Editor: Kurosawa
Aiko dan Matsumura Toshio
Pengantar oleh:
Asviwarman Adam
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman:
308 halaman
Membahas putaran sejarah memang tidak akan pernah ada
habisnya. Ketika jalan buntu ditemui, maka satu demi satu jalan lain terbuka
untuk melusuri kembali setapaknya. Satu versi ditebas habis, disusul versi
untuk diperdebatkan. Bicara mengenai sejarah, ada satu kisah masa lalu yang
hingga kini tak pernah habis dikupas. Ada beberapa rahasia yang bila
diungkapkan maka akan ditemukan benang merah terkait perjalanan bangsa ini.
Kisah yang tak tuntas ini secara de facto selesai ketika Sarwo Edhie
Wibowo bersama pasukan Angkatan Darat merebut kembali Radio Republik Indonesia
(RRI) dan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dan para pemimpinnya seperti
Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Syam Khairuzamman diadili oleh negara
melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Namun, efek yang ditimbulkan setelahnya justru bergulir
bak bola liar, tak terhentikan dan mirisnya menciptakan konspirasi panjang yang
tak berkesudahan. Sejarah penuh intrik, konspirasi, tragedi yang berhasil
membuat Indonesia kalang kabut selama puluhan tahun setelahnya, sekaligus alat
utama penguasa negara menciptakan narasi penuh tipu daya itu bernama Gerakan 30
September atau biasa kita menyebutnya G30S.
Telah banyak orang mencoba membuka tabir dibalik G30S.
Dari sejarawan, peneliti, akademisi, hingga aktivis, giat melakukan diskusi.
Beberapa dari mereka bahkan menuliskan penelitian serta
diskusinya ke dalam sebuah buku. John Roosa, seorang seorang sejarawan yang
juga professor di University of British Columbia (Kanada) muncul dengan bukunya
yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and
Suharto’s Coup d’État in Indonesia. John Roosa menguak banyak sisi yang
tidak banyak diketahui khalayak dan menjungkir-balikkan narasi yang selama ini
dikeluarkan secara resmi oleh negara melalui rezim Orde Baru di bawah Suharto.
Selain itu melalui bukunya, John Roosa menjelaskan secara runtut bagaimana G30S
direncanakan, siapa saja yang bergerak di belakang layar, bagaimana
keterlibatan negara-negara asing seperti Amerika Serikat melalui CIA dan
Inggris melalui M-16 dan yang terpenting bagaimana keterlibatan Suharto beserta
kroni-kroninya dalam G30S ini.
Dari sisi yang lain, Wijaya Herlambang juga berusaha
menguak tabir seputar G30S. Jika John Roosa membuka G30S dari segi teknis dan
runtutan peristiwa secara langsung, Wijaya Herlambang menuliskan sebuah
pandangan baru mengenai G30S melalui sudut pandang pertarungan kebudayaan yang
terjadi pra dan pasca peristiwa bersejarah tersebut muncul di permukaan.
Gagasan, diskusi dan penelitian Wijaya Herlambang tersebut dikumpulkan dan
diterbitkan dalam sebuah karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 di
tahun 2013. Pertarungan kebudayaan yang mau tidak mau harus menghadirkan
perseteruan antara pihak Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) semakin dilengkapi oleh buku terbitan Harian Tempo
dengan judul Lekra dan Geger 1965.
Pergulatan menarik yang mengupas sisi-sisi tersembunyi telah
dibahas oleh sumber-sumber di atas. Namun, baik John Roosa dan Wijaya
Herlambang sendiri tampaknya memang hanya fokus untuk menggali G30S dari sudut
pandang internal negara Indonesia, khususnya dampak pasca peristiwa G30S
terhadap internal kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sekali lagi
dikatakan bahwa G30S ini bukanlah peristiwa tunggal dan berdiri sendiri. Banyak
berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri turut yang mendorong
terjadinya Gerakan 30 September pada 1 Oktober dini hari tersebut. Hal tersebut
menandakan dampak G30S tidak hanya berpengaruh pada internal negara Indonesia
saja tetapi juga pihak eksternal negara asing lainnya. Pertanyaannya, pihak
eksternal mana sajakah yang turut terpengaruh atas terjadinya G30 dan mengapa?
Apakah selain Amerika Serikat dan Inggris yang telah sedikit dibahas oleh John
Roosa, ada negara lain yang turut bermain api dalam prahara G30S serta
mengambil keuntungan? Lalu adakah pihak-pihak yang dirugikan walapun tidak ikut
campur secara langsung ke dalam G30S?
