YPKP 65-66 Kebumen

WeBlog Dokumentatif Terkait Genosida 1965-66 Indonesia

  • Home
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
    • Hukum
    • Politik
  • Artikel
    • Opini
    • Interview
  • Editorial
  • Galeri
    • Photo
    • Video
  • Uncategorized

HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 Januari 2017

Keluarga Korban Pelanggaran HAM Semanggi 1 Tolak Penyelesaian Nonyudisial

21.35  Anti Orba, Impunity, Kliping, Kliping #65, News  No comments



Senin, 30/01/2017 21:30 WIB | Oleh: Eli Kamilah


Sumarsih, ibu mahasiswa Universitas Atma Jaya Bernardus Realino Norma Wirawan atau Wawan yang tewas saat tragedi Semanggi 1, mencium foto anaknya usia melakukan tabur bunga pada peringatan 17 Tahun Tragedi Semanggi 1 di Jakarta, Jumat (13/11). (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Ibu korban Peristiwa Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih menilai kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 masih bisa dibawa ke mekanisme penyelesaian yudicial. Pemerintah, kata dia jangan berpangku tangan hanya karena kasus itu mandeg di Kejaksaan Agung. 
Kata Ibu  dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I, penyelesaian melalui nonyudisial sebagai  mengada-ngada. Sumarsih mengatakan, Indonesia adalah negara hukum, dan sesuai UU No. 26 Tahun 2000, pengadilan HAM wajib diterapkan.

"Indonesia bukan negara hukum dong. Untuk apa membuat UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, jika itu tidak diterapkan untuk menyelesaikan kasus? (Masih mampu tidak diselesaikan kasus pelanggaran HAM berat ke yudicial?) Masih mampu diselesaikan. Masih mampu, itu hanya alasan wairanto dan jaksa agung," ujarnya kepada KBR, Senin (30/1/2017).

"UU pengadilan HAM itu diperkuat dengan keputusan MK tahun 2007 dan 2008. Tahun 2007 disebutkan, terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas Ham sebagai penyelidik, dan Kejaksaan sebagai penyidik. Tahun 2008 disebutkan untuk menyelesaikan pelanggaran Ham berat secara yusidial tidak masalah dengan konstitusi. Jadi masih kurang apa lagi? Tanyanya heran.

Sumarsih menambahkan banyak bukti yang bisa dihadirkan di pengadilan terkait kasus pelanggaran HAM 1998-1999. Salah satunya kesaksian bekas Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Kivlan Zein

"Karena pernyataan belum lama ini pada saat kampanye capres dan Cawapres Kivlan tahu yang diculik dan dibunuh di mana. Dia mengatakan mendapatkan tugas dari Wiranto untuk membuat demo tandingan mahasiswa yang menolak sidang. Demo tandingan itu untuk mendukung sidang istimewa MPR dengan mengerahkan Pam Swakarsa yang dipersenjatai bambu runcing, itu pada 1998," ungkapnya.
Baca: Pemerintah Putuskan 7 Kasus Pelanggaran HAM Melalui Nonyudisial
Dia pun tetap penyelesaian melalui  nonyudisial termasuk menolak kehadiran Dewan kerukunan Nasional (DKI) yang digembar-gemborkan Wiranto.

"Kami sudah bersepakat dengan berbagai pihak untuk menolak DKN yang diusung Wiranto. Karena hanya untuk cuci tangan Wiranto yang bertanggungjawab terhadap tragedi 1998-1999," ujar perempuan 65 tahun tersebut.

Sumarsih bersama keluarga korban lainnya masih percaya dan yakin, presiden Joko Widodo ingat dengan nawacitanya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.  Sumarsih beranggapan kepercayaan, dan keputusasaan keluarga korban hanya dimanfaatkan bekas Gubernur DKI itu untuk melanggeng menjadi RI 1.

"Saya kecewa iya. Karena pada saat kampanye ada hitam diatas putih, dicatat di dalam visi misi nawacita. Kami berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran Ham masa lalu. Tapi ya, saat saya merasa kecewa pesimis, saya kira Jokowi hanya memanfaatkan keluarga korban hanya untuk jadi presiden," keluhnya.

Editor: Rony Sitanggang

http://kbr.id/berita/01-2017/keluarga_korban_pelanggaran_ham_semanggi_1_tolak_penyelesaian_nonyudisial/88432.html

Read More

Penyelesaian 7 Kasus Pelanggaran HAM, Wiranto: Nonyudisial

21.10  Impunity, Kliping #65, News  No comments

Senin, 30/01/2017 21:06 WIB | Oleh: Ninik Yuniati

Penyair Widji Tukul, salah satu korban hilang pada 1998. (Foto: IKOHI)

KBR, Jakarta- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui jalur nonyudisial. Kata dia, kasus-kasus HAM masa lalu, seperti kasus 1965, sulit dilanjutkan proses yudisialnya. 
Wiranto berdalih, kasus-kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu.

"Dan dari tujuh dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama peristiwa 1965, maka kita sedang merumuskan cara terbaik untuk menyelesaikan sisa yang lain. Dan kita juga harus menyiapkan satu proses di mana penyelesaian itu sangat dimungkinkan. Melalui satu penyelesaian yang nonyudisial," kata Wiranto  saat konferensi pers bersama dengan anggota Komnas HAM di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/1/2017). 
Wiranto melanjutkan, "dan ini tentu tidak mudah karena membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus. Membutuhkan satu semangat yang sama untuk membangun satu institusi yang mampu menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara-cara yang benar, baik yang adil dan bisa memenuhi keinginan semua pihak."

Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat membenarkan bahwa sikap politik pemerintah menghendaki pelanggaran HAM berat masa lalu melalui nonyudisial.

"Lha keputusan politik pemerintah begitu kan ke arah sana. Kan sudah gamblang. Untuk yang pelanggaran HAM berat masa lalu itu yang menjadi pilihan pemerintah saat ini, ya menempuh jalan nonyudisial," ujar dia.

Ia mencontohkan kasus Trisakti dan Semanggi tidak dilanjutkan lantaran mandeg di Kejaksaan Agung. Kendati demikian, menurut Imdadun, Komnas HAM tidak menutup peluang jalur yudisial.

"Ya didorong yudisial iya tapi kalau kemudian Kejaksaan Agungnya tidak kooperatif terus apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM? Karena penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik (kejaksaan), penyidiknya tidak mau jalan gimana?" Kata dia.

