BY AKHMAD REZA ON
Penulis menganggap, isu komunisme, isu PKI yang dibangkitkan kembali adalah rekayasa. Mengapa ? Sebab secara ideologi, komunisme sudah bangkrut seperti diungkap Francis Fukuyama dalam “The End of History and The Last Man.” JIka dahulu Uni Sovyet dan RRC menjadi patron, siapakah yang menjadi patron ketika Komunisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur runtuh ? Apakah RRC ? Tidak juga, sebab RRC menerapkan dua sistem. Sistem politik mereka masih berkiblat ke komunisme, namun dalam sistem ekonomi, mereka sudah berkiblat ke kapitalisme.
Di Indonesia sendiri, isu komunisme rajin ditiupkan oleh rezim penguasa Orde Baru. Mereka tidak membuka ruang sedikitpun terhadap oposisi. Jangankan oposisi, mengkritik penguasa pun menjadi hal yang tabu. Nah, jika “keukeuh” melakukan kritikan apalagi oposisi, maka siap-siap saja mendapatkan stigma komunis dan PKI. PKI dicitrakan sebagai “Setan abadi.” Atau dalam bahasa Orde Baru disebut “bahaya laten.”
Seiring runtuhnya rezim Orde Baru, isu komunis agaknya masih layak untuk dijual. Dan jualan ini laku ketika Pilpres 2014 lalu. Sosok Jokowi dan partai pendukungnya, yakni PDI Perjuangan sering mendapatkan fitnahan sampah seperti ini. Parahnya, tak sedikit yang masih menelan bulat-bulat isu yang cenderung “hoax” ini. Satu hal yang mereka lupakan, selain PKI yang mereka anggap sebagai pengkhianat dan pemberontak, ada lagi pihak yang merongrong NKRI di awal-awal kemerdekaan hingga tahun 60-an.
Namanya adalah DI/TII. DI merupakan singkatan dari Darul Islam. TII adalah kependekan dari Tentara Islam Indonesia. Tercatat dalam sejarah, mereka melakukan pemberontakan mulai 1949 hingga 1962, ketika dedengkotnya, yakni Soekarmadji Maridjan Kartosuwirjo ditangkap dan dihukum mati. Kartosuwirjo muda adalah teman kost Bung Karno semasa di rumah H.O.S Tjokroaminoto.
Pemberontakan DI/TII pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) resmi berdiri tanggal 7 Agustus 1949 yakni dengan diproklamasikannya Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Namun, gerakan DI/TII sebenarnya sudah lama ada, yaitu sejak lahirnya Komite Pembela Kebenaran PSII sebagai akibat dari perpecahan yang terdapat dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Perpecahan itu membuat Kartosuwirjo mendirikan perguruan Suffah yang ada pada masa pendudukan Jepang dikembangkan menjadi pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, terutama Hizbullah dan Sabilillah.
Tujuan dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah suatu gerakan yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam Indonesia. Pemberontakan DI/TII bermula di Jawa Barat, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Tindakan Kartosuwirjo dan DI/TII-nya membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Rakyat pun sangat dirugikan karena Kartosuwirjo dan anggotanya melakukan teror, pembunuhan, pengrusakan, dan pengambilan harta kekayaan masyarakat secara paksa.
Usaha penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang cukup lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi Siliwangi mulai melancarkan operasi secara terstruktur dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam operasi “Pagar Betis”, pada saat tahun 1962 gerombolan DI/TII akhirnya bisa dihancurkan. Kartosuwirjo dapat ditangkap di Gunung Geber, ia kemudian di hukum mati.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ternyata memperoleh dukungan dari daerah lain, seperti Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Sementara itu, pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dikobarkan oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan Letnan Dua TNI.
Ibnu Hadjar memberontak dan menyatakan gerakannnya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Di Sulawesi Selatan, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada mulanya, Kahar Muzakar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang selama Perang Kemerdekaan ikut berjuang di Pulau Jawa. Setelah Proklamasi, Kahar Muzakar berpulang ke Sulawesi Selatan. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan. Lantas kemudian, Kahar Muzakar mengirim surat untuk pemerintah dan pimpinan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Ia meminta agar semua anggota lascar-laskarnya dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Permohonan itu ditolak karena hanya mereka yang lulus dalam penyaringan saja yang boleh diterima dalam APRIS. Dari sinilah mulainya kekecewaan Kahar yang berujung pada pemberontakan.
Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Inedonesia di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan mulai melancarkan operasi militer. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu yang lumayan lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyerbuan.
Dan petualangan DI/TII pun menyentuh daerah “Serambi Mekkah” alias Aceh. Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang mengatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Setelah itu, Tengku Daud Beureueh mengadakan gerakan dan mempengaruhi masyarkat melalui propaganda bernada negatif terhadap pemerintah RI.
Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang memiliki persenjataan lengkap. Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Banyak dari gerombolan itu yang kembal ke panguan RI. Parkarsa penyelesaian di Aceh tersebut dipimpin oleh Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Nah, dari sepak terjang DI/TII yang pemberontakannya berlangsung lama serta cakupannya yang luas, bukannya tidak mungkin bibit-bibit ini masih tumbuh. Sebab, keinginan mendirikan negara berdasarkan agama belumlah dapat dikatakan hilang. Sebaliknya, akhir-akhir ini semakin menguat lagi. Jadi alih-alih mewaspadai PKI yang sudah bangkrut, justru yang mesti dikhawatirkan adalah bangkitnya kembali Neo DI/TII.
0 komentar:
Posting Komentar