Catatan : Tulisan di bawah ini merupakan analisis operasi intelijen dalam perubahan rezim dengan studi kasus di Iran pada tahun 1953 dan di Indonesia pada tahun 1965. Tulisan ditulis oleh Apriza Megawati, Nobel Hiroyama, Stanislaus Riyanta, dan Wira Anoraga.
Pendahuluan
Perang dingin adalah suatu ketegangan yang muncul karena konflik kepentingan dan perebutan supremasi dan perbedaan ideologi antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika serikat dan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Blok Barat yaitu Amerika Serikat sebagai pemimpin sekutu (Inggris, Perancis dan AS) yang memenangkan perang dunia II. Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet yang mempunyai peranan besar membebaskan Eropa Timur dari Jerman.
Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai pemenang Perang Dunia II memiliki paham/ ideologi yang berbeda dengan Uni Soviet. Amerika Serikat memiliki ideologi liberal-kapitalis sedangkan Uni Soviet berideologi komunis. Paham Liberal-Kapitalis (AS) yang mengagungkan kebebasan individu yang memungkinkan kapitalisme berkembang dengan subur bertentangan dengan paham Sosialis-Komunis (US) yang berkeyakinan bahwa paham itu dapat lebih mempercepat kesejahteraan buruh maupun rakyatnya karena negara-negara yang mengendalikan perusahaan akan memanfaatkan keuntungannya untuk rakyat.
Selain perbedaan paham ideologi, Amarika Serikat dan Uni Soviet mempunyai keinginan untuk menjadi penguasa. Kedua pemimpin blok tersebut menanamkan pengaruhnya dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan bantuan berupa pinjaman modal ke negara berkembang yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan bantuan senjata atau tenaga ahli kepada negara miskin yang dilakukan oleh Uni Soviet.
Dampak perang dingin membawa konsekuensi perubahan, salah satunya adalah perubahan rezim yang timbul karena kepentingan perang dingin. Perubahan rezim akibat dari perang dingin ini biasanya dilakukan dengan operasi intelijen (covert operation). Salah satu perubahan rezim yang terjadi dengan campur tangan intelijen adalah perubahan rezim di Iran pada tahun 1953. Perubahan rezim di Iran tersebut ternyata didominasi oleh kepentingan Inggris terhadap bisnis minyak.
Perubahan rezim juga terjadi di Indonesia. Antara tahun 1964-1966 diduga terjadi covert operation untuk melakukan perubahan rezim di Indonesia. Turunnya Soekarno yang dipicu oleh peristiwa G 30 S/PKI menjadi titik perubahan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa perubahan rezim ini paralel dengan gerakan konfrontasi dengan Malaysia.
Indonesia yang mengirimkan pasukan untuk melakukan penenkanan terhadap Malaysia yang didukung oleh pasukan Inggris di Borneo. Setelah Soekarno turun dari Presiden Indonesia dan haluas Indoensia berubah menjadi pro barat maka pasukan Indonesia di pedalaman Borneo ditarik karena Indonesia-Malaysia memasuki era perdamaian. Selain itu secara bersamaan memang ada operasi intelijen yang mengupayakan perdamaian antara Indonesia-Malaysia.
Perang dingin dan perubahan rezim tidak bisa lepas dari kegiatan dan operasi intelijen.
Perubahan rezim di Iran: Kudeta tahun 1953
Perjalanan sejarah Iran modern terbentuk mulai dari rezim Dinasti Qajar. Dinasti Qajar menguasai Iran sejak tahun 1779 sampai tahun 1925.[1] Memasuki Abad ke-20, tepatnya tahun 1921, pasca Perang Dunia pertama, terjadi kudeta yang dilakukan oleh Reza Khan untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan Qajar. Pada tahun 1925 Reza Khan menjadi penguasa dan mengganti namanya menjadi Reza Shah Pahlevi, serta mendirikan Dinasti Pahlevi.
Pada akhir Perang Dunia II, Inggris dan Rusia melakukan intervensi terhadap pemerintahan Iran dan memaksakan pergantian Shah dengan mengangkat putranya Muhammad Reza Pahlevi pada tahun 1941, yang menjadi boneka penguasa di Iran. Amerika Serikat turut serta memberikan pengaruh ke Iran bahkan mampu menggeser pengaruh Inggris dan Rusia. Alasan utama AS adalah karena mereka tidak mau Iran sampai terpengaruh komunisme.