Terkait formula nonyudisial atau rekonsiliasi, Komnas HAM mengusulkan agar kasus HAM berat masa lalu juga bisa diselesaikan melalui Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Menurut dia, konsep Menkopolhukam tentang DKN masih terlalu umum dan belum jelas.

"Kita menghendaki kalau memang DKN ini dimaksudkan sebagai alternatif dari KKR yang sudah tidak ada UU dan kelembagaannya itu, maka harus eksplisit juga disebutkan di situ terkait dengan pelanggaran berat masa lalu," imbuhnya. 

"Supaya masyarakat dan juga Komnas HAM itu mendapatkan guarantee bahwa memang DKN ini adalah implementasi dari RPJMN-nya (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)  Pak Jokowi, jadi penyelesaian melalui lembaga di bawah Presiden," pungkasnya.  
Pada Senin (20 April 2015) berlangsung pertemuan tertutup antara Menkopolhukkam Tedjo Edhy Purdijatno, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala BIN Marciano Norman, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis dan perwakilan Panglima TNI. USai pertemuan itu, keesokan harinya Jaksa Agung menegaskan sebanyak  tujuh kasus pelanggaran HAM bakal diselesaikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. 
Ketujuh pelanggaran HAM berat tersebut adalah  peristiwa 65/66,   penembakan misterius   1982-1985.  Kemudian penghilangan paksa   aktivis 1997-1998, Kerusuhan 98, tragedi Trisakti  1998, Semanggi 1 dan 22 pada 98/99, peristiwa   Talangsari 1989.

Editor: Rony Sitanggang

http://kbr.id/berita/01-2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html

Read More

Anggota Dewan Pers Somasi Penyebar Fitnah Soal PKI

15.10  Kliping, News  No comments

Prima Gumilang , CNN Indonesia
Senin, 30/01/2017 15:08 WIB
 
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Dewan Pers Nezar Patria melayangkan teguran hukum (somasi) kepada Alfian Tanjung karena menuduh dia sebagai kader Partai Komunis Indonesia (PKI). Hari ini, Senin (30/1), Nezar memberikan somasi melalui kuasa hukumnya Jamalul Kamal Farza, agar Alfian berhenti menyebarkan fitnah dan mencabut seluruh pernyataannya.

“Kami menolak dan sangat berkeberatan dengan ucapan serta perkataan Saudara Alfian Tanjung yang saat ini beredar luas menjadi viral di media sosial,” ujar Kamal dalam keterangan tertulis.

Kamal menyebutkan, Alfian menuding Nezar bagian dari kader PKI, selain Teten Masduki, Urip Supriyanto, Budiman Sudjatmiko, dan Waluyo Jati. Alfian menuduh mereka menjadikan Istana Negara sebagai sarang PKI karena kerap rapat tiap malam sejak Mei 2016.
 
Pernyataan tersebut, menurut Kamal, disampaikan Alfian saat berceramah di Masjid Jami Said Tanah Abang, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2016. Kabar itu pun beredar luas di media sosial dan media massa belakangan ini.

"Mereka (PKI) sudah menguasai Istana, hampir sebulan ini tak ada lagi konsultan tentara," kata Alfian, sebagaimana disebutkan Kamal.

Kamal menyatakan, ucapan Alfian adalah fitnah yang sangat serius. Dia menilai, Alfian berusaha menghasut umat Islam. Rangkaian isi ceramah Alfian disebut berpotensi menghadapkan kliennya seakan sebagai ancaman bagi umat Islam.

"Nezar sebagai generasi yang lahir dan besar di zaman Orde Baru, jelas tidak pernah menjadi anggota apalagi kader PKI," ujar Kamal.

Selain itu, pernyataan Alfian terkait aktivitas 'memimpin rapat malam di Istana' menurut Kamal adalah tuduhan yang tak berdasarkan fakta dan termasuk kabar bohong.

Dia menjelaskan, selama 18 tahun, kliennya berprofesi sebagai wartawan profesional. Nezar tak pernah masuk ke arena politik praktis dan tak punya hubungan kerja maupun organisasi dengan Istana.

"Tuduhan 'rapat malam di Istana' telah merusak kredibilitasnya sebagai wartawan profesional yang seakan dia telah ikut dalam politik praktis dan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif," ujar Kamal.

Somasi yang dilayangkan Nezar, menurut Kamal, sebagai itikad baik karena masih mempertimbangkan kemungkinan Alfian sedang khilaf dan salah sasaran. Kamal berharap Alfian segera meminta maaf, mencabut pernyataan, dan menghentikan fitnah.

“Tetapi jika Alfian tidak menggubris somasi ini, maka kami akan melakukan tuntutan hukum,” ujar Kamal Farza.

Kamal beserta timnya memberikan waktu selama 3x24 jam terhitung sejak somasi diterima Alfian. Alfian diminta mencabut ucapan dengan menyebarkannya melalui media cetak maupun elektronik, serta membuat pernyataan maaf di media massa nasional.

“Jika dia tidak berubah, kami akan proses hukum,” ujar Kamal. 
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170130143940-12-190024/anggota-dewan-pers-somasi-penyebar-fitnah-soal-pki/

Read More

Wiranto dan Komnas HAM Kembali Bahas Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu

15.05  Kliping, News  No comments

Senin, 30 Januari 2017 | 15:00 WIB


Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah saat menjadi pembicara dalam diskusi Hukuman Mati di Negara Demokrasi, di kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (17/5/2016). Kristian Erdianto


KOMPAS.com
 - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto melakukan pertemuan dengan sejumlah komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).
Pertemuan yang dijadwalkan mulai pukul 14.30 WIB itu akan membahas upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
"Kami akan rapat untuk membicarakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu," ujar salah satu komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah, saat ditemui sebelum pertemuan.
Tercatat sudah dua kali Komnas HAM bertemu dengan Wiranto terkait agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM diterbitkan.
Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah menyerahkan hasil simposium nasional "Membedah Tragedi 1965 dari Sudut Pandang Kesejarahan" yang dilaksanakan pada April 2016 lalu ke Kemenko Polhukam.
Namun, hingga kini Wiranto belum berkomentar terkait substansi akhir rekomendasi tersebut.
Dia hanya membenarkan bahwa rekomendasi itu kini sudah ada di tangan Presiden.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada beberapa kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang masih menjadi PR pemerintah, yaitu Peristiwa 1965, Peristiwa 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-1998.
Penulis: Kristian Erdianto
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

http://nasional.kompas.com/read/2017/01/30/15005261/wiranto.dan.komnas.ham.kembali.bahas.kasus.pelanggaran.ham.masa.lalu

Read More

Komnas HAM Diundang Menko Polhukam Bahas Pelanggaran HAM Berat

13.20  Kejakgung, Kliping #65, Komnas HAM, News  No comments

Rakhmatulloh |Senin, 30 Januari 2017 - 13:19 WIB

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis. (Okezone)

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto akan memimpin rapat konsultasi‎ dengan lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) siang ini.

