Rabu, 31 Agustus 2016 | 18:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com
- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bedjo Untung mengungkapkan korban pelanggaran HAM 1965 masih mendapatkan perlakuan represif dari TNI.
Menurut Bedjo, para korban 1965 selalu diintimidasi dan diawasi ketika menggelar kegiatan.
"Setiap kali kami mengadakan rapat selalu diintimidasi dan diawasi," ujar Bedjo usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Bahkan, Bedjo pun menuding tindakan represif TNI yang terakhir kali dirasakan oleh korban pelanggaran HAM 1965 adalah pembubaran lokakarya di Cianjur pada April 2016 lalu.
"Terakhir ketika kami mengadakan lokakarya di Cianjur, itu kami juga dibubarkan. Mereka bilang bukan tentara, tapi kami tahu itu rancangan mereka," ungkap Bedjo.
Atas dasar itu, Bedjo meminta Lemhannas sebagai institusi yang melakukan pendidikan dan pengkajian strategis nasional untuk mendorong reformasi TNI.
Hal ini dilakukan agar TNI tidak lagi ikut campur dalam bidang politik praktis serta meredam represivitas kepada korban tragedi 1965.
"Karena Lemhannas merupakan think tank-nya TNI yang menciptakan kader pemimpin bangsa, secara khusus saya minta supaya mereformasi tubuh TNI yaitu tidak lagi ikut campur tangan di bidang politik praktis," kata Bedjo.
Menurut Bedjo, meski militer telah melepaskan dwifungsi yang pernah dilakukan ABRI, namun pada praktiknya banyak terjadi campur tangan tersebut, termasuk pada korban tragedi 1965.
"Karena sampai sekarang meski secara riil militer sudah menanggalkan dwifungsinya, tapi pada praktiknya sampai ke bawah militer sering campur tangan," lanjut Bedjo.
Dengan meminta Lemhannas untuk mereformasi militer, Bedjo pun berharap agar TNI tidak lagi melakukan tindakan represif.
"Masih banyak represi oleh militer, baik oleh Kodim, Kodam, dan Koramil kepada para korban 1965. Ini kami minta supaya tidak terjadi lagi represi. Ini harapan saya," tandas Bedjo.
- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bedjo Untung mengungkapkan korban pelanggaran HAM 1965 masih mendapatkan perlakuan represif dari TNI.
Menurut Bedjo, para korban 1965 selalu diintimidasi dan diawasi ketika menggelar kegiatan.
"Setiap kali kami mengadakan rapat selalu diintimidasi dan diawasi," ujar Bedjo usai mengadakan pertemuan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Bahkan, Bedjo pun menuding tindakan represif TNI yang terakhir kali dirasakan oleh korban pelanggaran HAM 1965 adalah pembubaran lokakarya di Cianjur pada April 2016 lalu.
"Terakhir ketika kami mengadakan lokakarya di Cianjur, itu kami juga dibubarkan. Mereka bilang bukan tentara, tapi kami tahu itu rancangan mereka," ungkap Bedjo.
Atas dasar itu, Bedjo meminta Lemhannas sebagai institusi yang melakukan pendidikan dan pengkajian strategis nasional untuk mendorong reformasi TNI.
Hal ini dilakukan agar TNI tidak lagi ikut campur dalam bidang politik praktis serta meredam represivitas kepada korban tragedi 1965.
"Karena Lemhannas merupakan think tank-nya TNI yang menciptakan kader pemimpin bangsa, secara khusus saya minta supaya mereformasi tubuh TNI yaitu tidak lagi ikut campur tangan di bidang politik praktis," kata Bedjo.
Menurut Bedjo, meski militer telah melepaskan dwifungsi yang pernah dilakukan ABRI, namun pada praktiknya banyak terjadi campur tangan tersebut, termasuk pada korban tragedi 1965.
"Karena sampai sekarang meski secara riil militer sudah menanggalkan dwifungsinya, tapi pada praktiknya sampai ke bawah militer sering campur tangan," lanjut Bedjo.
Dengan meminta Lemhannas untuk mereformasi militer, Bedjo pun berharap agar TNI tidak lagi melakukan tindakan represif.
"Masih banyak represi oleh militer, baik oleh Kodim, Kodam, dan Koramil kepada para korban 1965. Ini kami minta supaya tidak terjadi lagi represi. Ini harapan saya," tandas Bedjo.
Editor | : Krisiandi |
0 komentar:
Posting Komentar