto anaknya usia melakukan tabur bunga pada peringatan 17 Tahun Tragedi Semanggi 1 di Jakarta, Jumat (13/11). (Foto: Antara)
KBR, Jakarta- Ibu korban Peristiwa Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih menilai kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 masih bisa dibawa ke mekanisme penyelesaian yudicial. Pemerintah, kata dia jangan berpangku tangan hanya karena kasus itu mandeg di Kejaksaan Agung.
Kata Ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I, penyelesaian melalui nonyudisial sebagai mengada-ngada. Sumarsih mengatakan, Indonesia adalah negara hukum, dan sesuai UU No. 26 Tahun 2000, pengadilan HAM wajib diterapkan.
"Indonesia bukan negara hukum dong. Untuk apa membuat UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, jika itu tidak diterapkan untuk menyelesaikan kasus? (Masih mampu tidak diselesaikan kasus pelanggaran HAM berat ke yudicial?) Masih mampu diselesaikan. Masih mampu, itu hanya alasan wairanto dan jaksa agung," ujarnya kepada KBR, Senin (30/1/2017).
"UU pengadilan HAM itu diperkuat dengan keputusan MK tahun 2007 dan 2008. Tahun 2007 disebutkan, terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas Ham sebagai penyelidik, dan Kejaksaan sebagai penyidik. Tahun 2008 disebutkan untuk menyelesaikan pelanggaran Ham berat secara yusidial tidak masalah dengan konstitusi. Jadi masih kurang apa lagi? Tanyanya heran.
Sumarsih menambahkan banyak bukti yang bisa dihadirkan di pengadilan terkait kasus pelanggaran HAM 1998-1999. Salah satunya kesaksian bekas Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Kivlan Zein
"Karena pernyataan belum lama ini pada saat kampanye capres dan Cawapres Kivlan tahu yang diculik dan dibunuh di mana. Dia mengatakan mendapatkan tugas dari Wiranto untuk membuat demo tandingan mahasiswa yang menolak sidang. Demo tandingan itu untuk mendukung sidang istimewa MPR dengan mengerahkan Pam Swakarsa yang dipersenjatai bambu runcing, itu pada 1998," ungkapnya.
Dia pun tetap penyelesaian melalui nonyudisial termasuk menolak kehadiran Dewan kerukunan Nasional (DKI) yang digembar-gemborkan Wiranto.
"Kami sudah bersepakat dengan berbagai pihak untuk menolak DKN yang diusung Wiranto. Karena hanya untuk cuci tangan Wiranto yang bertanggungjawab terhadap tragedi 1998-1999," ujar perempuan 65 tahun tersebut.
Sumarsih bersama keluarga korban lainnya masih percaya dan yakin, presiden Joko Widodo ingat dengan nawacitanya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sumarsih beranggapan kepercayaan, dan keputusasaan keluarga korban hanya dimanfaatkan bekas Gubernur DKI itu untuk melanggeng menjadi RI 1.
"Saya kecewa iya. Karena pada saat kampanye ada hitam diatas putih, dicatat di dalam visi misi nawacita. Kami berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran Ham masa lalu. Tapi ya, saat saya merasa kecewa pesimis, saya kira Jokowi hanya memanfaatkan keluarga korban hanya untuk jadi presiden," keluhnya.
Penyair Widji Tukul, salah satu korban hilang pada 1998. (Foto: IKOHI)
KBR, Jakarta- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui jalur nonyudisial. Kata dia, kasus-kasus HAM masa lalu, seperti kasus 1965, sulit dilanjutkan proses yudisialnya.
Wiranto berdalih, kasus-kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu.
"Dan dari tujuh dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama peristiwa 1965, maka kita sedang merumuskan cara terbaik untuk menyelesaikan sisa yang lain. Dan kita juga harus menyiapkan satu proses di mana penyelesaian itu sangat dimungkinkan. Melalui satu penyelesaian yang nonyudisial," kata Wiranto saat konferensi pers bersama dengan anggota Komnas HAM di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/1/2017).
Wiranto melanjutkan, "dan ini tentu tidak mudah karena membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus. Membutuhkan satu semangat yang sama untuk membangun satu institusi yang mampu menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara-cara yang benar, baik yang adil dan bisa memenuhi keinginan semua pihak."
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat membenarkan bahwa sikap politik pemerintah menghendaki pelanggaran HAM berat masa lalu melalui nonyudisial.