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, pihaknya telah mendapat undangan untuk mengikuti rapat konsultasi tersebut. Menurutnya, rapat konsultasi akan membahas masalah kasus pelanggaran HAM berat.

‎"Kita dapat undangan dari menko (Wiranto) hari ini jam 02.30 WIB, agendanya pembahasan kasus pelanggaran HAM yang berat,‎" jelas Nur Kholis saat dikonfirmasi, Senin (30/1/2017).

Nur Kholis melanjutkan, selain membahas masalah pelanggaran HAM berat, pihaknya mengaku belum tahu apa saja yang akan dibahas bersama Wiranto. Termasuk dia belum mengetahui secara pasti apakah nantinya juga akan dibahas masalah Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang dibentuk pemerintah.‎ 

"Kita belum tau (akan membahas DKN). Saya akan ikut hadir," ucapnya.

Seperti diberitakan pemerintah menginisiasi pembentukan DKN. Lembaga baru itu telah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kabinet paripurna di Istana Bogor beberapa waktu lalu. Nantinya badan ini akan menjadi penengah bagi konflik yang terjadi antarmasyarakat, di mana konflik itu nantinya akan diselesaikan dengan jalan musyawarah.

Wiranto pernah berpendapat, DKN ini nantinya akan menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang sudah ditolak pembentukannya oleh Mahkamah Kontitusi (MK).

Sumber: SindoNews

Read More

Minggu, 29 Januari 2017

Taufik Ismail: Tahun Ketiga Jokowi Mirip Kebangkitan PKI

15.20  hoax ala orba, Kliping #65  No comments

Minggu, 29 Januari 2017 15:19 WIB

Sastrawan Taufik Ismail memberikan kata sambutan saat Deklarasi Alumni UI Bangkit Untuk Keadilan di Taman Lingkar Perpustakaan UI, 27 Januari 2017. TEMPO
TEMPO.CO, Jakarta - Sastrawan Taufik Ismail menilai kondisi Indonesia pada tahun ketiga Presiden Joko Widodo memerintah, seperti situasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. "Situasi minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir ini, mirip situasi pada tahun 62, 63, 64, dan 65," kata Taufik, dalam sambutannya dalam deklarasi Alumni Universitas Indonesia Bangkit untuk Keadilan di Perpustakaan UI, Jumat, 27 Januari 2017.
Menurut penyair itu, PKI sedang menyusun kekuatannya dengan sehebat-hebatnya untuk merebut kekuasaan. Namun, setelah gagal pada 1926 dan 1948, mereka berhasil menghasut Presiden Sukarno, untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis, yang dipilih dengan jujur dan tanpa bunuh-bunuhan. Bahkan, tidak ada penipuan penghitungan suara, dan diikuti oleh pers dunia.
Pers Amerika dan Eropa, menyebut ada negara baru sembilan tahun merdeka mengadakan pemilihan yang bersih, dan tidak ada tandingannya di dunia dalam berdemokrasi, yaitu Indonesia. "Tidak ada penghitungan suara yang dicurangi. Ketuanya tokoh besar Masyumi Burhanudin Harahap, dia netral dan tidak mengaju-ngajukan Masyumi supaya menang."
Namun, pada waktu bersamaan ada suatu negara yang jaraknya tidak jauh dari Indonesia menggelar pemilihan umum pertama tapi heboh. Sesama partai berkelahi. Bahkan, ada belasan orang yang terbunuh. Negara itu adalah Filipina. "(Demokrasi) kita dipandang dunia waktu itu," ujarnya.
Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan tenang. Sedangkan di Filipina juga 10 tahun merdeka, gontok-gontokan dan surat suara dicurangi. Mereka diejek dunia luar. "Itu yang terjadi pada tahun itu."
Ia memaparkan situasi politik berubah ketika Sukarno membubarkan DPR yang demokratis. Sukarno menunjuk 200 orang menjadi anggota DPR yang baru dan melantiknya.
Anggota DPR yang baru mengangkat Sukarno menjadi presiden seumur hidup. Namun, Mohammad Hatta tidak setuju, lalu meletakkan jabatan sebagai wakil presiden.
Saat itu ada satu konsep idieologi negara yakni Nasionalis, Agama dan Komunis yang disatukan. Bagi, komunis konsep itu merupakan kesempatan. "Dia (Sukarno) tidak tahu orang komunis ini kerjanya berdusta dan menjegal. Konsep Nasakom dijegal. Dan mereka merebut kekuasaan ketiga kalinya, tapi gagal juga."
Sumber: Tempo.Co 

Read More

Sabtu, 28 Januari 2017

[Book Review]: G30S Dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin

17.09  Buku, G30S, Genosida 65, Internasional, Kliping #65, PKI, Sejarah  No comments

 JANUARY 28, 2017

Editor: Kurosawa Aiko dan Matsumura Toshio
Pengantar oleh: Asviwarman Adam
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 308 halaman

Membahas putaran sejarah memang tidak akan pernah ada habisnya. Ketika jalan buntu ditemui, maka satu demi satu jalan lain terbuka untuk melusuri kembali setapaknya. Satu versi ditebas habis, disusul versi untuk diperdebatkan. Bicara mengenai sejarah, ada satu kisah masa lalu yang hingga kini tak pernah habis dikupas. Ada beberapa rahasia yang bila diungkapkan maka akan ditemukan benang merah terkait perjalanan bangsa ini. Kisah yang tak tuntas ini secara de facto selesai ketika Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukan Angkatan Darat merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dan para pemimpinnya seperti Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Syam Khairuzamman diadili oleh negara melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Namun, efek yang ditimbulkan setelahnya justru bergulir bak bola liar, tak terhentikan dan mirisnya menciptakan konspirasi panjang yang tak berkesudahan. Sejarah penuh intrik, konspirasi, tragedi yang berhasil membuat Indonesia kalang kabut selama puluhan tahun setelahnya, sekaligus alat utama penguasa negara menciptakan narasi penuh tipu daya itu bernama Gerakan 30 September atau biasa kita menyebutnya G30S.

