Sabtu, 21/01/2017 14:00 WIB | Oleh Rio Tuasikal, Bambang Hari
illustrasi: Sumber Komnas HAM
KBR, Jakarta- Jaksa Agung M Prasetyo mendukung enam kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan secara nonyudisial lewat Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Prasetyo berdalih, lembaganya kesulitan mencari bukti-bukti untuk meningkatkan status kasus itu ke penyidikan.
Dia beralasan kasus-kasus itu sudah lama terjadi.
“Kita harus pakai cara objektif dan jernih ya, bahwa hampir semua perkara pelanggaran HAM berat masa lalu itu kan sudah sekian lama terjadi,” terangnya kepada wartawan, Jumat (20/2/2017).
“Sehingga siapapun yang melakukan penyelidikan, yang hasil penyelidikannya itu nantinya jadi bahan untuk ke tingkat penyidikan, itu akan mengalami kesulitan. Bayangkan untuk perkara 65-66. Sekarang, untuk bisa ke persidangan tentunya harus cukup fakta dan bukti-buktinya,” ucapnya lagi.
Prasetyo menyatakan, upaya yudisial juga dihambat oleh belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Kata dia, jika penyidikan dilakukan, proses penyitaan dan penggeledahan memerlukan izin pengadilan.
“Ini masalah struktural yang dihadapi,” tukasnya.
Dia menyatakan, hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus HAM ini belum lengkap. Selama ini berkas seluruh kasus selalu dikembalikan ke Komnas HAM. Kasus-kasus ini adalah Trisakti, Semanggi I dan II, Mei 1998, Talangsari, Penghilangan Paksa, Penembakan Misterius, dan tragedi 1965.
“Dari penelitian jaksa-jaksa, berkas-berkas itu belum memenuhi syarat,” terangnya.
DKN dicetuskan oleh Menkopolhukam Wiranto awal Januari ini. Sampai saat ini belum jelas bagaimana format dan mandat lembaga itu. Namun Wiranto menyatakan lembaga itu akan menyelesaikan kasus secara non-yudisial.
“Kita harus pakai cara objektif dan jernih ya, bahwa hampir semua perkara pelanggaran HAM berat masa lalu itu kan sudah sekian lama terjadi,” terangnya kepada wartawan, Jumat (20/2/2017).
“Sehingga siapapun yang melakukan penyelidikan, yang hasil penyelidikannya itu nantinya jadi bahan untuk ke tingkat penyidikan, itu akan mengalami kesulitan. Bayangkan untuk perkara 65-66. Sekarang, untuk bisa ke persidangan tentunya harus cukup fakta dan bukti-buktinya,” ucapnya lagi.
Prasetyo menyatakan, upaya yudisial juga dihambat oleh belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Kata dia, jika penyidikan dilakukan, proses penyitaan dan penggeledahan memerlukan izin pengadilan.
“Ini masalah struktural yang dihadapi,” tukasnya.
Dia menyatakan, hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus HAM ini belum lengkap. Selama ini berkas seluruh kasus selalu dikembalikan ke Komnas HAM. Kasus-kasus ini adalah Trisakti, Semanggi I dan II, Mei 1998, Talangsari, Penghilangan Paksa, Penembakan Misterius, dan tragedi 1965.
“Dari penelitian jaksa-jaksa, berkas-berkas itu belum memenuhi syarat,” terangnya.
DKN dicetuskan oleh Menkopolhukam Wiranto awal Januari ini. Sampai saat ini belum jelas bagaimana format dan mandat lembaga itu. Namun Wiranto menyatakan lembaga itu akan menyelesaikan kasus secara non-yudisial.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersikukuh mendorong Kejaksaan Agung untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur pengadilan. Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswida mengklaim, saat ini lembaganya bersama Kejaksaan Agung masih mendalami kasus-kasus tersebut.
Selain itu ia juga mengakui, pihaknya dan Kejaksaan Agung membutuhkan waktu yang lama untuk mendalami beberapa kasus tersebut. Alasannya peristiwanya terjadi dalam rentang waktu yang berbeda.
"Untuk yang enam kasus, Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung sudah melihat satu per satu kasusnya. Enam kasus itu memang menjadi upaya bersama Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Yang kami cermati enam itu kami lihat memiliki rentang waktu yang berbeda-beda, sehingga butuh waktu untuk memutuskannya," kata dia kepada KBR, Kamis (19/01).
Selain itu ia menambahkan, yang menjadi kendala lain adalah adanya pandangan yang berbeda mengenai kasus-kasus itu. Salah satunya adalah perihal dibentuknya pengadilan HAM ad-hoc.
Perkara yang menjadi prioritas penyelesaian di antaranya tragedi pembantaian massal 1965/1966, peristiwa Trisakti dan Semanggi I 1998 serta II 1999, kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa periode 1997/1998, peristiwa Talangsari Lampung, penembakan misterius 1982-1985, serta peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003.
Selain itu ia juga mengakui, pihaknya dan Kejaksaan Agung membutuhkan waktu yang lama untuk mendalami beberapa kasus tersebut. Alasannya peristiwanya terjadi dalam rentang waktu yang berbeda.
"Untuk yang enam kasus, Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung sudah melihat satu per satu kasusnya. Enam kasus itu memang menjadi upaya bersama Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Yang kami cermati enam itu kami lihat memiliki rentang waktu yang berbeda-beda, sehingga butuh waktu untuk memutuskannya," kata dia kepada KBR, Kamis (19/01).
Selain itu ia menambahkan, yang menjadi kendala lain adalah adanya pandangan yang berbeda mengenai kasus-kasus itu. Salah satunya adalah perihal dibentuknya pengadilan HAM ad-hoc.
Perkara yang menjadi prioritas penyelesaian di antaranya tragedi pembantaian massal 1965/1966, peristiwa Trisakti dan Semanggi I 1998 serta II 1999, kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa periode 1997/1998, peristiwa Talangsari Lampung, penembakan misterius 1982-1985, serta peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003.
Editor: Rony Sitanggang
http://kbr.id/berita/01-2017/penuntasan_kasus_ham__dalih_sulit_bukti_jakgung_dorong_penyelesaian_di_dkn/88278.html
0 komentar:
Posting Komentar