Selasa, 23 Agustus 2016 | 12:45 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
]
JAKARTA, KOMPAS.com
- Mahkamah Konstitusi menggelar menggelar sidang putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Selasa (23/8/2016).
- Mahkamah Konstitusi menggelar menggelar sidang putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Selasa (23/8/2016).
Penggugat adalah Paian Siahaan dan Yati Ruyati, keluarga korban
kerusuhan Mei 1998. Keduanya menilai ada ketidakjelasan pada pasal 20
ayat 3 UU Pengadilan HAM yang mengakibatkan ketidakpastian hukum atas
peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.
Dalam sidang putusan, seluruh gugatan yang diajukan pemohon ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar ketua Majelis Hakim Arief Hidayat di persidangan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa.
Sebelumnya, anggota majelis hakim I Dewa Gede Palguna menjelaskan bahwa dalil yang disampaikan pemohon terkait Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000 bukan disebakan oleh inskonstitusionalnya pasal tersebut.
"Melainkan oleh perbedaan pendapat dalam menerapkan norma itu dalam praktik dan tidak lengkapnya norma Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000," ujar Palguna.
Kemudian, lanjut Palguna, terkait dalil pemohon yang menyebut bahwa Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000 menyebabkan perlakuan diskrimintaif, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan diskriminasi dalam rumusan norma dan penjelasan pada pasal tersebut.
Dengan kata lain, dalil yang disebutkan pemohon tidak relevan dengan pasal yang digugat.
Ia menjelaskan, di dalam Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang menegaskan kesepakatan setiap negara untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap orang tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan maupun sosial, kekayaan, status kelahiran maupun status lainnya.
"Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 sama sekali tidak memuat materi semacam itu," kata dia.
Meskipun permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, kata Palguna, namun hal itu tidak meniadakan fakta bahwa pemohon mengalami ketidakpastian yang disebabkan perbedaan pendapat antara penyidik Komnas HAM dan Jaksa Agung dalam menerapkan Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000.
Dengan demikian, lanjut Palguna, Mahkamah memberikan catatan kepada pembentuk Undang-Undang disarankan melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26/2000 guna memberi jalan keluar terhadap persoalan tersebut.
Sebelumnya, permohonan peninjauan kembali yang diregistrasi dengan nomor perkara 75/PUU-Xlll/2015 itu diajukan oleh Paian Siahaan dan Yati Ruyati.
Paian Siahaan adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa dan penculikan aktiVis pada 1998 sedangkan Yati Ruyati adalah ibu dari Eten Karyana yang merupakan salah satu korban peristiwa Mei 1998.
Keduanya mengajukan pengujian pasal 3 UU 26/2000 karena ada ketidakjelasan penafsiran Pasal 20 ayat (3) UU & quo yang mengakibatkan ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.
Sejak tahun 2002, Komnas HAM sudah menyerahkan tujuh berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan, namun hingga saat ini Jaksa Agung belum menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM tersebut dengan alasan bahwa berkas penyelidikan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tersebut belum cukup dengan mendasarkan pada Pasal 20 ayat (3) UU a quo.
Ketidakpastian hukum tersebut selain menghambat hak para Pemohon atas keadilan juga menghambat hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat.
Adapaun pasal 20 ayat (3) menjelaskan bahwa "dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap. penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik diseriai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut". Kemudian, Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM menyebutkan, "dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan".
Dalam sidang putusan, seluruh gugatan yang diajukan pemohon ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar ketua Majelis Hakim Arief Hidayat di persidangan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa.
Sebelumnya, anggota majelis hakim I Dewa Gede Palguna menjelaskan bahwa dalil yang disampaikan pemohon terkait Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000 bukan disebakan oleh inskonstitusionalnya pasal tersebut.
"Melainkan oleh perbedaan pendapat dalam menerapkan norma itu dalam praktik dan tidak lengkapnya norma Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000," ujar Palguna.
Kemudian, lanjut Palguna, terkait dalil pemohon yang menyebut bahwa Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000 menyebabkan perlakuan diskrimintaif, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan diskriminasi dalam rumusan norma dan penjelasan pada pasal tersebut.
Dengan kata lain, dalil yang disebutkan pemohon tidak relevan dengan pasal yang digugat.
Ia menjelaskan, di dalam Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang menegaskan kesepakatan setiap negara untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap orang tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan maupun sosial, kekayaan, status kelahiran maupun status lainnya.
"Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 sama sekali tidak memuat materi semacam itu," kata dia.
Meskipun permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, kata Palguna, namun hal itu tidak meniadakan fakta bahwa pemohon mengalami ketidakpastian yang disebabkan perbedaan pendapat antara penyidik Komnas HAM dan Jaksa Agung dalam menerapkan Pasal 20 ayat 3 UU 26/2000.
Dengan demikian, lanjut Palguna, Mahkamah memberikan catatan kepada pembentuk Undang-Undang disarankan melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26/2000 guna memberi jalan keluar terhadap persoalan tersebut.
Sebelumnya, permohonan peninjauan kembali yang diregistrasi dengan nomor perkara 75/PUU-Xlll/2015 itu diajukan oleh Paian Siahaan dan Yati Ruyati.
Paian Siahaan adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa dan penculikan aktiVis pada 1998 sedangkan Yati Ruyati adalah ibu dari Eten Karyana yang merupakan salah satu korban peristiwa Mei 1998.
Keduanya mengajukan pengujian pasal 3 UU 26/2000 karena ada ketidakjelasan penafsiran Pasal 20 ayat (3) UU & quo yang mengakibatkan ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.
Sejak tahun 2002, Komnas HAM sudah menyerahkan tujuh berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan, namun hingga saat ini Jaksa Agung belum menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM tersebut dengan alasan bahwa berkas penyelidikan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tersebut belum cukup dengan mendasarkan pada Pasal 20 ayat (3) UU a quo.
Ketidakpastian hukum tersebut selain menghambat hak para Pemohon atas keadilan juga menghambat hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat.
Adapaun pasal 20 ayat (3) menjelaskan bahwa "dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap. penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik diseriai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut". Kemudian, Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM menyebutkan, "dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan".
Penulis | : Fachri Fachrudin |
Editor | : Sabrina Asril |
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/23/12453881/mk.tolak.gugatan.uji.materi.uu.pengadilan.ham
0 komentar:
Posting Komentar