Telah banyak orang mencoba membuka tabir dibalik G30S. Dari sejarawan, peneliti, akademisi, hingga aktivis, giat melakukan diskusi.
Beberapa dari mereka bahkan menuliskan penelitian serta diskusinya ke dalam sebuah buku. John Roosa, seorang seorang sejarawan yang juga professor di University of British Columbia (Kanada) muncul dengan bukunya yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. John Roosa menguak banyak sisi yang tidak banyak diketahui khalayak dan menjungkir-balikkan narasi yang selama ini dikeluarkan secara resmi oleh negara melalui rezim Orde Baru di bawah Suharto. Selain itu melalui bukunya, John Roosa menjelaskan secara runtut bagaimana G30S direncanakan, siapa saja yang bergerak di belakang layar, bagaimana keterlibatan negara-negara asing seperti Amerika Serikat melalui CIA dan Inggris melalui M-16 dan yang terpenting bagaimana keterlibatan Suharto beserta kroni-kroninya dalam G30S ini.

Dari sisi yang lain, Wijaya Herlambang juga berusaha menguak tabir seputar G30S. Jika John Roosa membuka G30S dari segi teknis dan runtutan peristiwa secara langsung, Wijaya Herlambang menuliskan sebuah pandangan baru mengenai G30S melalui sudut pandang pertarungan kebudayaan yang terjadi pra dan pasca peristiwa bersejarah tersebut muncul di permukaan. Gagasan, diskusi dan penelitian Wijaya Herlambang tersebut dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965  di tahun 2013. Pertarungan kebudayaan yang mau tidak mau harus menghadirkan perseteruan antara pihak Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) semakin dilengkapi oleh buku terbitan Harian Tempo dengan judul Lekra dan Geger 1965.

Pergulatan menarik yang mengupas sisi-sisi tersembunyi telah dibahas oleh sumber-sumber di atas. Namun, baik John Roosa dan Wijaya Herlambang sendiri tampaknya memang hanya fokus untuk menggali G30S dari sudut pandang internal negara Indonesia, khususnya dampak pasca peristiwa G30S terhadap internal kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sekali lagi dikatakan bahwa G30S ini bukanlah peristiwa tunggal dan berdiri sendiri. Banyak berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri turut yang mendorong terjadinya Gerakan 30 September pada 1 Oktober dini hari tersebut. Hal tersebut menandakan dampak G30S tidak hanya berpengaruh pada internal negara Indonesia saja tetapi juga pihak eksternal negara asing lainnya. Pertanyaannya, pihak eksternal mana sajakah yang turut terpengaruh atas terjadinya G30 dan mengapa? Apakah selain Amerika Serikat dan Inggris yang telah sedikit dibahas oleh John Roosa, ada negara lain yang turut bermain api dalam prahara G30S serta mengambil keuntungan? Lalu adakah pihak-pihak yang dirugikan walapun tidak ikut campur secara langsung ke dalam G30S?

Aiko Kurasawa bersama tim penelitiannya hadir dalam sebuah karya buku berjudul G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sekali lagi, selama ini buku-buku, literasi, atau ulasan mengenai kejadian G30S yang bertebaran di dunia kebanyakan hanya membahas keterlibatan propaganda CIA dan M-16 sebagai aktor eksternal yang turut menyokong Suharto membangun Orde Baru lewat kudeta merangkak dengan G30S itu sendiri sebagai dalihnya. Padahal, secara letak geografis Indonesia terletak pada kawasan Asia, tepatnya Asia Tenggara yang tentunya hidup berdampingan dengan negara-negara serumpunnya. Secara logika apabila kejadian G30S memang benar-benar menjadi peristiwa besar nan mengguncangkan yang memaksa negara nun jauh di sana seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk turut campur, bukan tidak mungkin negara-negara tetangga dalam lingkup Asia Tenggara seperti Malaysia, Fillipina, Vietnam, serta Singapura ikut masuk dalam pusaran prahara.

Belum lagi peran negara-negara Asia yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Tiongkok dan Jepang, pastilah mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam G30S. Dengan latar belakang kegusaran dan penasaran itulah akhirnya Aiko Kurasawa dan kawan-kawan mencoba mengkaji secara mendalam pengaruh atau dampak yang diberikan G30S terhadap Asia. Kajian-kajian mendalam tersebut yang nantinya menjadikan buku ini sebagai yang pelopor dalam pembahasan G30S dilingkup Asia.

Penelitian yang berkelanjutan ini akhirnya memunculkan pertanyaan dan perspektif yang menakjubkan. Benarkah Tiongkok ikut terlibat dalam G30S? Apakah pengaruh G30S dalam pergerakan kemerdekaan Sarawak? Bagaimanakah Korea Utara dan Korea Selatan menanggapi G30S? Negara mana yang paling diuntungkan setelah G30S? Mengapa Filipina tidak begitu memberikan perhatian terhadap G30S? Mengapa Jepang sangat diuntungkan pasca G30S? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditemukan di dalam buku ini. Buku ini bermaksud menguraikan G30S dari perspektif dinamika pergeseran politik di Asia. G30S ternyata berpengaruh terhadap perubahan peta politik negara-negara di Asia dalam menentukan sikap terhadap pengaruh ideologi komunis dan kapitalis. Negara yang paling banyak dibahas di dalam buku ini adalah Tiongkok, baik peranannya sebelum G30S maupun pasca G30S itu terjadi.

Sebagai negara yang memiliki organisasi komunis ketiga setelah Uni Soviet dan Tiongkok, Indonesia tentunya memiliki hubungan yang cukup erat dengan negara-negara berhaluan kiri tersebut. Apalagi setelah Presiden Sukarno dengan lantang menyatakan keinginannya membuat kekuatan dunia baru dengan Jakarta-Peking-Hanoi-Phnom Penh sebagai porosnya di pertengahan medio 1960-an, hal itu membuat hubungan Indonesia dan Tiongkok semakin erat. Partai Komunis Tiongkok (PRT) seperti yang diulas pada buku ini juga beberapa kali berkoordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membicarakan program-program partai. Isu miring pun tak luput menerpa hubungan keduanya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio bahkan secara terang-terangan menuduh Tiongkok dan PRT sebagai dalang G30S terkait dukungan mereka untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani Indonesia (keinginan serupa untuk mendirikan angkatan kelima pernah diutarakan oleh Dipa Nusantara Aidit kepada Sukarno, namun ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution).
Tuduhan tersebut dibantah dengan tegas oleh Menteri Luar Negeri Tiongkok lewat arsip Kementrian Luar Negeri Tiongkok yang pernah dibuka untuk publik di tahun 2011. Bahwasanya dukungan untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani bukanlah sebagai rencana G30S, namun untuk persiapan menghadapi kekuatan neo-kolonialisme Amerika Serikat yang mulai menginvasi Asia Tenggara lewat perang Vietnam.

