16 Agustus 2016 | 6:48
Andil pemuda kiri pada proklamasi kemerdekaan cukup besar. Mereka adalah kader-kader komunis dan sosialis. Tanpa pemuda-pemuda itu, jalannya proklamasi kemerdekaan mungkin tidak berjalan lancar. Boleh jadi bukan tanggal 17 Agustus 1945.Besok, 17 Agustus 2016, kita memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-71. Tentu saja, dalam suasana penuh syukur itu, kita patut mengingat jasa pemuda-pemuda kiri.
Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-Orang Kiri Di Persimpangan Kiri Jalan, berkesimpulan bahwa terdapat sejumlah kader komunis yang bekerja keras sekali untuk melincinkan jalannya Proklamasi. “Tanpa Wikana dan juga Mr Subardjo jalannya proklamasi kemerdekaan tidaklah akan begitu berjalan lancar,” kata Gie.
Sayang, karena sejarah ditulis oleh pemenang, dan rezim Orde Baru yang anti-komunis itu jadi pemenangnya, maka kontribusi pemuda-pemuda kiri itu disamarkan dalam perjuangan menyiapkan Proklamasi kemerdekaan.
[1]
Di bawah pendudukan Jepang, orang-orang kiri membangun organisasi anti-fasis yang bergerak di bawah tanah, seperti Gerakan Anti-Fasis (Geraf) yang dipimpin oleh Widarta dan Amir Sjarifuddin (PKI), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom) oleh Aidit, Gerakan Indonesia Baru oleh Wikana dan lain-lain. Juga ada gerakan bawah tanah yang digerakkan oleh Sjahrir.
Gerakan bawah tanah pemuda kiri itu terpusat di Asrama Menteng 31. Tokoh-tokohnya, antara lain: Wikana, Aidit, Adam Malik, Chaerul Saleh, AM Hanafie, Darwis, Djohar Nur, Sukarni dan lain-lain. Kelompok ini yang memainkan peranan penting dalam mendesakkan Proklamasi kemerdekaan.
Pada bulan Agustus 1945, Jepang mulai terjepit di dalam perang Asia Timur Raya. Desas-desus mengenai kekalahan Jepang mulai tercium di Jakarta, terutama di kalangan pemuda. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu.
Tanggal 14 Agustus 1945 malam, berita kekalahan Jepang terdengar oleh Aidit.
Dia bergegas menghubungi Wikana. Keduanya sepakat mengorganisir rapat pemuda pada 15 Agustus 1945. Mereka berdua yang berkeliling mensosialisasikan rencana rapat.
Tanggal 15 Agustus 1945, sekitar pukul 19.00, pertemuan dengan berbagai kelompok gerakan pemuda berlangsung di belakang Institut Bakteriologi Pegangsaan. Turut hadir: Aidit, Wikana, Chaerul Saleh, Djohar Nur, Subadio, Suroto Kunto, Pardjono, Abubakar, Armansjah dan Sudewo.
Rapat itu menghasilkan keputusan: proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilakukan. Mereka juga mengusulkan agar Proklamasi itu dibacakan oleh Sukarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, di rapat itu Aidit mengusulkan agar Presiden pertama Indonesia adalah Sukarno.
Untuk menyampaikan hasil rapat kepada Sukarno, rapat kemudian mengutus 4 orang: Wikana, Aidit, Subadio dan Suroto Kunto. Malam itu juga, sekitar pukul 21.00 WIB, mereka tiba di kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Wikana bertindak sebagai juru bicara dari utusan pemuda itu.
Mendapat sosialisasi dari pemuda itu, Sukarno mengatakan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Dia minta diberi kesempatan berunding dengan tokoh-tokoh pemimpin lainnya. Pemuda mempersilahkan. Kebetulan, di rumah Sukarno malam itu sudah berkumpul tokoh-tokoh lain, seperti Hatta, Subardjo, Iwa Kusumasumantri dan lain-lain.
Usai berunding, Hatta keluar menemui pemuda. Pada intinya, para tokoh menolak inisiatif pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. “Pada pembicaraan kami berempat, kami memperoleh kata sepakat bahwa apabila pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam itu juga, lebih baik mereka mencari pemimpin sebagai penyokong revolusi,” tulis Hatta di memoarnya, Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan, terbitan Kompas. 2011.