Pada 29 April 1951, Mohammad Mossadeq terpilih menjadi Perdana Menteri Iran. Ia adalah seorang pengacara dan pemiliki tanah yang kaya dan telah menjadi sosok penting dalam panggung politik Iran sejak awal 1900an.
Mosaddeq adalah seorang liberal demokrat dan seorang nasionalis fanatik. Pada akhir 1940-an, ia memiliki dua isu utama yang ingin direalisasikan, yaitu keinginan untuk mengalihkan kekuasaan politik dari istana ke parlemen (Majlis), dan keinginan untuk meningkatkan kendali Iran atas industri minyak, yang dikendalikan oleh Anglo-Iranian Oil Company milik Inggris (AIOC).
Pada akhir 1940-an, dua isu tersebut menjadi semakin menonjol dalam politik Iran. Selain itu, mereka telah menjadi saling terkait erat pada saat ini: Inggris telah menjadi sangat kuat di Iran, terutama karena kontrol mereka atas industri minyak, dan mereka menggunakan kekuatan mereka sebagian untuk membantu Shah. Shah sendiri secara luas dipandang sebagai boneka Inggris dan menolak untuk melakukan negosiasi ulang atau menasionalisasi konsesi AIOC.
Ketika sebuah kesepakatan minyak baru yang menguntungkan bagi AIOC diumumkan dan ketika Shah kemudian mencoba untuk mencurangi pemilu Majlis ke 16. Tindakan ini membuat marah kubu oposisi. Demonstrasi besar terjadi dan sebuah organisasi yang dikenal sebagai Front Nasional dibentuk untuk mengkoordinasikan oposisi terhadap Shah dan Inggris. Mosaddeq segera muncul sebagai pemimpin de facto-nya.
Pada tahun 1950, Front Nasional memimpin demonstrasi yang sering terjadi melawan Shah dan Inggris. Mereka juga berhasil memilih delapan calon Majlis ke-16, termasuk Mosaddeq. Setelah di Majlis, deputi Front Nasional terus menekan untuk pengurangan kekuasaan Shah dan, setelah Juni 1950, nasionalisasi industri minyak. Pada bulan Maret 1951, Mosaddeq mengajukan RUU menyerukan nasionalisasi industri minyak ke Majlis. RUU ini dengan cepat diterima, dan Mosaddeq segera diangkat sebagai perdana menteri. Dan pada 1 Mei 1951 setelah menjabat, Mossadeq langsung mengesahkan RUU tersebut menjadi UU.
Undang-undang Nasionalisasi ini dengan cepat membawa Mossadeq kepada konflik langsung dengan Inggris, yang memiliki 50% saham AIOC. Inggris tidak siap untuk menerima nasionalisasi langsung. Dalam beberapa bulan berikutnya, Inggris menerapkan strategi dari tiga jalur yang dirancang untuk membangun kembali kontrol mereka atas minyak Iran baik dengan menekan Mosaddeq ke dalam penyelesaian sengketa yang menguntungkan atau dengan mencopot Mossadeq dari jabatannya. Dari sinilah muncul kudeta terhadap Mossadeq.
Komponen pertama dari strategi ini terdiri dari serangkaian manuver hukum. Mahkamah Internasional diminta untuk menengahi sengketa minyak. Sebuah tim perunding dikirim ke Teheran dengan proposal yang mengakui prinsip nasionalisasi tetapi menyerukan AIOC untuk memasarkan minyak Iran dengan pembagian keuntungan 50-50. Namun proposal ini ditolak oleh Mosaddeq di Juni 1951. Negosiasi kembali dilaksanakan pada bulan Agustus lewat proposal dari Richard Stokes, yang sedikit berbeda dengan proposal Inggris, namun lagi-lagi ditolak oleh Mossadeq.