Tiongkok sendiri pernah menandatangani perjanjian dengan Indonesia mengenai pemberian bantuan persenjataan ringan pada bulan Agustus 1965, namun hingga peristiwa G30S pecah bantuan senjata itu tidak pernah diberikan secara langsung kepada pemerintah.

Hal menarik lainnya yang diulas di dalam buku ini adalah betapa besar pengaruh G30S terhadap pergerakan kemerdekaan Negara Sarawak atau Republik Kalimantan Utara yang kini menjadi bagian dari Malaysia. Kita semua mengetahui Sukarno pernah melakukan konfrontasi secara terbuka dengan Malaysia di tahun 1965. Hal tersebut dilakukan karena Sukarno menyatakan bahwa Malaysia merupakan negara boneka yang dibentuk oleh Inggris dan kekuatan nekolim yang berpotensi mengganggu stabilitas negara-negara di Asia Tenggara khususnya Indonesia yang sedang gencar membangun kekuatan bersama negara dunia ketiga di bawah naungan New Emerging Force atau Nefo. Negara Sabah dan Serawak yang ingin melepaskan diri dari Malaysia jelas mendapat dukungan dari Sukarno dan Indonesia.

Konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang dilakukan Sukarno jelas membantu pergerakan kemerdekaan secara moril. Bahkan di penghujung bulan Agustus pergerakan untuk kemerdekaan Sarawak semakin besar dan berpotensi untuk mencapai keberhasilan. Namun, pecahnya G30S di akhir September membuat peruntungan berubah ditambah Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yeeuw yang awalnya mendukung gerakan kiri beralih untuk memberikan perlawanan dan menekan komunis yang ada di negaranya membuat dukungan terhadap kemerdekaan Republik Kalimantan Utara tereduksi. Turunnya Sukarno lalu naiknya Suharto yang ditindaklanjuti dengan pemberantasan kekuatan komunis dan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia membuat kemerdekaan Sarawak tinggalah angan-angan belaka.

Negara Jepang juga sedikit banyak mengambil keuntungan dari kejadian baik pra maupun pasca G30S. Sebelum G30S terjadi, Indonesia memiliki banyak agenda untuk mengusir nekolim dari bumi pertiwi, salah satunya adalah program nasionalisasi perusahaan asing dan land-reform yang amat didukung atau setidaknya selaras dengan program yang dimiliki oleh PKI. Saat itu kebanyakan perusahaan asing yang memiliki aset di Indonesia adalah milik orang-orang Belanda. Melihat hal tersebut Jepang turut mendukung program nasionalisasi itu sebab mereka hampir tidak memiliki sama sekali kepemilikan perusahaan di Indonesia. Dengan terusirnya Belanda, Jepang berharap suatu saat nanti pemerintah Indonesia akan memberi banyak proyek yang condong ke Jepang dan memberikan izin untuk berinvestasi di Indonesia. Pasca G30S Jepang banyak mengeruk keuntungan. Dengan adanya undang-undang tentang penanaman modal asing yang diteken oleh Presiden Suharto ditambah menguatnya kerja-sama Indonesia dan Amerika Serikat bersama para sekutunya (termasuk Jepang serta Korea Selatan), membuat produk Jepang serta Korea Selatan membanjiri pasar Indonesia, mulai dari produk otomotif hingga alat telekomunikasi. Ekspor yang deras ke Indonesia tersebut secara langsung membuat perekonomian Jepang dan Korea Selatan meningkat pesat hingga mereka dijuluki “Macan Asia” sampai hari ini.

Bila kita telisik lebih dalam dampak dari G30S sangatlah besar dan luas. G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin banyak membuka tabir yang selama ini masih tertutup rapat sehingga kita bisa menarik benang merah dari kejadian di masa lampau untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Sembilan tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, mengenai respons dan keterlibatan masing-masing pemerintah dan masyarakat. Kedua, fokus terhadap pemberitaan media di beberapa negara di Asia. Ada delapan negara yang dibahas di buku ini, yaitu Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Buku yang sangat menarik untuk dibaca dan bisa menjadi referensi kita untuk mendiskusikan posisi geopolitik yang terjadi di kawasan Asia. 
[Kontributor: Mario Muhammad Hafidh]


Sumber: WarningMagz 

Read More

Jumat, 27 Januari 2017

Dituduh PKI, Teten Masduki Segera Laporkan Alfian Tanjung

19.25  Kliping, News  No comments

Martahan Sohuturon , CNN Indonesia
Jumat, 27/01/2017 19:23 WIB
 
 
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki berencana melaporkan Ustaz Alfian Tanjung ke Badan Reserse Kriminal Polri.

Penasihat hukum Teten, Ifdhal Kasim, mengatakan laporan itu dibuat karena Alfian diduga menyebarkan fitnah, melakukan pencemaran nama baik, dan melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dugaannya, Teten disebut sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyebut KSP sebagai sarang PKI.

"Kami melaporkan tindak pidana fitnah, pencemaran nama baik dan menyebarkan konten negatif di media sosial yang diduga dilakukan oleh
seorang bernama Alfian Tanjung," ujar Ifdal di Bareskrim Polri, Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat, Jumat (27/1).

Menurutnya, tuduhan Alfian tersebut telah mendelegitimasi sosok Teten dan KSP. Tudingan soal PKI, kata dia, sudah merusak peran KSP, yang ikut mengelola strategi program pemerintahan.

Dalam aduan tersebut, Ifdhal dan tim penasihat hukum, membawa sejumlah barang bukti, seperti video berisi pernyataan Alfian di hadapan jemaah masjid dan print out sejumlah berita di media daring.

"Kami lihat ini sesuatu yang bukan hanya berdampak signifikan bagi Teten secara personal, tetapi juga memiliki dampak sekaligus terhadap tatanan demokratis yang sedang dibangun sejak reformasi ini," katanya.

Namun begitu, Ifdhal mengaku, belum membuat laporan polisi secara resmi karena waktu yang tidak memungkinkan. Ia pun mengatakan, laporan secara resmi akan segera dibuat dalam waktu dekat.