Tanggal 15 Agustus, tengah malam, berbagai kelompok pemuda kembali menggelar rapat di Tjikini 71. Pertemuan kali ini lebih luas dari pertemuan sebelumnya, karena melibatkan Dr Muwardi dari Barisan Pelopor Istimewa, kelompok Sukarno, dan beberapa anggota PETA.
Rapat itu menyepakati proklamasi kemerdekaan harus segera dilakukan. Dan, karena para pemimpin menolak menyatakan proklamasi itu, maka proklamasi itu akan dilakukan oleh rakyat Indonesia.
Nah, untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan ketika Proklamasi diumumkan, para pemuda sepakat mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, sebuah daerah yang dikuasai kelompok anti-fasis di Jawa Barat.
Tanggal 16 Agustus 1945, dini hari, Sukarno dan Hatta dijemput dari rumah masing-masing. Mereka langsung diboyong ke Rengasdengklok. Di sana mereka ditempatkan di sebuah rumah milik Tionghoa, I Siong. Di Rengasdengklok, perundingan antara Sukarno-Hatta dengan pemuda perihal kemerdekaan kembali berlanjut. Namun, lagi-lagi tidak ada kata sepakat.
Di Jakarta, pada waktu yang sama, para pemuda sedang menyiapkan aksi proklamasi kemerdekaan. Mereka membentuk semacam Presidium Revolusi. Mereka juga mulai mengagitasi massa-rakyat untuk mengikuti aksi revolusi itu.
Juga, siangnya, sempat terjadi pertemuan antara pemuda, antara lain Wikana, Chaerul Saleh, Suroto Kunto dan Djohar Nur, dengan perwakilan PETA. Mereka membicarakan persiapan aksi revolusi untuk Proklamasi kemerdekaan. Namun, belakangan, PETA/Heiho menyatakan tidak siap.
Sementara itu, kabar hilangnya Bung Karno mulai merebak. Sore harinya, Subardjo menjemput Sukarno di Rengasdengklok. Kemudian terjadi lagi pendiskusian antara Sukarno, Hatta, Subarjo dan pemuda soal Proklamasi Kemerdekaan.
Pertemuan kali itu membuahkan hasil: Proklamasi Kemerdekaan akan dibacakan malam itu juga. Menjelang malam, rombongan Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta. Di Jakarta, Sukarno, Hatta dan Subardjo menyiapkan Proklamasi Kemerdekaan. Mereka memilih tempat Laksama Maeda, seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Subardjo beralasan, rumah tersebut aman dari intaian militer Jepang.
Rencana awalnya, Proklamasi akan dilakukan di lapangan Ikada, di tengah lautan massa-rakyat. Tetapi Sukarno berpendapat lain. Menurut dia, Proklamasi di tempat umum, dengan rapat umum, bisa memancing bentrokan dengan militer Jepang. Akhirnya, Proklamasi dipindah ke halaman rumah Sukarno: Pegangsaan Timur 56, Tjikini, Jakarta.
Pada 17 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi, Proklamasi Kemerdekaan RI dilangsungkan. Suara Sukarno, mewakili bangsa Indonesia, mengumumkan pernyataan merdeka itu. Dalam suasana yang sangat sederhana: tidak musik, tidak ada protokol, mikrofon yang dipakai hasil curian dari stasiun radio Jepang, kain bendera merah-putih hasil jahitan Fatmawati, dan tiang bendera berasal dari batang bambu yang baru dipotong.
[2]
Begitulah, orang-orang kiri punya andil besar pada terwujudnya Proklamasi Kemerdekaan. Usai proklamasi, pemuda-pemuda itu juga yang berjibaku menyebarluaskan berita proklamasi itu kepada rakyat luas dan dunia: melalui radio, koran, mural di trem/kereta api, famplet, dan lain-lain.
Mereka juga yang membangun Barisan Pelopor dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan. API dipimpin oleh Wikana dan anggotanya terdiri dari Chaerul Saleh, Aidit, Darwis, AM Hanafie, Kusnandar, Djohar Nur dan Chalid Rasjidi.
Para pemuda ini juga yang mengorganisir Rapat Umum untuk membela kemerdekaan di lapangan Ikada, pada 19 September 1945. Jumlah massa rakyat yang hadir hampir 200 ribu orang. Sembari menunggu kedatangan Sukarno di rapat umum itu, Aidit naik ke panggung dan memandu massa menyanyikan Indonesia Raya dan Darah Rakyat.
Mahesa Danu
http://www.berdikarionline.com/andil-pemuda-kiri-proklamasi-kemerdekaan/
0 komentar:
Posting Komentar