"Lha keputusan politik pemerintah begitu kan ke arah sana. Kan sudah gamblang. Untuk yang pelanggaran HAM berat masa lalu itu yang menjadi pilihan pemerintah saat ini, ya menempuh jalan nonyudisial," ujar dia.
Ia mencontohkan kasus Trisakti dan Semanggi tidak dilanjutkan lantaran mandeg di Kejaksaan Agung. Kendati demikian, menurut Imdadun, Komnas HAM tidak menutup peluang jalur yudisial.
"Ya didorong yudisial iya tapi kalau kemudian Kejaksaan Agungnya tidak kooperatif terus apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM? Karena penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik (kejaksaan), penyidiknya tidak mau jalan gimana?" Kata dia.
Terkait formula nonyudisial atau rekonsiliasi, Komnas HAM mengusulkan agar kasus HAM berat masa lalu juga bisa diselesaikan melalui Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Menurut dia, konsep Menkopolhukam tentang DKN masih terlalu umum dan belum jelas.
"Kita menghendaki kalau memang DKN ini dimaksudkan sebagai alternatif dari KKR yang sudah tidak ada UU dan kelembagaannya itu, maka harus eksplisit juga disebutkan di situ terkait dengan pelanggaran berat masa lalu," imbuhnya.
"Supaya masyarakat dan juga Komnas HAM itu mendapatkan guarantee bahwa memang DKN ini adalah implementasi dari RPJMN-nya (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pak Jokowi, jadi penyelesaian melalui lembaga di bawah Presiden," pungkasnya.
Pada Senin (20 April 2015) berlangsung pertemuan tertutup antara Menkopolhukkam Tedjo Edhy Purdijatno, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala BIN Marciano Norman, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis dan perwakilan Panglima TNI. USai pertemuan itu, keesokan harinya Jaksa Agung menegaskan sebanyak tujuh kasus pelanggaran HAM bakal diselesaikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ketujuh pelanggaran HAM berat tersebut adalah peristiwa 65/66, penembakan misterius 1982-1985. Kemudian penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Kerusuhan 98, tragedi Trisakti 1998, Semanggi 1 dan 22 pada 98/99, peristiwa Talangsari 1989.
Jakarta, CNN Indonesia
--
Anggota Dewan Pers Nezar Patria melayangkan teguran
hukum (somasi) kepada Alfian Tanjung karena menuduh dia sebagai kader
Partai Komunis Indonesia (PKI). Hari ini, Senin (30/1), Nezar memberikan
somasi melalui kuasa hukumnya Jamalul Kamal Farza, agar Alfian berhenti
menyebarkan fitnah dan mencabut seluruh pernyataannya.
“Kami
menolak dan sangat berkeberatan dengan ucapan serta perkataan Saudara
Alfian Tanjung yang saat ini beredar luas menjadi viral di media
sosial,” ujar Kamal dalam keterangan tertulis.
Kamal menyebutkan,
Alfian menuding Nezar bagian dari kader PKI, selain Teten Masduki, Urip
Supriyanto, Budiman Sudjatmiko, dan Waluyo Jati. Alfian menuduh mereka
menjadikan Istana Negara sebagai sarang PKI karena kerap rapat tiap
malam sejak Mei 2016.
Pernyataan tersebut, menurut Kamal, disampaikan Alfian saat berceramah
di Masjid Jami Said Tanah Abang, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2016. Kabar
itu pun beredar luas di media sosial dan media massa belakangan ini.
"Mereka
(PKI) sudah menguasai Istana, hampir sebulan ini tak ada lagi konsultan
tentara," kata Alfian, sebagaimana disebutkan Kamal.
Kamal
menyatakan, ucapan Alfian adalah fitnah yang sangat serius. Dia menilai,
Alfian berusaha menghasut umat Islam. Rangkaian isi ceramah Alfian
disebut berpotensi menghadapkan kliennya seakan sebagai ancaman bagi
umat Islam.
"Nezar sebagai generasi yang lahir dan besar di zaman
Orde Baru, jelas tidak pernah menjadi anggota apalagi kader PKI," ujar
Kamal.
Selain itu, pernyataan Alfian terkait aktivitas 'memimpin
rapat malam di Istana' menurut Kamal adalah tuduhan yang tak berdasarkan
fakta dan termasuk kabar bohong.