Rapat PKI
Sebelumnya, Alfian dalam salah satu ceramahnya menyebut ada rapat PKI di Istana Negara setiap pukul 20.00 WIB. Dia pun mengaku tidak asal bicara.

"Saya ini umurnya sudah lebih dari 50-an (tahun), saya aktifis dari tahun 1982. Maksudnya bukan soal gagah-gagahan umur, artinya nggak masuk akal kalau gue ngomong cuma buat cari koreng, kalau bahasa Betawinya," kata Alfian seperti dikutip dari Detikcom.

Terkait informasi soal rapat PKI di Istana Negara itu, Alfian mengaku memiliki sejumlah sumber. Ia juga mengaku memiliki data terkait hal tersebut.

"Ya orang-orang pulang mereka pada datang. Rapatnya sih bukan jam 20.00 WIB, (rapatnya) jam 21.00 WIB, jam 22.00 WIB, jam 23.00 WIB. Itu mereka ngobrol-ngobrol, itu udah engga kebantah. kalau memang dari awal, dari awal lah saya ditegur," tutur Alfian.

Menanggapi itu, Teten langsung melayangkan somasi terhadap Alfian. Dia mengimbau agar Alfian segera meminta maaf.
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170127191308-12-189566/dituduh-pki-teten-masduki-segera-laporkan-alfian-tanjung/

Read More

Selasa, 24 Januari 2017

LPSK Berikan Bantuan Kepada Korban Pelanggaran HAM Sesuai Aturan

21.01  Kliping, News  No comments


 
24 Jan 2017

 Doc. LPSK

Doc : Photo LPSK


JAKARTA, LPSK - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan bantuan kepada subjek terlindung LPSK baik terhadap saksi maupun korban pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana lainnya, dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban maupun UU terkait lainnya.
Berdasarkan aturan pula LPSK  selama ini baru bisa memberikan bantuan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat, bukan kompensasi. Hal ini sebagai jawaban atas isu yang berkembang bahwa LPSK sudah memberikan kompensasi kepada saksi dan korban pelanggaran HAM Berat 1965. "Belum bisa kita memberikan kompensasi karena syaratnya harus ada putusan pengadilan HAM. Pengadilan HAM saja sampai saat ini belum terbentuk", ujar Ketua LPSK dalam rapat di Kemenkopolhukam (23/1) yang membahas adanya isu pemberian kompensasi kepada saksi korban pelanggaran HAM Berat.

Bantuan kepada saksi dan korban Pelanggaran HAM Berat sendiri diberikan berdasarkan adanya keterangan dan rekomendasi dari Komnas HAM. Keterangan dan Rekomendasi ini sesuai dengan pasal 35 ayat 1 dan 2 PP 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa permohonan bantuan untuk korban Pelanggaran HAM Berat harus dilampiri Suray Keterangan dari Komnas HAM yang menunjukkan pemohob adalah korban peristiwa Pelanggaran HAM Berat. "Jadi yang LPSK lakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini", jelas Semendawai.


LPSK sendiri mendukung jika upaya  pemenuhan hak Saksi dan Korban Pelanggaran HAM diberikan juga ke institusi lain seperti Kemensos atau Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang rencananya akan dibentuk pemerintah. Namun LPSK meminta dibuat dulu aturan yang jelas terkait hal tersebut. "Ini penting, karena terkait pertanggungjawaban LPSK kepada Presiden, DPR, dan rakyat jika LPSK sudah tidak boleh lagi memberikan bantuan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM Berat", ujar Wakil Ketua LPSK Askary Razak yang turut hadir di pertemuan tersebut.


LPSK juga mengkonfirmasi bahwa mereka tidak hanya memberikan bantuan kepada saksi dan korban Pelanggaran HAM 65, namun juga kepada saksi dan korban peristiwa lain yang oleh Komnas HAM dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat seperti Talangsari, Tanjungpriok, dan Jambu Keupok Aceh. Juga akan dilakukannya assesment kepada saksi dan korban Pelanggaran HAM Berat Simpang KKA di Aceh. Dalam peristiwa 65 sendiri LPSK juga tidak hanya memberikan bantuan kepada saksi dan korban dari pihak yang diduga simpatisan kiri. Namun juga memberikan bantuan kepada saksi dan korban dari pihak tentara, seperti yang LPSK berikan di Solo. "Kami tidak melihat latar belakang, sepanjang memenuhi syarat sesuai aturan di UU, pasti kami berikan. Sebaliknya jika tidak, maka tidak bisa kami berikan", ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.

Upaya yang dilakukan LPSK ini diharapkan menjadi jalan tengah dimana langkah-langkah Yudisial seperti pengadilan HAM belum terwujud, sementara kebutuhan saksi dan korban akan pemenuhan hak mendesak. Adanya bantuan dari LPSK, tidak hanya bagi saksi dan korban pelanggaran HAM Berat, diharapkan menjadi simbol kehadiran negara. " Dengan demikian saksi dan korban kejahatan tidak lagi merasa terabaikan, ada negara bersama mereka ", ujar Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.


Rapat tersebut dipimpin Asdep Pemajuan dan Perlindungan HAM Kemenkopolhukam, Brigjen Abdul Hafil. Hadir dalam rapat tersebut perwakilan dari Kejaksaan, Kemenkumham, Babinkum TNI, Setneg, dan BKN. Sementara dari LPSK hadir Ketua LPSK, dan para Wakil Ketua LPSK yakni Askary Razak, Edwin Partogi Pasaribu, dan Hasto Atmojo Suroyo. Rapat berikutnya diagendakan akan turut mengundang Komnas HAM, dengan tujuan agar institusi-institusi negara memiliki pandangan yang harmonis terkait pemenuhan hak saksi dan Korban Pelanggaran HAM.

