Senin, 30/01/2017 21:30 WIB | Oleh: Eli Kamilah
Sumarsih, ibu mahasiswa Universitas Atma Jaya Bernardus Realino Norma Wirawan atau Wawan yang tewas saat tragedi Semanggi 1, mencium foto anaknya usia melakukan tabur bunga pada peringatan 17 Tahun Tragedi Semanggi 1 di Jakarta, Jumat (13/11). (Foto: Antara)
KBR, Jakarta- Ibu korban Peristiwa Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih menilai kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 masih bisa dibawa ke mekanisme penyelesaian yudicial. Pemerintah, kata dia jangan berpangku tangan hanya karena kasus itu mandeg di Kejaksaan Agung.
Kata Ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I, penyelesaian melalui nonyudisial sebagai mengada-ngada. Sumarsih mengatakan, Indonesia adalah negara hukum, dan sesuai UU No. 26 Tahun 2000, pengadilan HAM wajib diterapkan.
"Indonesia bukan negara hukum dong. Untuk apa membuat UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, jika itu tidak diterapkan untuk menyelesaikan kasus? (Masih mampu tidak diselesaikan kasus pelanggaran HAM berat ke yudicial?) Masih mampu diselesaikan. Masih mampu, itu hanya alasan wairanto dan jaksa agung," ujarnya kepada KBR, Senin (30/1/2017).
"UU pengadilan HAM itu diperkuat dengan keputusan MK tahun 2007 dan 2008. Tahun 2007 disebutkan, terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas Ham sebagai penyelidik, dan Kejaksaan sebagai penyidik. Tahun 2008 disebutkan untuk menyelesaikan pelanggaran Ham berat secara yusidial tidak masalah dengan konstitusi. Jadi masih kurang apa lagi? Tanyanya heran.
Sumarsih menambahkan banyak bukti yang bisa dihadirkan di pengadilan terkait kasus pelanggaran HAM 1998-1999. Salah satunya kesaksian bekas Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Kivlan Zein
"Karena pernyataan belum lama ini pada saat kampanye capres dan Cawapres Kivlan tahu yang diculik dan dibunuh di mana. Dia mengatakan mendapatkan tugas dari Wiranto untuk membuat demo tandingan mahasiswa yang menolak sidang. Demo tandingan itu untuk mendukung sidang istimewa MPR dengan mengerahkan Pam Swakarsa yang dipersenjatai bambu runcing, itu pada 1998," ungkapnya.
"Indonesia bukan negara hukum dong. Untuk apa membuat UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, jika itu tidak diterapkan untuk menyelesaikan kasus? (Masih mampu tidak diselesaikan kasus pelanggaran HAM berat ke yudicial?) Masih mampu diselesaikan. Masih mampu, itu hanya alasan wairanto dan jaksa agung," ujarnya kepada KBR, Senin (30/1/2017).
"UU pengadilan HAM itu diperkuat dengan keputusan MK tahun 2007 dan 2008. Tahun 2007 disebutkan, terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas Ham sebagai penyelidik, dan Kejaksaan sebagai penyidik. Tahun 2008 disebutkan untuk menyelesaikan pelanggaran Ham berat secara yusidial tidak masalah dengan konstitusi. Jadi masih kurang apa lagi? Tanyanya heran.
Sumarsih menambahkan banyak bukti yang bisa dihadirkan di pengadilan terkait kasus pelanggaran HAM 1998-1999. Salah satunya kesaksian bekas Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Kivlan Zein
"Karena pernyataan belum lama ini pada saat kampanye capres dan Cawapres Kivlan tahu yang diculik dan dibunuh di mana. Dia mengatakan mendapatkan tugas dari Wiranto untuk membuat demo tandingan mahasiswa yang menolak sidang. Demo tandingan itu untuk mendukung sidang istimewa MPR dengan mengerahkan Pam Swakarsa yang dipersenjatai bambu runcing, itu pada 1998," ungkapnya.
Dia pun tetap penyelesaian melalui nonyudisial termasuk menolak kehadiran Dewan kerukunan Nasional (DKI) yang digembar-gemborkan Wiranto.
"Kami sudah bersepakat dengan berbagai pihak untuk menolak DKN yang diusung Wiranto. Karena hanya untuk cuci tangan Wiranto yang bertanggungjawab terhadap tragedi 1998-1999," ujar perempuan 65 tahun tersebut.
Sumarsih bersama keluarga korban lainnya masih percaya dan yakin, presiden Joko Widodo ingat dengan nawacitanya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sumarsih beranggapan kepercayaan, dan keputusasaan keluarga korban hanya dimanfaatkan bekas Gubernur DKI itu untuk melanggeng menjadi RI 1.
"Saya kecewa iya. Karena pada saat kampanye ada hitam diatas putih, dicatat di dalam visi misi nawacita. Kami berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran Ham masa lalu. Tapi ya, saat saya merasa kecewa pesimis, saya kira Jokowi hanya memanfaatkan keluarga korban hanya untuk jadi presiden," keluhnya.
Editor: Rony Sitanggang
"Kami sudah bersepakat dengan berbagai pihak untuk menolak DKN yang diusung Wiranto. Karena hanya untuk cuci tangan Wiranto yang bertanggungjawab terhadap tragedi 1998-1999," ujar perempuan 65 tahun tersebut.
Sumarsih bersama keluarga korban lainnya masih percaya dan yakin, presiden Joko Widodo ingat dengan nawacitanya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sumarsih beranggapan kepercayaan, dan keputusasaan keluarga korban hanya dimanfaatkan bekas Gubernur DKI itu untuk melanggeng menjadi RI 1.
"Saya kecewa iya. Karena pada saat kampanye ada hitam diatas putih, dicatat di dalam visi misi nawacita. Kami berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran Ham masa lalu. Tapi ya, saat saya merasa kecewa pesimis, saya kira Jokowi hanya memanfaatkan keluarga korban hanya untuk jadi presiden," keluhnya.
Editor: Rony Sitanggang
http://kbr.id/berita/01-2017/keluarga_korban_pelanggaran_ham_semanggi_1_tolak_penyelesaian_nonyudisial/88432.html
0 komentar:
Posting Komentar