Dia
menjelaskan, selama 18 tahun, kliennya berprofesi sebagai wartawan
profesional. Nezar tak pernah masuk ke arena politik praktis dan tak
punya hubungan kerja maupun organisasi dengan Istana.
"Tuduhan
'rapat malam di Istana' telah merusak kredibilitasnya sebagai wartawan
profesional yang seakan dia telah ikut dalam politik praktis dan menjadi
bagian dari kekuasaan eksekutif," ujar Kamal.
Somasi yang
dilayangkan Nezar, menurut Kamal, sebagai itikad baik karena masih
mempertimbangkan kemungkinan Alfian sedang khilaf dan salah sasaran.
Kamal berharap Alfian segera meminta maaf, mencabut pernyataan, dan
menghentikan fitnah.
“Tetapi jika Alfian tidak menggubris somasi ini, maka kami akan melakukan tuntutan hukum,” ujar Kamal Farza.
Kamal
beserta timnya memberikan waktu selama 3x24 jam terhitung sejak somasi
diterima Alfian. Alfian diminta mencabut ucapan dengan menyebarkannya
melalui media cetak maupun elektronik, serta membuat pernyataan maaf di
media massa nasional.
“Jika dia tidak berubah, kami akan proses hukum,” ujar Kamal.
Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah saat menjadi pembicara dalam diskusi Hukuman Mati di Negara Demokrasi, di kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (17/5/2016). Kristian Erdianto
KOMPAS.com
- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto melakukan pertemuan dengan sejumlah komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).
Pertemuan yang dijadwalkan mulai pukul 14.30 WIB itu akan membahas upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
"Kami akan rapat untuk membicarakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu," ujar salah satu komisioner Komnas HAMRoichatul Aswidah, saat ditemui sebelum pertemuan.
Tercatat sudah dua kali Komnas HAM bertemu dengan Wiranto terkait agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM diterbitkan.
Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah menyerahkan hasil simposium nasional "Membedah Tragedi 1965 dari Sudut Pandang Kesejarahan" yang dilaksanakan pada April 2016 lalu ke Kemenko Polhukam.
Namun, hingga kini Wiranto belum berkomentar terkait substansi akhir rekomendasi tersebut.
Dia hanya membenarkan bahwa rekomendasi itu kini sudah ada di tangan Presiden.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada beberapa kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang masih menjadi PR pemerintah, yaitu Peristiwa 1965, Peristiwa 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-1998.
JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto akan memimpin rapat konsultasi dengan lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) siang ini.
Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, pihaknya telah mendapat undangan untuk mengikuti rapat konsultasi tersebut. Menurutnya, rapat konsultasi akan membahas masalah kasus pelanggaran HAM berat.
"Kita dapat undangan dari menko (Wiranto) hari ini jam 02.30 WIB, agendanya pembahasan kasus pelanggaran HAM yang berat," jelas Nur Kholis saat dikonfirmasi, Senin (30/1/2017).
Nur Kholis melanjutkan, selain membahas masalah pelanggaran HAM berat, pihaknya mengaku belum tahu apa saja yang akan dibahas bersama Wiranto. Termasuk dia belum mengetahui secara pasti apakah nantinya juga akan dibahas masalah Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang dibentuk pemerintah.
"Kita belum tau (akan membahas DKN). Saya akan ikut hadir," ucapnya.
Seperti diberitakan pemerintah menginisiasi pembentukan DKN. Lembaga baru itu telah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kabinet paripurna di Istana Bogor beberapa waktu lalu. Nantinya badan ini akan menjadi penengah bagi konflik yang terjadi antarmasyarakat, di mana konflik itu nantinya akan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Wiranto pernah berpendapat, DKN ini nantinya akan menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang sudah ditolak pembentukannya oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan Taufik Ismail menilai kondisi Indonesia pada tahun ketiga Presiden Joko Widodo memerintah, seperti situasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. "Situasi minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir ini, mirip situasi pada tahun 62, 63, 64, dan 65," kata Taufik, dalam sambutannya dalam deklarasi Alumni Universitas Indonesia Bangkit untuk Keadilan di Perpustakaan UI, Jumat, 27 Januari 2017.
Menurut penyair itu, PKI sedang menyusun kekuatannya dengan sehebat-hebatnya untuk merebut kekuasaan. Namun, setelah gagal pada 1926 dan 1948, mereka berhasil menghasut Presiden Sukarno, untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis, yang dipilih dengan jujur dan tanpa bunuh-bunuhan. Bahkan, tidak ada penipuan penghitungan suara, dan diikuti oleh pers dunia.