Komponen kedua dari strategi Inggris adalah untuk melemahkan Mosaddeq dengan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Iran dan melakukan manuver militer di kawasan itu. The AIOC memulai perlambatan produksi pada bulan Mei dan mencegah kapal tanker dari pemuatan minyak di Abadan. Pada akhir Juli, langkah-langkah ini telah berkembang menjadi blokade penuh, yang diikuti oleh perusahaan-perusahaan minyak besar lainnya.
Dengan gagalnya proposal Stokes, AIOC pun mengumumkan bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum bagi siapapun yang membeli minyak Iran. Inggris juga meminta sekutunya di Eropa untuk mencegah warganya bekerja di NIOC bentukan Iran. Inggris juga memberlakukan embargo terhadap Iran.
Komponen ketiga adalah Inggris mencoba untuk menggulingkan Mossadeq dari jabatannya. Cara ini dicapai terutama melalui aksi politik rahasia, yang dibantu oleh jaringan politisi pro-Inggris, pengusaha, perwira militer, dan tokoh agama. Figur utama dalam jaringan ini adalah Rashidian bersaudara, yang telah menjadi agen utama Inggris di Iran sejak awal 1940-an.
Elemen penting lainnya dalam jaringan Inggris adalah sekelompok politisi terkemuka yang pro-Inggris. Mereka termasuk Sayyid Zia Tabataba’i, yang mana Inggris berusaha untuk menjadikannya sebagai perdana menteri, dan Jamal Emami, yang memimpin faksi pro-Inggris di Majlis. Inggris bahkan telah menekan Shah untuk menjadikan Sayyid Zia sebagai perdana mentri jauh sebelum Mossadeq berkuasa. Shah tampak setuju dan dilaporkan telah mendiskusikannya dengan Zia ketika majlis menunjuk Mossadeq. Bahkan usaha ini berlanjut setelah Mossadeq menjabat. Pada Juni 1951, Winston Churchill dan Anthony Eden, pimpinan Partai Konservatif di Inggris menyarankan kepada Kantor Luar Negeri bahwa pendekatan Anglo-Amerika harus dilakukan kepada Shah untuk menggulingkan Mosaddeq. Ini berarti, dalam kata-kata mereka, melakukan “kudeta”. Rencana operasi rahasia telah ditetapkan dan dikembangkan, dan penggulingan Mossadeq menjadi tujuan nomor satu.
MI6 terlibat langsung dalam merencanakan kudeta tersebut, dan dengan dukungan yang jelas dari Amerika Serikat (CIA). Dalam kudeta terhadap Mossadeq Inggris mengandalkan Rashidian bersaudara, begitu pula dengan AS yang mengandalkan BEDAMN. Para pejabat AS merencanakan dan mengarahkan kudeta, dan juga membiayai kudeta dengan dana setidaknya $ 60.000. Jendral Zahedi, sang pemimpin kudeta, bersembunyi di sebuah safehouse CIA sampai kudeta itu hampir selesai.
Shah sendiri tidak berkonsultasi tentang keputusan untuk melakukan kudeta, cara eksekusi kudeta, atau pun tentang calon yang dipilih untuk menggantikan Mosaddeq; dia juga cukup enggan untuk mendukung kudeta dan melarikan diri dari negara itu saat operasi pertama mengalami kegagalan. Selain itu, tindakan anti-Mosaddeq yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui BEDAMN setahun sebelum kudeta telah memainkan peran kunci dalam mempersiapkan dasar untuk itu dengan merusak dasar dukungan terhadap Mosaddeq.
Berdasarkan Dokumen-dokumen dari NSA, menunjukkan bagaimana CIA mempersiapkan kudeta dengan menempatkan cerita anti-Mossadeq baik di media di Iran dan AS. Kudeta memperkuat pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlevi – yang baru saja melarikan diri dari Iran menyusul perebutan kekuasaan dengan Mossadeq dan kembali setelah kudeta, menjadi sekutu dekat AS. AS dan badan intelijen Inggris didukung pasukan pro-Shah dan membantu mengatur protes anti-Mossadeq. Menurut Donald Wilber tentara segera bergabung dengan gerakan pro-Shah dan siang hari itu sudah jelas bahwa Tehran, serta wilayah provinsi tertentu, dikendalikan oleh kelompok-kelompok pro-Shah dan unit Angkatan Darat.[2]
Analisis
Dalam memahami faktor dan dampak coup d’etat tahun 1953 dapat dijelaskan dengan menjawab tiga pertanyaan dasar (1) Mengapa Amerika Serikat terlibat dalam penggulingan rezim (2) Apa peran Britain dan peran berbagai macam oknum-oknum Iran yang bermain (3) Seberapa penting peran Amerika dalam menggulingkan rezim Mosaddeg. Dalam memahami Rezim Mohammad Mosaddeeq terdapat dua arus pemikiran utama dalam kepemimpinannya[3] yakni :
- Keinginan untuk merubah sistem politik dari sistem Royal Court menjadi sistem parlementer.
