13 Januari 2017 | Muhidin M Dahlan
Seperti buah, debat juga punya musimnya. Bahkan makin ke sini makin sering. Mulai dari debat calon presiden yang berlangsung lima tahun sekali hingga musim pemilihan kepala daerah (pilkada) yang juga lima tahun sekali. Walaupun lima tahun sekali, pilkada berlangsung di ratusan kota dan kabupaten. Hitung sendiri berapa kali debat berlangsung.
Jika kita tarik garis linimasa debat terbuka para calon pemimpin bangsa yang disiarkan secara langsung oleh televisi memang dimulai dari pemilihan presiden (pilpres) 2004 yang secara mutlak dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian membawa watak baru dalam berdebat, yakni santun.
Berdebat dengan melakukan serangan dan manuver menjadi seperti seorang bedebah dan layak dihukum. Amien Rais yang lulusan PhD dari Amrik dan bintang Reformasi saja takluk dalam kharisma Susilo Bambang Yudhoyono yang berbahasa santun dan runtut dalam balutan gestur tubuh tegap. Apalagi Megawati Soekarnoputri: tercecer jauh ke belakang dalam sunyinya.
Secara natural, standar operasi debat itu ya seperti SBY. Dua kali pilpres, dua kali pula SOP ala SBY itu ampuh. Dan, dua kali pula Megawati takluk dengan sodoran permainan yang sama: tidak fokus, uraian materi mbleber, menyerang, canda garing, disertai intonasi suara yang tak bersahabat dengan mikropon keluaran 2009.
Melihat kesuksesan itu, gaya berdebat SBY dengan segala SOP-nya menjadi ukuran kesuksesan politik. Bahkan, itulah salah satu warisan paling penting dari SBY: debat-santun.
Jokowi pun memakai cara itu dengan sedikit modifikasi. Jangan menyerang adalah kunci! Tapi, prosedur dan persyaratan yang lain mustahil bisa disaingi Jokowi: badan tegap perkasa dan berbahasa yang runtut sesuai Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Selain ditolong oleh aksi-aksi pencitraan “blusukan” selama jadi Gubernur DKI, Jokowi diuntungkan oleh lawan debatnya yang (masih) membawa gaya menyerang. Padahal pada 2009 gaya menyerang dengan suara berapi-api dan tangan terkepal jelas-jelas tidak (atau belum) diminati.
Di Pilkada DKI, gaya debat-santun dan debat-menyerang menjadi pertaruhan yang mematikan. Gaya debat-santun diwakili oleh AHY dan Anies Baswedan, sementara debat-menyerang dipakai secara maksimal Basuki Tjahaja Purnama yang tersohor sebagai naga bermulut api. Tapi, jika yang keluar menjadi gubernur adalah AHY, lupakan saja semua omong-kosong yang disodorkan esai ini; sembari mencari istilah yang tepat dan modifikasi tambahan untuk sebuah tren baru. Misalnya, saat blusukan ala Jokowi makin garing, pamor sebagai playing victim alias korban perundungan di ranah maya diminati, sebagaimana direpresentasikan AHY.
Dari sisi historis, gaya berdebat menyerang menjadi gaya purba dalam sejarah politik kita. Khususnya sejarah berdebat. Gaya menantang adalah warisan semangat pergerakan yang menggebu-gebu. Mencari lawan berdebat secara terbuka bukan sesuatu yang tabu. Bisa dibayangkan bagaimana di pengujung 1914, Mas Marco Kartodikromo yang notabene pengurus Sarekat Islam afdeelingSurakarta menantang Ketua Centraal Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto untuk berdebat di lapangan terbuka di Surakarta. Sayang, izin mobilisasi umum dari penguasa tidak keluar.
Di kemudian hari Indonesia mewarisi debat abadi adalah kubu komunis dan Islam, tapi selalu dimenangkan kubu nasionalis cum tentara. Katakanlah si pendebat tangguh H.O.S. Tjokroaminoto mewakili kubu Islam, sementara pendebat keras kepala yang bermulut “sampah” macam Marco Kartodikromo mewakili kubu komunis (SI afdeeling Surakarta dan Semarang menjadi penyumbang sumber daya manusia terbesar terbentuknya PKI).
Dan, masing-masing kubu ini terus memproduksi maestro-maestro debatnya. Dari kanan lahir sosok-sosok semacam Agoes Salim, Kasman Singodimedjo, dan Isa Anshary. Dari komunis muncul generasi Musso, Njoto, dan Sakirman.
Watak dua kubu ini podo wae: sama-sama memakai gaya debat-menyerang. Salim menambahkan syarat khusus: dalam debat mesti punya simpanan humor agar tidak spaneng. Jika tak punya amunisi humor, apa jadinya Salim “dihina” Musso di atas podium debat dengan kambing lantaran berjanggut panjang. Musso yang klimis dan tampaknya di atas angin dengan mudah disapu Salim dengan mengatakannya sebagai “anjing” karena hewan itulah yang tak berjanggut dan berkumis.