Pers Amerika dan Eropa, menyebut ada negara baru sembilan tahun merdeka mengadakan pemilihan yang bersih, dan tidak ada tandingannya di dunia dalam berdemokrasi, yaitu Indonesia. "Tidak ada penghitungan suara yang dicurangi. Ketuanya tokoh besar Masyumi Burhanudin Harahap, dia netral dan tidak mengaju-ngajukan Masyumi supaya menang."
Namun, pada waktu bersamaan ada suatu negara yang jaraknya tidak jauh dari Indonesia menggelar pemilihan umum pertama tapi heboh. Sesama partai berkelahi. Bahkan, ada belasan orang yang terbunuh. Negara itu adalah Filipina. "(Demokrasi) kita dipandang dunia waktu itu," ujarnya.
Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan tenang. Sedangkan di Filipina juga 10 tahun merdeka, gontok-gontokan dan surat suara dicurangi. Mereka diejek dunia luar. "Itu yang terjadi pada tahun itu."
Ia memaparkan situasi politik berubah ketika Sukarno membubarkan DPR yang demokratis. Sukarno menunjuk 200 orang menjadi anggota DPR yang baru dan melantiknya.
Anggota DPR yang baru mengangkat Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Namun, Mohammad Hatta tidak setuju, lalu meletakkan jabatan sebagai wakil presiden.
Saat itu ada satu konsep idieologi negara yakni Nasionalis, Agama dan Komunis yang disatukan. Bagi, komunis konsep itu merupakan kesempatan. "Dia (Sukarno) tidak tahu orang komunis ini kerjanya berdusta dan menjegal. Konsep Nasakom dijegal. Dan mereka merebut kekuasaan ketiga kalinya, tapi gagal juga."
Membahas putaran sejarah memang tidak akan pernah ada
habisnya. Ketika jalan buntu ditemui, maka satu demi satu jalan lain terbuka
untuk melusuri kembali setapaknya. Satu versi ditebas habis, disusul versi
untuk diperdebatkan. Bicara mengenai sejarah, ada satu kisah masa lalu yang
hingga kini tak pernah habis dikupas. Ada beberapa rahasia yang bila
diungkapkan maka akan ditemukan benang merah terkait perjalanan bangsa ini.
Kisah yang tak tuntas ini secara de facto selesai ketika Sarwo Edhie
Wibowo bersama pasukan Angkatan Darat merebut kembali Radio Republik Indonesia
(RRI) dan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dan para pemimpinnya seperti
Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Syam Khairuzamman diadili oleh negara
melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Namun, efek yang ditimbulkan setelahnya justru bergulir
bak bola liar, tak terhentikan dan mirisnya menciptakan konspirasi panjang yang
tak berkesudahan. Sejarah penuh intrik, konspirasi, tragedi yang berhasil
membuat Indonesia kalang kabut selama puluhan tahun setelahnya, sekaligus alat
utama penguasa negara menciptakan narasi penuh tipu daya itu bernama Gerakan 30
September atau biasa kita menyebutnya G30S.
Telah banyak orang mencoba membuka tabir dibalik G30S.
Dari sejarawan, peneliti, akademisi, hingga aktivis, giat melakukan diskusi.
Beberapa dari mereka bahkan menuliskan penelitian serta
diskusinya ke dalam sebuah buku. John Roosa, seorang seorang sejarawan yang
juga professor di University of British Columbia (Kanada) muncul dengan bukunya
yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and
Suharto’s Coup d’État in Indonesia. John Roosa menguak banyak sisi yang
tidak banyak diketahui khalayak dan menjungkir-balikkan narasi yang selama ini
dikeluarkan secara resmi oleh negara melalui rezim Orde Baru di bawah Suharto.
Selain itu melalui bukunya, John Roosa menjelaskan secara runtut bagaimana G30S
direncanakan, siapa saja yang bergerak di belakang layar, bagaimana
keterlibatan negara-negara asing seperti Amerika Serikat melalui CIA dan
Inggris melalui M-16 dan yang terpenting bagaimana keterlibatan Suharto beserta
kroni-kroninya dalam G30S ini.
Dari sisi yang lain, Wijaya Herlambang juga berusaha
menguak tabir seputar G30S. Jika John Roosa membuka G30S dari segi teknis dan
runtutan peristiwa secara langsung, Wijaya Herlambang menuliskan sebuah
pandangan baru mengenai G30S melalui sudut pandang pertarungan kebudayaan yang
terjadi pra dan pasca peristiwa bersejarah tersebut muncul di permukaan.
