Selasa, 10/01/2017 12:21 WIB
Oleh: Ika Manan
Kanan ke Kiri: Wilson Obrigados, Raharjo Waluyo Jati, Fitri Nganthi Wani. Foto: Limaenam Films
Sebuah pasase dari sajak berjudul “Wani, Bapakmu Harus Pergi” di atas, ditulis Wiji Thukul di tengah pelarian, untuk sulungnya: Fitri Nganthi Wani. Terakhir kali bertemu sang bapak, Wani masih berusia delapan tahun. Pada Desember 1997 sang bapak menemuinya di Yogyakarta. Wani kecil tak tahu, bahwa rupanya itu jadi jumpa terakhirnya.
LSM Kontras menyebut, sastrawan sekaligus aktivis pembela buruh itu hilang sekitar Maret 1998. Hingga sekarang, keberadaan Thukul masih tak jelas rimbanya.
Belakangan, di tengah penantian panjang selama hampir 20 tahun, Wani merasa kembali menemukan sosok Wiji Thukul namun dalam tubuh lain. Masih dengan perawakan kurus dan rambut ikal, sang bapak hadir melalui aktor Gunawan Maryanto. Cindil—sapaan akrab Gunawan Maryanto—disebut berhasil melakonkan sosok sang penyair pelo itu lewat film “Istirahatlah Kata-kata” besutan Yosep Anggi Noen.
“Sama Mas Gunawan (Gunawan Maryanto) yang memerankan bapak (Wiji Thukul) itu jadi kagum, atau bangga ya. Karena ada kemiripan. Ternyata ada yang bisa memerankan bapak dengan sebagus itu,” ungkap Wani kepada KBR saat ditemui di Kedai Tjikini, Jakarta.
Film Istirahatlah Kata-kata mengisahkan penggalan hidup Thukul, saat delapan bulan melarikan diri ke Pontianak, sembunyi dari kejaran aparat Orde Baru. Sutradara film, Yosep Anggi Noen, memilih mengambil periode setelah kerusuhan 27 Juli 1996 sebagai titik awal penceritaan.
“Periode ini sebenarnya paling emosional karena dia harus jauh dari teman-temannya dan keluarga. Untuk berjuang mengatasi kesendirian, ketakutan. Periode ini adalah periode Wiji menghilangkan segala macam ketakutannya,” jelas Anggi di Jakarta, Minggu (8/1/2016).
Saat itu untuk pertama kalinya, Wiji Thukul dan sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) oleh pemerintah Orde Baru dinyatakan sebagai buron. “Thukul dan beberapa aktivis dianggap memprovokasi kerusuhan pada Juli 1996. Kenapa memilih masa itu? Karena ada perasaan yang kompleks dari tokoh,” imbuh Anggi.
Menonton film ini, rasa kangen Wani meruap. Pun perasaannya, campur aduk.
“Seiring berjalannya waktu kan kita sebenarnya bisa lebih legowo, bisa mengalihkan pikiran lah. Istilahnya sudah bisa move-on. Eeee tiba-tiba dilihatin (film) yang begituan lagi. Kangen (bapak).”
Layaknya judul, film ini sebetulnya tak banyak menyemburkan kata-kata. Sang sutradara mengeksplorasi kesunyian di tengah pengembaraan Thukul. Tapi justru dengan begitu, menurut Wani, dirinya bisa membaca ulang kegelisahan kedua orangtuanya saat terpisah satu sama lain.
Melalui Marissa Anita yang melakonkan Dyah Sujirah alias Sipon dan Gunawan Maryanto sebagai Thukul, kenangan diselingi tanya muncul silih ganti di tengah Wani menikmati film ini. Berikut wawancara Jurnalis KBR, Nurika Manan bersama Fitri Nganthi Wani.
Sudah nonton film “Istirahatlah kata-kata”?
Sudah.
Nonton sampai selesai?
Ee… iya, tapi ya baper-baper (Red: Bawa Perasaaan) begitu. hahaa...
Setelah menonton film ini, apa yang terlintas pertama kali?
Campur aduk sih ya. Sama Mas Gunawan (Gunawan Maryanto) yang memerankan bapak (Wiji Thukul) itu jadi kagum, atau bangga ya. Karena ada kemiripan. Kok, oh.. ternyata ada yang bisa memerankan bapak dengan sebagus itu. Ini yang enggak personal kan ya. hahaa...
Kalau secara personal, apa yang Anda rasakan?
Ya jelas jadi terbawa ke masa lalu. Tapi lebih ke kangen sih ya. Karena kalau kenangan-kenangan itu tidak mungkin ada yang lupa. Tapi jadi… yang mungkin kalau setiap hari bisa “nylemor” (mengalihkan perasaan) ya istilah Jawanya.
Kan seiring berjalannya waktu, kita bisa lebih legowo, bisa mengalihkan pikiran lah. Enggak terpuruk, istilahnya sudah bisa move on juga. Sekarang sudah ada anak juga, kehidupan lain, sehari-hari kita bikin asyik lah ya. Eee.. tiba-tiba dilihatin (film) yang begituan lagi, sedih sih enggak. Kangen.
Sedihnya ya mungkin sedih karena terbawa alur cerita, ya sebagai penonton. Melihat Mba Marisa (pemeran Sipon, istri Wiji Thukul) dan Mas Gunawan memerankan bapak dan ibu yang seperti itu (terpisah). Jadi ada double-nya.
Mungkin kalau sebagai penonton, yang tidak ada hubungan apa-apa kan ya cuma baper-baper aja. Tapi ini kan…. (berlapis-lapis begitu ya, Mba?) Iya. Ini kan personal, menyinggung masa laluku juga secara tidak langsung.
Anda tahu Wiji Thukul di Pontianak seperti apa?