Dua kubu ini memungkasi kultur debat mereka berdekade-dekade lamanya pada 1956-1957, yakni saat debat di Dewan Konstituante. Lagi-lagi, hanya kubu Islam dan Komunis yang paling dinamis. PNI tak usah direken: taklid pada Sukarno untuk mempertahankan butir Pancasila sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Fraksi PKI via Njoto ngotot sila pertama mestilah memasukkan “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup” dengan rentetan argumentasi bahwa itu paling cocok dengan keyakinan hidup politeisme yang masih hidup dan dianut masyarakat di Nusantara.
Njoto yang menjadi pendebat langsung disambar Kasman Singodimedjo. Lihat saja namanya: Singodimedjo, singa di meja, atau singa podium. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung pada pokok tudingan kepada PKI.
Saya kutipkan penggalannya:
“Saudara Ketua, meskipun mengenai 5 pokok keharusan yang bersamaan, telah didemonstreer oleh Saudara Njoto dari partai Komunis Indonesia (P.K.I.) pada rapat Panitia Persiapan Konstitusi (P.P.K.) tanggal 18 September (1957, pen.) yang tidak saja mengeritik dan mengejek saya secara persoonlijk dengan ucapan-ucapan seperti: baik sekali jika Saudara Kasman belajar dari saudaranya Kristen ini.
Saya mintakan kepada Dewan Konstituante yang terhormat, terhadap sinyalemen saya mengenai tafsiran Partai Komunis Indonesia (PKI) perihal perumusan “kebebasan beragama” yang dianggap oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih baik dari rumusan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebab begitu maksudnya Saudara Ketua, Umat Perbegu di Tapanuli misalnya yang mengaku adanya Tiga Tuhan lantas “tidak” harus diusir dari Indonesia. Pula didalam perumusan “kebebasan beragama”, Saudara Ketua, harus pula dianggap telah pula memuat pengertian atheisme dan polytheisme disamping arti “monotheisme”.
Maka teranglah dengan tafsiran Partai Komunis Indonesia (PKI) itu bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sesungguhnya tidak menghendaki rumusan: Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan dengan begitu seolah-olah Tuhan Yang Maha Esa oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) telah diusir dari Indonesia. Pun pula, Saudara Ketua, dengan tafsiran itu Partai Komunis Indonesia (PKI) nyata-nyata telah mengartikan “kebebasan beragama” itu sama dengan “kebebasan tidak beragama” atau “kebebasan anti-Tuhan” atau “kebebasan anti agama”, karena “atheisme” telah telah disisipkan diantaranya dan disamaratakan dengan “monotheisme” dan “polytheisme” didalam hubungannya dengan tafsirannya mengenai “kebebasan beragama”. Coba pikirkan, Saudara Ketua, dapatkah “beragama” dipadukan dan dianggap sama dengan atheisme?”
Kasman mengurai dengan sangat lincah khas “singa meja” serangan-serangannya khusus kepada PKI. Dan, itu sangat panjang. Transkrip non-verbatim yang dilakukan juru ketik Warung Arsip saja berjumlah 8.523 kata.
Dibantu sekondannya Isa Anshary dari Masjumi, PKI dan kelompok yang bersimpati dengan Marxisme dituding kafir. Sekonyong-konyong Asmara Hadi dari Fraksi PNI yang tersindir berbicara: “Kemarahan Saudara Isa Anshary terutama sekali dicurahkannya keatas kepala kaum Komunis. Ketika Saudara itu berbicara mata fantasi saya melihat Saudara Njoto, Aidit dan kawannya dalam api neraka berkeluget -keluget seperti cacing dipasir panas. Karena saya dalam uraian ini berkata bahwa Pancasila tidak menolak Komunisme.”
Njoto yang diserang habis-habisan tentu saja membalas dan ambil posisi menyerang balik. Njoto, sebagaimana biasa tampil kalem, tapi menguasai aji-aji debat dan logika forum. Bukan hanya Kasman digebuknya, tapi juga semua kompatriotnya seperti M. Natsir dan Isa Anshary.
Saya kutipkan:
Saudara Ketua, beberapa pemicara Islam menyatakan keheranannya bahwa kami kaum Komunis menerima Pancasila sebaga Dasar Negara. Saudara-saudara itu tentu akan lebih heran sekiranya kami menerima Dasar Negara Islam!
“Partai Komunis Indonesia tidak konsekwen terhadap ismenya sendiri,” kata Saudara Kasman menuduh. Diharapkannya kemudian “didalam Pleno Konstituante sekarang ini insya Allah kita akan mendengar dengan seksama dasar Komunis dari kawan-kawan Partai Komunis Indonesia. Dengan khusus kita akan mendengar pula pembahasan dari dasar Pancasila yang kita harapkan akan diuraikan oleh ahli-ahlinya”.