Gagasan, diskusi dan penelitian Wijaya Herlambang tersebut dikumpulkan dan
diterbitkan dalam sebuah karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 di
tahun 2013. Pertarungan kebudayaan yang mau tidak mau harus menghadirkan
perseteruan antara pihak Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) semakin dilengkapi oleh buku terbitan Harian Tempo
dengan judul Lekra dan Geger 1965.
Pergulatan menarik yang mengupas sisi-sisi tersembunyi telah
dibahas oleh sumber-sumber di atas. Namun, baik John Roosa dan Wijaya
Herlambang sendiri tampaknya memang hanya fokus untuk menggali G30S dari sudut
pandang internal negara Indonesia, khususnya dampak pasca peristiwa G30S
terhadap internal kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sekali lagi
dikatakan bahwa G30S ini bukanlah peristiwa tunggal dan berdiri sendiri. Banyak
berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri turut yang mendorong
terjadinya Gerakan 30 September pada 1 Oktober dini hari tersebut. Hal tersebut
menandakan dampak G30S tidak hanya berpengaruh pada internal negara Indonesia
saja tetapi juga pihak eksternal negara asing lainnya. Pertanyaannya, pihak
eksternal mana sajakah yang turut terpengaruh atas terjadinya G30 dan mengapa?
Apakah selain Amerika Serikat dan Inggris yang telah sedikit dibahas oleh John
Roosa, ada negara lain yang turut bermain api dalam prahara G30S serta
mengambil keuntungan? Lalu adakah pihak-pihak yang dirugikan walapun tidak ikut
campur secara langsung ke dalam G30S?
Aiko Kurasawa bersama tim penelitiannya hadir dalam
sebuah karya buku berjudul G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang
Dingin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sekali lagi, selama
ini buku-buku, literasi, atau ulasan mengenai kejadian G30S yang bertebaran di
dunia kebanyakan hanya membahas keterlibatan propaganda CIA dan M-16 sebagai
aktor eksternal yang turut menyokong Suharto membangun Orde Baru lewat kudeta
merangkak dengan G30S itu sendiri sebagai dalihnya. Padahal, secara letak geografis
Indonesia terletak pada kawasan Asia, tepatnya Asia Tenggara yang tentunya
hidup berdampingan dengan negara-negara serumpunnya. Secara logika apabila
kejadian G30S memang benar-benar menjadi peristiwa besar nan mengguncangkan
yang memaksa negara nun jauh di sana seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk
turut campur, bukan tidak mungkin negara-negara tetangga dalam lingkup Asia
Tenggara seperti Malaysia, Fillipina, Vietnam, serta Singapura ikut masuk dalam
pusaran prahara.
Belum lagi peran negara-negara Asia yang mempunyai
hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Tiongkok dan Jepang, pastilah
mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam G30S. Dengan latar belakang
kegusaran dan penasaran itulah akhirnya Aiko Kurasawa dan kawan-kawan mencoba mengkaji
secara mendalam pengaruh atau dampak yang diberikan G30S terhadap Asia.
Kajian-kajian mendalam tersebut yang nantinya menjadikan buku ini sebagai yang
pelopor dalam pembahasan G30S dilingkup Asia.
Penelitian yang berkelanjutan ini akhirnya memunculkan
pertanyaan dan perspektif yang menakjubkan. Benarkah Tiongkok ikut terlibat
dalam G30S? Apakah pengaruh G30S dalam pergerakan kemerdekaan Sarawak?
Bagaimanakah Korea Utara dan Korea Selatan menanggapi G30S? Negara mana yang
paling diuntungkan setelah G30S? Mengapa Filipina tidak begitu memberikan
perhatian terhadap G30S? Mengapa Jepang sangat diuntungkan pasca G30S? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditemukan di dalam buku ini. Buku ini
bermaksud menguraikan G30S dari perspektif dinamika pergeseran politik di Asia.
G30S ternyata berpengaruh terhadap perubahan peta politik negara-negara di Asia
dalam menentukan sikap terhadap pengaruh ideologi komunis dan kapitalis. Negara
yang paling banyak dibahas di dalam buku ini adalah Tiongkok, baik peranannya
sebelum G30S maupun pasca G30S itu terjadi.