- Keinginan untuk meningkatkan penguasaan negara atas industri perminyakan, yang dikontrol oleh Perusahaan Minyak Anglo-Iranian (AIOC) yang dimiliki perusahaan Britain.
Mosaddeq yang saat itu adalah seorang pengacara, bangsawan sekaligus tokoh politik di Iran memiliki pemikiran dan pandangan yang mempengaruhi dinamika perpolitikan Iran. Pada akhir tahun 1940, signifikansi pengaruh dua arus pemikiran utama ini berubah menjadi isu utama yang mewarnai perpolitikan di Iran. Selama kepemimpinan PM. Shah Pahlevi, dia dicitrakan sebagai pemimpin Boneka Britain. Selama masa pemerintahan Shah, Britain menjadi negara yang memiliki pengaruh kuat di Iran dikarenakan peran perusahaan Britain dalam memonopoli industri perminyakan dalam negeri.. Shah Pahlevi menolak melakukan negosiasi ulang atau melakukan nasionalisasi konsesi AIOC. Pada tahun 1949, dua arus pemikiran utama ini mengalami puncaknya. Rakyat Iran yang tergabung dalam Fron Nasional menolak keputusan Shah Pahlevi untuk tidak melakukan nasionalisasi industry minyak. Fron Nasional merupakan organisi oposisi utama yang terdiri dari sebagaian besar rakyat yang tidak memiliki afiliasi dan secara khusus mayoritas terdiri dari masyarakat kelas menengah. Pada taun 1950 pecahlah demonstrasi melawan Shah dan Britain. Demonstrasi tersebut berhasil menurunkan Shah dan mengangkat Mosaddeq menjadi Perdana Menteri baru. Mossaddeq segera mengeluarkan kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak. Kebijakan tersebut menimbulkan konflik terbuka antara Mosaddeq dengan pemerintahan Britain.
Pemerintah Britain melakukan tiga langkah strategi dalam mengambil kembali kontrol atas monopoli perminyakan di Iran dan sekaligus untuk menjatuhkan Mosaddeq. Ketiga strategi tersebut adalah jalur (1) hukum international court of justice (2) embargo ekonomi (3) menjatuhkan mosaddeq dari kursi perdana menteri. Melalui serangkaian operasi tertutup intelijen akhirnya Britain berhasil menjalankan misinya dan membuat Mosaddeq mengundurkan diri sebagai perdana menteri.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam coup d’etat memainkan peran yang tidak langsung. Pada awal tahun 1951 AS dibawah presiden Truman menyatakan bahwa pemerintahan Truman menghimbau kedua belah pihak yakni Iran dan Britain untuk melakukan negosiasi. AS menyatakan mendukung stabilitas di Iran demi menjaga kestabilan pasar minyak dunia. Bahkan Amerika dengan tegas menyatakan bahwa AS tidak memiliki niatan menantang kedaulatan Iran dan menyatakan akan mendukung kemerdekaan Iran. AS lebih tertarik menjalankan program yang dapat melemahkan pengaruh Soviet di kawasan. Konsentrasi AS dalam operasi intelijen di Iran disebabkan oleh adanya informasi intelijen mengenai (1) jaringan yang terorganisir suku-suku lokal yang berafiliasi dengan Uni Soviet (2) spionase yang dilakukan kepada Uni soviet melalui Azerbaijan, Armenia, dan kelompok kelompok etnis yang berada di perbatasan (3) Aktivitas Uni Soviet diperbatasan diawasi melalui operasi spionase dan kontra spionase. Dan pada tahun 1948 operasi intelijen AS melawan Soviet dan Partai Tudeh berhaluan komunis telah mempengaruhi Iran.