Pertama-tama harus saya katakan bahwa soal siapa konsekwen dan siapa tidak konsekwen, sejarah kelak akan menyaksikannya. tetapi bukan kami kaum Komunis saja yang tidak memperjuangkan ideologi atau agamanya sendiri di sidang Konstituante ini. Saudara Rumambi tidak memperjuangkan asas Protestanismenya. Saudara Profesor Suhardi tidak memperjuangkan asas Katholikismenya. Saudara Suwirjo tidak memperjuangkan asas marhaenismenya dan Saudara Takdir Alisjahbana pun tidak memperjuangkan asas Sosialisme Kerakyatannya.
Apakah akan jadinya Republik kita yang adalah milik kita bersama-sama ini, seandainya kita masing-masing-masing memperjuangkan mati-matian sekarang ini ideologi atau agama kita masing-masing, seandaianya kita masing-masing mendesakkan keyakinan atau kepercayaan sendiri saja; seandainya kita masing-masing mau menang sendiri saja, apa yang akan terjadi. Lihatlah, tidakkah terasa keinginan Saudara Kasman sebagai keinginan keruntuhan dan bukan keinginan keutuhan? Tentang ajaran Katholiek dan Protestan misalnya, tidak hanya ada Testamen Lama dan Testamen baru, tetapi juga ada asas dan program partai Katholiek dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Tentang Marhaenisme, tidak hanya ada “Mencapai Indonesia Merdeka” Bung Karno, tetapi juga ada asas dan program PNI. tentang Komunisme, tidak hanya ada “Manifes Partai Komunis”, tetapi juga ada program-program Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kalau kami pembela-pembela Pancasila ini tidak maju dengan program kami sendiri-sendiri, bahkan sebaliknya maju dengan program dan platform bersama, bukan karena kami tidak mempunyai asas dan program sendiri, tetapi karena toleransi dan tasamuh bagi kami bukanlah sesuatu yang untuk diucapkan semata-mata melainkan untuk diamalkan. Perjuangan kita tidak membutuhkan kemenangan sendiri, yang dibutuhkan adalah kemenangan bersama.
Saudara Natsir dan bersama beliau juga Saudara-saudara Kasman, Isa Anshary, Rusjad Nurdin, dan lain-lain menafsirkan bahwa penerimaan kami kaum Komunis atas Pancasila “hanyalah dibibir” saja. Kami benar menerima Pancasila dibibir dan kami menerima Pancasila didalam Undang-Undang Dasar, sesuatu yang harus kami patuhi jika ia sudah disahkan. Lebih daripada itu, kami menerima Pancasila didalam hati, karena kami mempertanggungjawabkannya kepada Sosialisme.
Tetapi bagaimana dengan Saudara Natsir, Kasman, Isa Anshary, Rusjad Nurdin dengan kawan-kawan? Tidakkah bagi masyarakat sekarang terang-benderang bahwa 12 tahun yang silam ini Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) menerima Pancasila hanya dibibir? 12 tahun lamanya mereka mengatakan menyetujui Pancasila, menjadi pegawai, menjabat Menteri, bahkan Perdana Menteri dibawah sumpah Pancasila dan tiba-tiba kini mereka melakukan serangan frontal terhadapnya. Mungkinkah kesimpulan lain kecuali bahwa selama ini mereka ternyata menerima Pancasila dibibir saja? Dan ini bukan soal akan, ini soal sudah.
Dari situ kemudian kita tahu, debat yang bermutu membutuhkan seni berpikir dan yang terpenting punya isi kepala. Masjumi dan PKI dihuni singa-singa debat. Mereka berseberangan dan membela keyakinannya dengan ayat dan asas ideologisnya.
Sejarah kemudian bicara lain sama sekali. Bukan hanya Sidang Konstituante mengalami kebuntuan, tapi juga Dewan ini dibubarkan. Bukan pula hanya Dewan ini yang bubar jalan, tapi Masjumi dan PKI ikut karam selamanya di tahun 60-an. Masjumi dilikuidir Sukarno dan Nasution karena perkara PRRI, sementara PKI dibantai hingga ke cindil-cindilnya lantaran tuduhan terlibat secara meyakinkan atas pembunuhan jenderal-jenderal teras Angkatan Darat pada 1 Oktober di Jakarta.
Oleh pemenang palagan politik kultur debat-menyerang itu selanjutnya diganti dengan metode yang lebih soft, yakni “Kelompencapir”. Itulah warisan debat yang disumbang oleh tentara-tentara (pedagang).
Akur, Bung dan Nona!
Pertama kali dipublikasikan Tirto.Id, 13 Januari 2017
Sumber: Muhidin M Dahlan
0 komentar:
Posting Komentar