Sebagai negara yang memiliki organisasi komunis ketiga
setelah Uni Soviet dan Tiongkok, Indonesia tentunya memiliki hubungan yang
cukup erat dengan negara-negara berhaluan kiri tersebut. Apalagi setelah
Presiden Sukarno dengan lantang menyatakan keinginannya membuat kekuatan dunia
baru dengan Jakarta-Peking-Hanoi-Phnom Penh sebagai porosnya di pertengahan
medio 1960-an, hal itu membuat hubungan Indonesia dan Tiongkok semakin erat.
Partai Komunis Tiongkok (PRT) seperti yang diulas pada buku ini juga beberapa
kali berkoordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membicarakan
program-program partai. Isu miring pun tak luput menerpa hubungan keduanya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio bahkan secara
terang-terangan menuduh Tiongkok dan PRT sebagai dalang G30S terkait dukungan
mereka untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani Indonesia (keinginan serupa
untuk mendirikan angkatan kelima pernah diutarakan oleh Dipa Nusantara Aidit
kepada Sukarno, namun ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Angkatan Darat
seperti Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution).
Tuduhan tersebut dibantah dengan tegas oleh Menteri Luar
Negeri Tiongkok lewat arsip Kementrian Luar Negeri Tiongkok yang pernah dibuka
untuk publik di tahun 2011. Bahwasanya dukungan untuk mempersenjatai kaum buruh
dan tani bukanlah sebagai rencana G30S, namun untuk persiapan menghadapi
kekuatan neo-kolonialisme Amerika Serikat yang mulai menginvasi Asia Tenggara
lewat perang Vietnam.
Tiongkok sendiri pernah menandatangani perjanjian dengan
Indonesia mengenai pemberian bantuan persenjataan ringan pada bulan Agustus
1965, namun hingga peristiwa G30S pecah bantuan senjata itu tidak pernah
diberikan secara langsung kepada pemerintah.
Hal menarik lainnya yang diulas di dalam buku ini adalah
betapa besar pengaruh G30S terhadap pergerakan kemerdekaan Negara Sarawak atau
Republik Kalimantan Utara yang kini menjadi bagian dari Malaysia. Kita semua
mengetahui Sukarno pernah melakukan konfrontasi secara terbuka dengan Malaysia
di tahun 1965. Hal tersebut dilakukan karena Sukarno menyatakan bahwa Malaysia
merupakan negara boneka yang dibentuk oleh Inggris dan kekuatan nekolim yang
berpotensi mengganggu stabilitas negara-negara di Asia Tenggara khususnya
Indonesia yang sedang gencar membangun kekuatan bersama negara dunia ketiga di
bawah naungan New Emerging Force atau Nefo. Negara Sabah dan Serawak yang ingin
melepaskan diri dari Malaysia jelas mendapat dukungan dari Sukarno dan
Indonesia.
Konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang dilakukan Sukarno
jelas membantu pergerakan kemerdekaan secara moril. Bahkan di penghujung bulan
Agustus pergerakan untuk kemerdekaan Sarawak semakin besar dan berpotensi untuk
mencapai keberhasilan. Namun, pecahnya G30S di akhir September membuat
peruntungan berubah ditambah Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yeeuw yang
awalnya mendukung gerakan kiri beralih untuk memberikan perlawanan dan menekan
komunis yang ada di negaranya membuat dukungan terhadap kemerdekaan Republik
Kalimantan Utara tereduksi. Turunnya Sukarno lalu naiknya Suharto yang ditindaklanjuti
dengan pemberantasan kekuatan komunis dan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia
membuat kemerdekaan Sarawak tinggalah angan-angan belaka.
Negara Jepang juga sedikit banyak mengambil keuntungan
dari kejadian baik pra maupun pasca G30S. Sebelum G30S terjadi, Indonesia
memiliki banyak agenda untuk mengusir nekolim dari bumi pertiwi, salah satunya
adalah program nasionalisasi perusahaan asing dan land-reform yang
amat didukung atau setidaknya selaras dengan program yang dimiliki oleh PKI.