Faktor pendorong Britain membantu coup d’etat rezim Mosaddeq dikarenakan motif ekonomi yaitu monopoli minyak Iran melalui perusahaan AIOC. Hal ini dikarenakan kebijakan Mosaddeq melakukan nasionalisasi minyak menyebabkan Britain mengalami kerugian yang cukup besar.
Faktor pendorong AS membantu coup d’etat rezim Mosaddeq dikarenakan motif ideologi yaitu mengurangi pengaruh Uni Soviet di kawasan Timur Tengah karena Mossadegh disinyalir dekat dengan Uni Soviet. AS dibawah pemerintahan Truman tidak memiliki niatan ekonomi kepada Iran, hal in lebih dikarenakan AS ingin membendung Iran dari pengaruh Uni Soviet.
Dampak dari jatuhnya Rezim Mosaddeq mengakibatkan Iran kembali ke kepemimpinan Shah. Iran menjadi negara yang pro-barat, menjadi sekutu dekat Amerika Serikat dan Israel dikawasan.
Perubahan Rezim di Indonesia Tahun 1965
Strategi Inggris dan Malaysia selama tahun 1963-1966 ingin berkonfrontasi dengan Indonesia. Ketika Indonesia berusaha membubarkan Malaysia dengan mendukung pemberontakan di Kalimantan, London dan Kuala Lumpur menahan diri dalam pengambilan tindakan ofensif.[4] Konfrontasi ini bermula dalam proses dekolonisasi Inggris di Asia Tenggara. Konfrontasi itu dilatarbelakangi oleh keputusan Inggris yang pada pasca Perang Dunia II tetap ingin mempertahankan kekuasaan di wilayah Asia Tenggara padahal ia dihadapkan pada kewajiban internasional untuk melaksanakan program dekolonisasi global terhadap semua daerah jajahan.[5]
Pada tahun 1961, Perdana Menteri Inggris, Harold Macmillan dan rekan Malayanya, Tunku Abdul Rahman membuat kesepakatan bahwa koloni Inggris yang mencakup Sarawak, Sabah, Borneo Utara, Brunei dengan Malaya tergabung dalam Federasi Malaysia.[6] Keinginan Federal Malaysia yang lebih dikenal sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 nyatanya tidak sesuai dengan persetujuan Manila. Oleh karena itu, keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang mengganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru, serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia. Pembentukan Federasi Malaysia akan membuat posisi Indonesia terjepit beberapa kekuatan neo-imperialis. Di sebelah utara terdapat bekas jajahan Inggris yaitu Malaya sampai Kalimantan Utara; di Selatan ada Australia dan Selandia Baru.
Indonesia sangat menentang hal ini dan mencari upaya mencegah pembentukan Malaysia dengan melakukan gerakan konfrontasi terhadap Malaya. Konfrontasi militer dengan Malaya pun sebagai peningkatan revolusi anti-barat. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain dengan menggunakan tekanan diplomatik dan propaganda guna membujuk Inggris dan Malaya dari keterbentukan Malaysia.
Pada tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Dasar konfrontasi tersebut dilihat dari segi ekonomi dan kemasyarakatan. Selain itu, Presiden Soekarno mengobarkan semangat perlawanan terhadap Inggris untuk mengganyang Malaysia dengan melakukan serangan gerilya oleh sukarelawan Indonesia ke Serawak dan Borneo Utara dari Kalimantan sebagai bentuk perlawanan serta menyebarkan propaganda.
Konfrontasi dari Indonesia dalam pembentukan Malaysia menimbulkan tantangan serius. Salah satu jalan yang dipilih oleh mereka adalah dengan menyerang balik Indonesia dengan bantuan CIA dan menggulingkan Presiden Soekarno. Upaya penggulingan Soekarno pun didasari atas ancaman terhadap stabilitas regional Asia Tenggara.