Aiko Kurasawa bersama tim penelitiannya hadir dalam
sebuah karya buku berjudul G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang
Dingin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sekali lagi, selama
ini buku-buku, literasi, atau ulasan mengenai kejadian G30S yang bertebaran di
dunia kebanyakan hanya membahas keterlibatan propaganda CIA dan M-16 sebagai
aktor eksternal yang turut menyokong Suharto membangun Orde Baru lewat kudeta
merangkak dengan G30S itu sendiri sebagai dalihnya. Padahal, secara letak geografis
Indonesia terletak pada kawasan Asia, tepatnya Asia Tenggara yang tentunya
hidup berdampingan dengan negara-negara serumpunnya. Secara logika apabila
kejadian G30S memang benar-benar menjadi peristiwa besar nan mengguncangkan
yang memaksa negara nun jauh di sana seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk
turut campur, bukan tidak mungkin negara-negara tetangga dalam lingkup Asia
Tenggara seperti Malaysia, Fillipina, Vietnam, serta Singapura ikut masuk dalam
pusaran prahara.
Belum lagi peran negara-negara Asia yang mempunyai
hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Tiongkok dan Jepang, pastilah
mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam G30S. Dengan latar belakang
kegusaran dan penasaran itulah akhirnya Aiko Kurasawa dan kawan-kawan mencoba mengkaji
secara mendalam pengaruh atau dampak yang diberikan G30S terhadap Asia.
Kajian-kajian mendalam tersebut yang nantinya menjadikan buku ini sebagai yang
pelopor dalam pembahasan G30S dilingkup Asia.
Penelitian yang berkelanjutan ini akhirnya memunculkan
pertanyaan dan perspektif yang menakjubkan. Benarkah Tiongkok ikut terlibat
dalam G30S? Apakah pengaruh G30S dalam pergerakan kemerdekaan Sarawak?
Bagaimanakah Korea Utara dan Korea Selatan menanggapi G30S? Negara mana yang
paling diuntungkan setelah G30S? Mengapa Filipina tidak begitu memberikan
perhatian terhadap G30S? Mengapa Jepang sangat diuntungkan pasca G30S? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditemukan di dalam buku ini. Buku ini
bermaksud menguraikan G30S dari perspektif dinamika pergeseran politik di Asia.
G30S ternyata berpengaruh terhadap perubahan peta politik negara-negara di Asia
dalam menentukan sikap terhadap pengaruh ideologi komunis dan kapitalis. Negara
yang paling banyak dibahas di dalam buku ini adalah Tiongkok, baik peranannya
sebelum G30S maupun pasca G30S itu terjadi.
Sebagai negara yang memiliki organisasi komunis ketiga
setelah Uni Soviet dan Tiongkok, Indonesia tentunya memiliki hubungan yang
cukup erat dengan negara-negara berhaluan kiri tersebut. Apalagi setelah
Presiden Sukarno dengan lantang menyatakan keinginannya membuat kekuatan dunia
baru dengan Jakarta-Peking-Hanoi-Phnom Penh sebagai porosnya di pertengahan
medio 1960-an, hal itu membuat hubungan Indonesia dan Tiongkok semakin erat.
Partai Komunis Tiongkok (PRT) seperti yang diulas pada buku ini juga beberapa
kali berkoordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membicarakan
program-program partai. Isu miring pun tak luput menerpa hubungan keduanya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio bahkan secara
terang-terangan menuduh Tiongkok dan PRT sebagai dalang G30S terkait dukungan
mereka untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani Indonesia (keinginan serupa
untuk mendirikan angkatan kelima pernah diutarakan oleh Dipa Nusantara Aidit
kepada Sukarno, namun ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Angkatan Darat
seperti Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution).
Tuduhan tersebut dibantah dengan tegas oleh Menteri Luar
Negeri Tiongkok lewat arsip Kementrian Luar Negeri Tiongkok yang pernah dibuka
untuk publik di tahun 2011. Bahwasanya dukungan untuk mempersenjatai kaum buruh
dan tani bukanlah sebagai rencana G30S, namun untuk persiapan menghadapi
kekuatan neo-kolonialisme Amerika Serikat yang mulai menginvasi Asia Tenggara
lewat perang Vietnam.