Humas LPSK

http://www.lpsk.go.id/berita/berita_detail/2547

Read More
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail
  • Popular
  • Tags
  • Blog Archives

Mengenai Saya

YPKP 65 Kebumen
Lihat profil lengkapku

Entri Populer

  • Program Re-Ra (Rekonstruksi & Rasionalisasi) TNI Kabinet Hatta
    25 Desember 2015   Sebelum diadakannya program “reorganisasi dan rasionalisasi” (Re-ra) oleh Perdana Menteri Hatta,...
  • Tragedi 1965 dan Peristiwa Madiun 1948
    Oleh: Yunantyo Adi Pengantar Redaksi: Wacana rekonsiliasi dalam Simposium Nasional "Bedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan...
  • Pembrontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun, 18 September 1948
    18 September 2015   illustrasi: Gambar ini adalah kekerasan yang terjadi di Vietnam, yang penah dimanipulasi untuk melegitimasi k...
  • Siapakah Letkol Untung ?
    Friday, December 12, 2014 S oeharto- U ntung: Hubungan spesial [jitunews]   Siapakah Letkol U ntung dan apa hubunganya dengan peristi...
  • Siapakah Letkol Untung Itu ? Sejauh Mana Keterlibatannya dalam Gerakan G-30-S
    Kamis, 22 April 2010 Letkol Untung [Foto : Kaskus ]  Tahun 1960-an dunia diwarnai dengan ketegan...
  • Tjilik Riwut Tokoh Intelijen Pembubaran RIS di Kalimantan
    June 19, 2017 Tjilik Riwut nomor tiga dari kanan tanpa topi / ist SHNet, PALANGKA RAYA  – Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah, 1...
  • Sejarah Kelam G30S 1965 di Bali
    Senin, 10 September 2018 | 10:30 WITA 1. Siswa SMP Sudah Ikut Berpolitik di GSNI atau IPPI Gerakan 30 September 1965 atau dike...
  • Max Lane: Pram Sejarawan Terbaik Indonesia
      Tuesday, 25 December 2012 PENERJEMAH enam karya Pramoedya Ananta Toer asal Australia, Max Lane, menjadi dosen tamu selama lima perte...
  • "MESUJI BERDARAH " PEMBANTAYAN SADIS YANG MENEWAS KAN "SATU KAMPUNG" INI LAH KRONOLoGIS NYA..!!!
    16 Nov 2011 illustrasi: Korban pembantaian politik di Filipina Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memaparkan penyebabnya insiden pemba...
  • Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
    Kamis, 12 Maret 2020 RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial. ...
Diberdayakan oleh Blogger.

Categories

  • Kliping #65
  • Tragedi
  • Anti Orba
  • Sejarah
  • News
  • Article
  • Kliping
  • Impunity
  • Kisah
  • Militerism
  • IPT65
  • PKI
  • Genosida 65
  • Documentary
  • Sejarah #Gerwani
  • hoax ala orba
  • Persekusi
  • Mass-Graves
  • Press-Release
  • Statement
  • Kejahatan HAM
  • Komnas HAM
  • Stigma PKI
  • Internasional
  • Materi
  • Surat
  • Buku
  • G30S
  • Lekra
  • Film
  • Sastra
  • Interview
  • arsip rahasia
  • Pembantaian Massal
  • Kejakgung
  • YPKP 65
  • Kamisan
  • KontraS
  • Konspirasi
  • Pramoedya Ananta Toer
  • Pulau Buru
  • Jokowi
  • BTI
  • Bedjo Untung
  • Genosida Politik
  • Pemuda Rakyat
  • Genosida
  • Rekonsiliasi
  • CIA
  • PKI 1948
  • KKR
  • IPT'65
  • Amnesty International
  • Aceh
  • DN Aidit
  • Konflik Agraria
  • Plantungan
  • investigasi
  • Dialita
  • LBH
  • Tjakrabirawa
  • Menko Polhukam
  • Simposium
  • Orba Soeharto
  • PBB
  • Tokoh
  • Testimoni
  • Baperki
  • DKN
  • Purwodadi
  • Cilacap
  • Eksil
  • Kanigoro
  • Tan Malaka
  • Bali
  • Foto
  • Muhidin M Dahlan
  • Seni Rupa
  • Gusdurian
  • Moncongloe
  • Tumiso
  • Jeju
  • Musik
  • Pendidikan
  • SOBSI
  • HRWG
  • Hersri Setiawan
  • Koesalah S Toer
  • NTT
  • Oey Hay Djoen
  • Trikoyo Ramidjo
  • Genjer-genjer
  • Harsutejo
  • Holocaust
  • Kalimantan
  • Karl Marx
  • Memorialisasi
  • Soemarsono
  • Tapol Yogya
  • HAM
  • Hendra Gunawan
  • Heru Atmojo
  • Luweng
  • Mia Bustam
  • Putmu'inah
  • SKP-HAM
  • Sudarno
  • Arsip
  • Gandrung
  • Keppres 28/1975
  • Keppres 28/2975
  • LPSK
  • Lubang Buaya
  • Obituari
  • Sexual Violence
  • Sulami
  • Supersemar
  • Tapol
  • Tapol Bali
  • Wonogiri
  • Ahmad Tohari
  • Asset
  • Brebes
  • Haji Misbach
  • Insureksi
  • JC Princen
  • Jess Melvin
  • Munir
  • Museum
  • Operasi Trisula
  • Papua
  • Purbalingga
  • Purwokerto
  • Red Drive Proposal
  • Tapol Jakarta
  • Tapol Jawa Timur
  • Banten
  • Banyuwangi
  • Basoeki Abdullah
  • Blitar
  • CHTH
  • Demonisasi
  • English
  • JPIT
  • Kebumen
  • Klaten
  • Lengger
  • Magetan
  • Nasionalisasi
  • Nazi
  • Novel
  • Nyoto
  • Poncke Princen
  • Putu Oka Sukanta
  • Referensi
  • Sarbupri
  • Sei Ular
  • Svetlana
  • Tapol Ambarawa
  • Tapol Jawa Tengah
  • Tapol Kalimantan Timur
  • Teater
  • ipt 65
  • komune paris
  • Aris Panji
  • Biennale
  • Blitar Selatan
  • Cerpen
  • Communist Manifesto
  • Data Virtual
  • Digul
  • Gubernur Sutedja
  • Hilmar Farid
  • KSP
  • Kuli Kontrak
  • Kulo Kontrak
  • MK
  • Made Supriatma
  • Mark Curtis
  • Mars Nursmono
  • Mattew Woolgar
  • Nasakom
  • Nusakambangan
  • Nyai Ontosoroh
  • Oei Hiem Hwie
  • PGRI Non Vaksentral
  • PKI 1026
  • Perampasan Asset
  • Petrus
  • Riset
  • Semaun
  • Sragen
  • Sudisman
  • Sudjojono
  • TMP Kalibata
  • Tangerang
  • Tapol Gunung Kidul
  • Tapol Jawa Barat
  • Tapol Lampung
  • Tapol Palu
  • Tapol Purworejo
  • Tom Udall
  • Tritura
  • Umi Sardjono
  • Vanessa Hearman
  • emko Polhukam
  • enosida 65