Ketika meletusnya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia melawan Inggris, perang gerilya pun membara di seluruh kawasan Kalimantan Utara. Namun, politik konfrontasi terhadap Inggris dengan aksi pengganyangan terhadap Malaysia tersebut mendadak terhenti. Di dalam negeri Indonesia terjadi gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan G-30S/PKI. Aksi dari Comitte Central (CC) PKI ini berhasil diatasi oleh komponen-komponen Angkatan Darat yang dipimpin oleh Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) Mayor Jendral Soeharto, yang berdampak pada terjadinya perubahan drastis pada kekuasaan politik di negara Republik Indonesia.[7]
Dengan adanya peristiwa G-30S/PKI yang telah menewaskan Jenderal-jenderal di Indonesia, muncul lah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan pada saat itu yang sangat buruk.[8] Supersemar merupakan titik tonggak transisi kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto sekaligus penanda berakhirnya sebuah era.
Pemerintahan Soekarno akhirnya digantikan dengan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Era Orde Baru menganggap bahwa komunis merupakan bahaya laten, sehingga segala bentuk komunis termasuk PKI harus dihilangkan. Selain menghilangkan komunis, Orde Baru juga mengubah kebijakan mengenai penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk bekerjasama dengan Malaysia untuk menghentikan konfrontasi tersebut. Selain membubarkan Tentara Nasional Kalimantan Utara dan memerangi Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, Soeharto juga mengirim Menteri Luar Negeri, Adam Malik untuk menjalin hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia sekaligus mengakhiri konfrontasi.
Analisis
Pada tahun 1963-1966 Malaysia dan Britain secara tertutup membantu gerakan pemberontak di Indonesia dalam usaha memperlemah dan mengurangi upaya konfrontasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Malaysia[9]. Operasi tertutup yang dilakukan oleh Britain ini disebabkan kebijakan Presiden Soekarno dalam menolak pembentukan Negara Federasi Malaysia oleh Britain.
Pembentukan Negara federasi Malaysia merupakan upaya Britain dalam mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara paska Britain diwajibkan melakukan kebijakan dekolonisasi semua negara-negara jajahannya. Dalam merespon konfrontasi yang dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno, Britain dan Malaysia memanfaatkan dua titik kelemahan Indonesia pada saat itu yakni ketidakstabilan perekonomian dan kesenjangan atas dominasi jawa atas pulau-pulau lainya yang menciptakan potensi perpecahan.
Motif utama Britain dalam melakukan operasi tertutup ini adalah adanya ancaman dan gangguan atas kepentingan Geopolitik Britain di kawasan Asia Tenggara. Wakil tetap Britain di PBB mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa pihaknya telah diberikan wewenang oleh pemerintah Britain untuk menumbangkan pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno.
Britain memiliki kepentingan geopolitik dikawasan yakni melakukan upaya neo-kolonialisme terhadap jajahannya di Malaysia, Serawak, Borneo Utara dan Singapura dengan cara menggabungkan negara-negara tersebut dan membentuk Negara Federasi Malaysia. Indonesia merupakan faktor penghambat dalam upaya pencapaian geopolitik Britain di kawasan. Dampak yang terjadi setelah operasi Britain ini adalah terpecahnya fokus Indonesia dalam melakukan konfrontasi Malaysia dikarenakan adanya ketidakstabilan dalam negeri.
Kejatuhan pemerintahan Soekarno merupakan salah satu dampak yang terjadi akibat peran Britain dalam melakukan operasi tertutup ini. Faktor yang mendorong Britain dalam melakukan operasi intelijen tersebut adalah adanya ancaman dari Indonesia yang menggangu kepentingan Geopolitik Britain di kawasan Asia Tenggara dengan pembentukan Negara Federasi Malaysia. Dampak yang diharapkan oleh Britain dari operasi ini adalah (1) Melemahkan usaha Indonesia dalam melakukan konfrontasi Malaysia (2) Menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno (3) Membendung potensi tumbuhnya komunisme di Indonesia.