Tiongkok sendiri pernah menandatangani perjanjian dengan
Indonesia mengenai pemberian bantuan persenjataan ringan pada bulan Agustus
1965, namun hingga peristiwa G30S pecah bantuan senjata itu tidak pernah
diberikan secara langsung kepada pemerintah.
Hal menarik lainnya yang diulas di dalam buku ini adalah
betapa besar pengaruh G30S terhadap pergerakan kemerdekaan Negara Sarawak atau
Republik Kalimantan Utara yang kini menjadi bagian dari Malaysia. Kita semua
mengetahui Sukarno pernah melakukan konfrontasi secara terbuka dengan Malaysia
di tahun 1965. Hal tersebut dilakukan karena Sukarno menyatakan bahwa Malaysia
merupakan negara boneka yang dibentuk oleh Inggris dan kekuatan nekolim yang
berpotensi mengganggu stabilitas negara-negara di Asia Tenggara khususnya
Indonesia yang sedang gencar membangun kekuatan bersama negara dunia ketiga di
bawah naungan New Emerging Force atau Nefo. Negara Sabah dan Serawak yang ingin
melepaskan diri dari Malaysia jelas mendapat dukungan dari Sukarno dan
Indonesia.
Konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang dilakukan Sukarno
jelas membantu pergerakan kemerdekaan secara moril. Bahkan di penghujung bulan
Agustus pergerakan untuk kemerdekaan Sarawak semakin besar dan berpotensi untuk
mencapai keberhasilan. Namun, pecahnya G30S di akhir September membuat
peruntungan berubah ditambah Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yeeuw yang
awalnya mendukung gerakan kiri beralih untuk memberikan perlawanan dan menekan
komunis yang ada di negaranya membuat dukungan terhadap kemerdekaan Republik
Kalimantan Utara tereduksi. Turunnya Sukarno lalu naiknya Suharto yang ditindaklanjuti
dengan pemberantasan kekuatan komunis dan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia
membuat kemerdekaan Sarawak tinggalah angan-angan belaka.
Negara Jepang juga sedikit banyak mengambil keuntungan
dari kejadian baik pra maupun pasca G30S. Sebelum G30S terjadi, Indonesia
memiliki banyak agenda untuk mengusir nekolim dari bumi pertiwi, salah satunya
adalah program nasionalisasi perusahaan asing dan land-reform yang
amat didukung atau setidaknya selaras dengan program yang dimiliki oleh PKI.
Saat itu kebanyakan perusahaan asing yang memiliki aset di Indonesia adalah
milik orang-orang Belanda. Melihat hal tersebut Jepang turut mendukung program
nasionalisasi itu sebab mereka hampir tidak memiliki sama sekali kepemilikan
perusahaan di Indonesia. Dengan terusirnya Belanda, Jepang berharap suatu saat
nanti pemerintah Indonesia akan memberi banyak proyek yang condong ke Jepang
dan memberikan izin untuk berinvestasi di Indonesia. Pasca G30S Jepang banyak
mengeruk keuntungan. Dengan adanya undang-undang tentang penanaman modal asing
yang diteken oleh Presiden Suharto ditambah menguatnya kerja-sama Indonesia dan
Amerika Serikat bersama para sekutunya (termasuk Jepang serta Korea Selatan),
membuat produk Jepang serta Korea Selatan membanjiri pasar Indonesia, mulai dari
produk otomotif hingga alat telekomunikasi. Ekspor yang deras ke Indonesia
tersebut secara langsung membuat perekonomian Jepang dan Korea Selatan
meningkat pesat hingga mereka dijuluki “Macan Asia” sampai hari ini.
Bila kita telisik lebih dalam dampak dari G30S sangatlah
besar dan luas. G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin banyak membuka
tabir yang selama ini masih tertutup rapat sehingga kita bisa menarik benang
merah dari kejadian di masa lampau untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi
di masa depan. Sembilan tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini dapat dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, mengenai respons dan keterlibatan masing-masing
pemerintah dan masyarakat. Kedua, fokus terhadap pemberitaan media di beberapa
negara di Asia. Ada delapan negara yang dibahas di buku ini, yaitu Jepang,
Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Buku yang sangat menarik untuk dibaca dan bisa menjadi referensi kita untuk
mendiskusikan posisi geopolitik yang terjadi di kawasan Asia.
[Kontributor: Mario Muhammad
Hafidh]
0 komentar:
Posting Komentar