Ada sih sedikit. Karena waktu Bapak lari (buron) pas belum dinyatakan hilang itu masih ada komunikasi dengan ibu. Ketika ada aku, bapak ingin ngobrol sama aku misalnya lewat telepon. Tapi aku lupa ya itu di Pontianak apa di mana.
Pokoknya intinya saat di Pontianak memang keluarga tahu. Ibu juga pernah cerita kalau di sana (Pontianak) bapak nginep di rumah orang yang punya anak bayi. Dan, sempat bapak minta ke ibu dicariin pakaian bayi bekas layak pakai untuk dikirim ke sana. Tapi aku lupa ya itu jadi dikirim atau enggak, karena samar-samar ingat.
Kalau waktu itu enggak ngerti perasaanku gimana, tahunya oh bapak masih ada. Terus lama-lama enggak ada dan yang terakhir kan memang di situ.
Tapi dengan menonton film ini, Anda menangkap gambaran kondisi Wiji Thukul seperti apa?
Tergambarnya itu kalau di film, cenderung ke perasaan mereka berdua (bapak dan ibu). Jadi ini bukan menceritakan keseharian yang pakai dialog. Tapi tentang kesunyian, kegelisahan. Jadi lebih ke dua orang di tempat yang berbeda lalu saling memikirkan, mau bertemu tapi di-ini (halangi) keadaan.
Bagaimana dengan kondisi Ibu (Sipon) saat Wiji Thukul tak juga diketahui keberadaannya?
Ya mungkin karena suasana di kampung ramai. Tapi memang ibu merasakan suatu perasaan sunyi. Sampai sekarang.
Ibu (Sipon) sudah menonton film ini?
Ya, kalau enggak salah sama adikku (Fajar Merah). Kalau sama aku, sempat waktu trailer keluar pertama kali. Itu baru trailer saja yah, ngomongnya sudah ke mana-mana. Ya, jadi inget yang Mba Marisa peragakan misalnya: “Omahe kerep ditekani wong. Yowes ngono kuwi.” (Rumah kerap didatangi orang). Ya ekspresi kemarahan.
Ada kalimat yang diucapkan Marissa di Film itu: Aku ora pengen kowe lungo, nanging aku yo ora pengen kowe moleh. Sing tak pengeni kowe ono. (Aku nggak ingin kamu pergi, aku juga nggak ingin kamu pulang. Yang aku inginkan hanya kamu ada), itu betul terjadi?
Iya, ada (di film) sih. Intinya itu aku enggak pengen kamu pergi, aku enggak pengen kamu pulang, yang aku pengen kamu ada. Kalau pas mereka sendiri (di kenyataan), itu aku enggak tahu.
Rencananya akan mengundang Presiden Jokowi hadir, apa yang ingin disampaikan?
Kalau ini memang khusus ingin ngundang untuk menonton film. Ya karena secara kami tetanggaan, sama-sama orang Solo. Terus karena Pak Jokowi juga punya bukunya Bapak, dan suka puisinya Bapak. Alangkah baiknya kalau Pak Presiden bisa ikut nonton kan, sebuah kehormatan tersendiri buat teman-teman dan saya. Ada kebanggaan, suatu kepuasan buat kami. Seperti film lain saja, sebuah kepuasan untuk kami kalau diapresiasi oleh presiden.
Anda berharap “Istirahatlah Kata-kata” juga ditonton anak muda, kenapa?
Saya memposisikan sebagai saya sendiri. Ini kan temanya tentang Wiji Thukul. Kebanyakan atau mungkin sebagian orang tahunya Wiji Thukul seorang penyair. Lalu puisinya. Kemudian dia hilang. Tapi malah mungkin tidak ada yang terpikir bahwa dia juga punya perasaan sunyi lho. Kita coba lihat ke sudut pandang lain lah, yang lebih mudah diterima.
(Yang menonton) tidak harus yang suka politik dan aktivisme. Dan memang yang mellow-mellow romantis begini kan ke anak muda ya kecenderungannya.
Apa adegan yang paling melekat dalam film ini?
Ya, malah justru bukan ke situnya, malah jadi kembali lagi pertanyaan-pertanyaan yang di batin ya, pasti banyak orang juga: Bapak itu di mana? Jadinya ke situ lagi, ujung-ujungnya. Enggak dibikin film pun kita tetap tiap hari begitu, tokohnya juga kita-kita sendiri.
Tapi lalu setelah dibikin film, mungkin kita melihat keluarga kita dari kaca mata orang lain, kita sebagai orang lain yang melihat itu. Dan ternyata sama sutradara (Yosef Anggi Noen) disajikan sedemikian rupa yang kemudian berhasil membuat penonton jadi ikut diam lama. Setelah film selesai pun juga jadi masih belum bisa move on dari film itu.
Rencananya, pihak keluarga dan sahabat Wiji Thukul pada Selasa (10/1/2016) hari ini akan mendatangi Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. Mereka secara khusus akan mengantarkan undangan dan meminta presiden ikut menonton film yang akan tayang serentak di delapan kota mulai 19 Januari 2017.
Film produksi Muara Foundation ini telah menyabet sejumlah penghargaan film. Di antaranya meraih Piala Dewantara dalam Apresiasi Film Indonesia dan memenangkan Golden Hanoman Award dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival Yogyakarta. Selain itu, film “Istirahatlah Kata-kata” telah berpartisipasi dalam sejumlah festival film internasional, di antaranya Festival del Film Locarno Swiss dan International Film Festival Rotterdam, Belanda.
Editor: Quinawaty
http://kbr.id/saga/01-2017/putri_wiji_thukul__ujung_ujungnya_jadi_pertanyaan_di_batin__bapak_ada_di_mana_/88052.html
0 komentar:
Posting Komentar