Tinjauan Geostrategi dan Geopolitik AS dan Britain di Iran dan Indonesia
Geopolitik dan geostrategi merupakan sebuah terminologi yang secara sederhana dapat disimpulkan merupakan keterkaitan faktor geografi dengan politik dan kebijakan luar negeri suatu negara terhadap satu kawasan tertentu. Dalam geopolitik terdapat beberapa diskursus yakni (1) Geopolitik imperialisme (2) Geopolitik perang dingin (3) Geopolitik tata dunia baru (4) Geopolitik lingkungan. Dalam keterlibatan Intelijen Amerika (CIA) dan Inggris (MI6) di Iran dan Indonesia pada masa perang dingin menunjukkan adanya geopolitik perang dingin yang melatarbelakangi. Geopolitik negara-negara didunia pada masa perang dingin dapat dikatakan sangat sederhana yakni dua kegiatan memperluas pengaruh ideologi atau membendung pengaruh ideologi lawan.
Apa yang dilakukan oleh CIA di Iran merupakan bentuk pemanfaatan intelijen (Use of The Intelligence) dalam mencapai geopolitik Amerika yakni melemahkan potensi berkembangnya komunisme di kawasan Timur Tengah melalui Iran. Dan apa yang dilakukan oleh Britain di Indonesia merupakan bentuk pemanfaatan intelijen dalam mencapai geopolitik Britain yakni upaya melakukan post-kolonialisme terhadap kawasan Asia Tenggara melalui Malaysia. Operasi Intelijen dimaksudkan untuk melemahkan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia sekaligus mendukung upaya penjatuhan presiden Soekarno yang pada waktu itu merupakan penghalang bagi post-kolonialisme yang dilakukan Britain.
Penutup
Perang dingin dan perubahan rezim menciptakan konflik-konflik yang seringkali melibatkan intelijen sebagai operator covert operation dengan dalih tugas negara. Intelijen merupakan alat yang efektif untuk mensukseskan kepentingan organisasi, dalam hal ini konteks negara. Covert operation sebagai kegiatan organisasi intelijen dalam sejarah perubahan rezim, termasuk dalam perubahan rezim Iran 1953 dan perubahan rezim di Indonesia 1966, mempunyai peran sangat vital.
Covert operation yang dilakukan memiliki bermacam-macam motif baik kepentingan geopolitik dan geostrategi maupun kepentingan ekonomi. Apa yang terjadi di Iran dan di Indonesia merupakan contoh geopolitik dan geostrategi Amerika dan Inggris dikawasan. Covert operation pada masa perang dingin meskipun kadangkala memiliki motif ekonomi akan tetapi tema besar yang melatarbelakangi adalah persoalan ideologi. Hal ini tidak terlepas dari struktur sistem internasional pada saat itu yang bipolar dengan dua kutub sentral yakni negara Amerika Serikat yang menganut faham demokrasi di Barat dan Uni Soviet yang menganut faham komunis di Timur. Peran intelijen dalam melancarkan pengaruh ideologi merupakan hal yang lazim terjadi pada masa tersebut.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan intelijen dalam covert operation mengingat intelijen adalah alat negara. Intelijen jangan sampai terjebak dalam kepentingan penguasa, dengan kekuasaaannya penguasa dapat menggunakan intelijen untuk mencapai tujuan tertentu. Intelijen harus tetap berorientasi pada kepentingan negara dalam konteks pertahanan dan keamanan.
Intelijen akhirnya hanya sebuah pisau, apa fungsinya tergantung siapa penggunanya.
[1] Akhmad Satori, Pergolakan Politik Iran: Perjalanan Nation-State dari Monarki ke Republik Islam
[2] http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/08/130820_cia_iran diakses pada 10 Oktober 2014
[3] Gasiorowski Mark J. (1987), The 1953 Coup D’etat in Iran, Cambridge University Press. hl.262
[4] David Easter, British and Malaysian Covert Support for Rebeovement in Indonesia During The ‘Confrontation’, 1963-66. Intelligence and National Security, 14:4 (1999) 195-208.
[5] A.M. Hendropriyono, Operasi Sandi Yudha, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013), hlm 3.
[6] Op.cit hlm 195-196.
[7] Op.cit, hlm 6-7.
[8] Tim Lembaga Analisis Informasi (LAI), Kontroversi SUPERSEMAR dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto. (Yogyakarta : Medpress, 2007), hlm 9-10.
[9] Easter, David. (2008). Intelligence and National Security : British and Malaysian Covert Support For Rebel Movement In Indonesia During The Confrontation 1963 – 1966. London: Routledge. Hal.195
0 komentar:
Posting Komentar