Arsip Blog

  • ►  2020 (31)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (22)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2019 (404)
    • ►  Desember (46)
    • ►  November (44)
    • ►  Oktober (64)
    • ►  September (34)
    • ►  Agustus (35)
    • ►  Juli (16)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (33)
    • ►  April (32)
    • ►  Maret (35)
    • ►  Februari (20)
    • ►  Januari (33)
  • ►  2018 (628)
    • ►  Desember (27)
    • ►  November (26)
    • ►  Oktober (82)
    • ►  September (65)
    • ►  Agustus (32)
    • ►  Juli (39)
    • ►  Juni (78)
    • ►  Mei (53)
    • ►  April (60)
    • ►  Maret (50)
    • ►  Februari (76)
    • ►  Januari (40)
  • ▼  2017 (745)
    • ►  Desember (42)
    • ►  November (50)
    • ►  Oktober (153)
    • ►  September (179)
    • ►  Agustus (32)
    • ►  Juli (42)
    • ►  Juni (30)
    • ►  Mei (53)
    • ►  April (30)
    • ►  Maret (46)
    • ►  Februari (40)
    • ▼  Januari (48)
      • Keluarga Korban Pelanggaran HAM Semanggi 1 Tolak P...
      • Penyelesaian 7 Kasus Pelanggaran HAM, Wiranto: Non...
      • Anggota Dewan Pers Somasi Penyebar Fitnah Soal PKI
      • Wiranto dan Komnas HAM Kembali Bahas Kasus Pelangg...
      • Komnas HAM Diundang Menko Polhukam Bahas Pelanggar...
      • Taufik Ismail: Tahun Ketiga Jokowi Mirip Kebangkit...
      • [Book Review]: G30S Dan Asia – Dalam Bayang-Bayang...
      • Dituduh PKI, Teten Masduki Segera Laporkan Alfian ...
      • LPSK Berikan Bantuan Kepada Korban Pelanggaran HAM...
      • Populisme Islam (3): Militer Gunakan Islam Hantam ...
      • Populisme Islam (2): Tak Ada Kelas Borjuasi Islam ...
      • Populisme Islam (1): Turki Lebih Sukses Dibanding ...
      • Dicecar 23 pertanyaan, Rizieq bersikukuh ada logo ...
      • Komnas HAM Minta Penguatan Kewenangan
      • Pater Beek dan Pembantaian Massal 1965-1966
      • Penuntasan Kasus HAM, Dalih Sulit Bukti Jakgung Do...
      • Antara 1959 – 65: Di Bawah Naungan Rezim Nasakom
      • CIA Mendadak Ungkap Nasib DN Aidit ditangan Milite...
      • Penuntasan Kasus HAM, Kemenkumham: Non-Yudisial Le...
      • Orang Diingatkan Kebangkitan PKI, Tapi Pura-Pura L...
      • Penuntasan Kasus HAM, Presiden: Penuhi Keadilan
      • Penuntasan Kasus HAM, Komnas HAM Dorong Melalui Yu...
      • Isu Palu Arit Tidak Pengaruhi Minat Warga Solo Tuk...
      • Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat
      • Parade Paramiliter dalam Sejarah Indonesia
      • Militer-Sipil di Indonesia | Menjadi Republik Orma...
      • Jenazah Tan Malaka akan dipindahkan dari Kediri ke...
      • Tuntutlah Ilmu Debat Hingga ke PKI dan Masjumi
      • Kasus Palu Arit di Rupiah Terus Berlanjut, Ini Kat...
      • Mengkhayalkan pertemuan Sneevliet dan Semaoen di K...
      • Korban dan Wakil Komandan Operasi Penumpasan Gerom...
      • Korban dan Wakil Komandan Operasi Penumpasan Gerom...
      • Putri Wiji Thukul: Ujung-ujungnya Jadi Pertanyaan ...
      • Sang Pandai Api (Berjuang Bersama Kebangkitan Kesa...
      • Covert Operation dalam Perubahan Rezim, Studi Kasu...
      • PKI Sudah Mati, Tapi Dipakai Sebagai Isu Memecah B...
      • Bilven Sandalista: “Buku Kiri Itu Penting Disebarkan”
      • Dewan Kerukunan Nasional masih dikaji pembentukannya
      • JK: Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional Masih Ren...
      • Polisi: ada 50 orang beli kaos palu arit
      • Ini Harapan Wiranto dengan Dibentuknya Dewan Keruk...
      • 2017, Pemerintah Tekan Kesenjangan
      • Wiranto: Presiden Setuju Dibentuk Dewan Kerukunan ...
      • Wiranto: Presiden Setuju Dibentuk Dewan Kerukunan ...
      • Alasan Pemerintah Bentuk Dewan Kerukunan Nasional ...
      • Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timu...
      • Jadi Rebutan, Makam Tan Malaka Mulai Diperbaiki
      • Kejamnya Fitnah Bambang Tri
  • ►  2016 (1284)
    • ►  Desember (26)
    • ►  November (24)
    • ►  Oktober (85)
    • ►  September (83)
    • ►  Agustus (51)
    • ►  Juli (138)
    • ►  Juni (164)
    • ►  Mei (346)
    • ►  April (244)
    • ►  Maret (76)
    • ►  Februari (25)
    • ►  Januari (22)
  • ►  2015 (438)
    • ►  Desember (32)
    • ►  November (85)
    • ►  Oktober (116)
    • ►  September (98)
    • ►  Agustus (24)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (21)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (11)
    • ►  Maret (19)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (94)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (16)
    • ►  September (15)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (18)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (113)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (7)
    • ►  Oktober (19)
    • ►  September (20)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (13)
    • ►  Juni (11)
    • ►  Mei (15)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (85)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (8)
    • ►  Oktober (16)
    • ►  September (21)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2011 (71)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (16)
    • ►  September (9)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (10)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (10)
  • ►  2010 (65)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (26)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2009 (30)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (4)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2008 (23)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2007 (24)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (12)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2006 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
  • ►  2005 (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2004 (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2003 (6)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2002 (2)
    • ►  Juli (2)
  • ►  2001 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2000 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (2)
    • ►  Juli (2)
  • ►  1999 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  1998 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  1996 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  1981 (1)
    • ►  Juli (1)

Recent Posts

Recent Posts Widget

 
Copyright © 2014 YPKP 65-66 Kebumen | Powered by Blogger
Distributed By Blogger Templates | Design By NewWpThemes