Saat itu kebanyakan perusahaan asing yang memiliki aset di Indonesia adalah
milik orang-orang Belanda. Melihat hal tersebut Jepang turut mendukung program
nasionalisasi itu sebab mereka hampir tidak memiliki sama sekali kepemilikan
perusahaan di Indonesia. Dengan terusirnya Belanda, Jepang berharap suatu saat
nanti pemerintah Indonesia akan memberi banyak proyek yang condong ke Jepang
dan memberikan izin untuk berinvestasi di Indonesia. Pasca G30S Jepang banyak
mengeruk keuntungan. Dengan adanya undang-undang tentang penanaman modal asing
yang diteken oleh Presiden Suharto ditambah menguatnya kerja-sama Indonesia dan
Amerika Serikat bersama para sekutunya (termasuk Jepang serta Korea Selatan),
membuat produk Jepang serta Korea Selatan membanjiri pasar Indonesia, mulai dari
produk otomotif hingga alat telekomunikasi. Ekspor yang deras ke Indonesia
tersebut secara langsung membuat perekonomian Jepang dan Korea Selatan
meningkat pesat hingga mereka dijuluki “Macan Asia” sampai hari ini.
Bila kita telisik lebih dalam dampak dari G30S sangatlah
besar dan luas. G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin banyak membuka
tabir yang selama ini masih tertutup rapat sehingga kita bisa menarik benang
merah dari kejadian di masa lampau untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi
di masa depan. Sembilan tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini dapat dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, mengenai respons dan keterlibatan masing-masing
pemerintah dan masyarakat. Kedua, fokus terhadap pemberitaan media di beberapa
negara di Asia. Ada delapan negara yang dibahas di buku ini, yaitu Jepang,
Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Buku yang sangat menarik untuk dibaca dan bisa menjadi referensi kita untuk
mendiskusikan posisi geopolitik yang terjadi di kawasan Asia.
Jakarta, CNN Indonesia
--
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki
berencana melaporkan Ustaz Alfian Tanjung ke Badan Reserse Kriminal
Polri.
Penasihat hukum Teten, Ifdhal Kasim, mengatakan laporan
itu dibuat karena Alfian diduga menyebarkan fitnah, melakukan pencemaran
nama baik, dan melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dugaannya, Teten disebut sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyebut KSP sebagai sarang PKI.
"Kami
melaporkan tindak pidana fitnah, pencemaran nama baik dan menyebarkan
konten negatif di media sosial yang diduga dilakukan oleh seorang bernama Alfian Tanjung," ujar Ifdal di Bareskrim Polri, Kantor
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat, Jumat (27/1).
Menurutnya,
tuduhan Alfian tersebut telah mendelegitimasi sosok Teten dan KSP.
Tudingan soal PKI, kata dia, sudah merusak peran KSP, yang ikut
mengelola strategi program pemerintahan.
Dalam aduan tersebut,
Ifdhal dan tim penasihat hukum, membawa sejumlah barang bukti, seperti
video berisi pernyataan Alfian di hadapan jemaah masjid dan print out sejumlah berita di media daring.
"Kami
lihat ini sesuatu yang bukan hanya berdampak signifikan bagi Teten
secara personal, tetapi juga memiliki dampak sekaligus terhadap tatanan
demokratis yang sedang dibangun sejak reformasi ini," katanya.
Namun
begitu, Ifdhal mengaku, belum membuat laporan polisi secara resmi
karena waktu yang tidak memungkinkan. Ia pun mengatakan, laporan secara
resmi akan segera dibuat dalam waktu dekat.
Rapat PKI Sebelumnya,
Alfian dalam salah satu ceramahnya menyebut ada rapat PKI di Istana
Negara setiap pukul 20.00 WIB. Dia pun mengaku tidak asal bicara.
"Saya
ini umurnya sudah lebih dari 50-an (tahun), saya aktifis dari tahun
1982. Maksudnya bukan soal gagah-gagahan umur, artinya nggak masuk akal
kalau gue ngomong cuma buat cari koreng, kalau bahasa Betawinya," kata Alfian seperti dikutip dari Detikcom.
Terkait
informasi soal rapat PKI di Istana Negara itu, Alfian mengaku memiliki
sejumlah sumber. Ia juga mengaku memiliki data terkait hal tersebut.
"Ya
orang-orang pulang mereka pada datang. Rapatnya sih bukan jam 20.00
WIB, (rapatnya) jam 21.00 WIB, jam 22.00 WIB, jam 23.00 WIB. Itu mereka
ngobrol-ngobrol, itu udah engga kebantah. kalau memang dari awal, dari
awal lah saya ditegur," tutur Alfian.
Menanggapi itu, Teten
langsung melayangkan somasi terhadap Alfian. Dia mengimbau agar Alfian
segera meminta maaf.
JAKARTA, LPSK - Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) memberikan bantuan kepada subjek terlindung LPSK baik
terhadap saksi maupun korban pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana
lainnya, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban maupun UU terkait lainnya.
Berdasarkan aturan pula LPSK selama ini baru
bisa memberikan bantuan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat, bukan
kompensasi. Hal ini sebagai jawaban atas isu yang berkembang bahwa LPSK sudah
memberikan kompensasi kepada saksi dan korban pelanggaran HAM Berat 1965.
"Belum bisa kita memberikan kompensasi karena syaratnya harus ada putusan
pengadilan HAM. Pengadilan HAM saja sampai saat ini belum terbentuk", ujar
Ketua LPSK dalam rapat di Kemenkopolhukam (23/1) yang membahas adanya isu
pemberian kompensasi kepada saksi korban pelanggaran HAM Berat.
Bantuan kepada saksi dan korban Pelanggaran HAM Berat sendiri diberikan berdasarkan
adanya keterangan dan rekomendasi dari Komnas HAM. Keterangan dan Rekomendasi
ini sesuai dengan pasal 35 ayat 1 dan 2 PP 44/2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut
dijelaskan bahwa permohonan bantuan untuk korban Pelanggaran HAM Berat harus
dilampiri Suray Keterangan dari Komnas HAM yang menunjukkan pemohob adalah
korban peristiwa Pelanggaran HAM Berat. "Jadi yang LPSK lakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini", jelas
Semendawai.
LPSK sendiri mendukung jika upaya pemenuhan hak Saksi dan Korban
Pelanggaran HAM diberikan juga ke institusi lain seperti Kemensos atau Dewan
Kerukunan Nasional (DKN) yang rencananya akan dibentuk pemerintah. Namun LPSK
meminta dibuat dulu aturan yang jelas terkait hal tersebut. "Ini penting,
karena terkait pertanggungjawaban LPSK kepada Presiden, DPR, dan rakyat jika
LPSK sudah tidak boleh lagi memberikan bantuan kepada saksi dan korban
pelanggaran HAM Berat", ujar Wakil Ketua LPSK Askary Razak yang turut
hadir di pertemuan tersebut.
LPSK juga mengkonfirmasi bahwa mereka tidak hanya memberikan bantuan kepada
saksi dan korban Pelanggaran HAM 65, namun juga kepada saksi dan korban
peristiwa lain yang oleh Komnas HAM dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat
seperti Talangsari, Tanjungpriok, dan Jambu Keupok Aceh. Juga akan dilakukannya
assesment kepada saksi dan korban Pelanggaran HAM Berat Simpang KKA di Aceh.
Dalam peristiwa 65 sendiri LPSK juga tidak hanya memberikan bantuan kepada
saksi dan korban dari pihak yang diduga simpatisan kiri. Namun juga memberikan
bantuan kepada saksi dan korban dari pihak tentara, seperti yang LPSK berikan
di Solo. "Kami tidak melihat latar belakang, sepanjang memenuhi syarat
sesuai aturan di UU, pasti kami berikan. Sebaliknya jika tidak, maka tidak bisa
kami berikan", ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.
Upaya yang dilakukan LPSK ini diharapkan menjadi jalan tengah dimana
langkah-langkah Yudisial seperti pengadilan HAM belum terwujud, sementara
kebutuhan saksi dan korban akan pemenuhan hak mendesak. Adanya bantuan dari
LPSK, tidak hanya bagi saksi dan korban pelanggaran HAM Berat, diharapkan
menjadi simbol kehadiran negara. " Dengan demikian saksi dan korban
kejahatan tidak lagi merasa terabaikan, ada negara bersama mereka ", ujar
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.
Rapat tersebut dipimpin Asdep Pemajuan dan Perlindungan HAM Kemenkopolhukam,
Brigjen Abdul Hafil. Hadir dalam rapat tersebut perwakilan dari Kejaksaan,
Kemenkumham, Babinkum TNI, Setneg, dan BKN. Sementara dari LPSK hadir Ketua
LPSK, dan para Wakil Ketua LPSK yakni Askary Razak, Edwin Partogi Pasaribu, dan
Hasto Atmojo Suroyo. Rapat berikutnya diagendakan akan turut mengundang Komnas
HAM, dengan tujuan agar institusi-institusi negara memiliki pandangan yang
harmonis terkait pemenuhan hak saksi dan Korban Pelanggaran HAM.