Jum'at, 05 Agustus 2016 | 20:56 WIB
Wiranto. TEMPO/Aditia Noviansyah
"Tadi banyak yang dibicarakan. Tapi ini tak mungkin dijelaskan sekarang, saya ini ditunggu Presiden," ujar Wiranto yang bergegas hendak menuju Istana, Jumat, 5 Agustus 2016. Agenda Wiranto di Istana ikut jamuan makan malam bersama Presiden Joko Widodo, yang menerima kunjungan kenegaraan Presiden Ukraina Petro Poroshenko.
"(Hasil pertemuan) Ada, bagus sekali. Tapi, ini waktunya mepet," ujar Wiranto sambil masuk ke mobil dinas bernomor polisi RI 16.
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965 Agus Widjojo mengatakan, usulan rumusan penyelesaian peristiwa 1965 telah disepakati pemerintah dan akan segera diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Yang penting sudah ada rumusan pemerintah, nanti akan disampaikan kepada Presiden melalui Menko Polhukam Wiranto. Agus tidak bisa memastikan kapan dokumen rekomendasi penyelesaian kasus 1965 diserahkan kepada Presiden.
Simposium Nasional Tragedi 1965 diselenggarakan pada April 2016 sebagai upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus HAM berat antara lain yang pernah terjadi pada 1965 dimana diduga ratusan ribu orang diduga terbunuh dalam kaitannya dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Agus, penyelesaian kasus 1965 melalui penyelenggaraan simposium tersebut lebih menggunakan pendekatan sejarah. "Pendekatan ini lebih objektif, dan komprehensif jadi kita seperti memutar film mengenai peristiwa 65, kami mendengarkan apa yang terjadi sebelum peristiwa dan setelah peristiwa tersebut," kata dia.
Agus menilai bahwa peristiwa pembantaian besar-besaran pada masa pemerintahan Presiden Soeharto itu didasari motif tertentu dan dilakukan secara sistemik. Penyelesaian peristiwa 1965, menurut dia, penting dilakukan karena Indonesia adalah bangsa yang besar yang sudah seharusnya berani melihat pada masa lalu dan berbesar hati mengakui kesalahan.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hasyim Muzadi, pernah menyampaikan penolakannya terhadap arah penyelenggaraan simposium yakni untuk mendesak Presiden Joko Widodo atas nama negara meminta maaf kepada para korban tragedi 1965. "Desakan tersebut pasti membebani Presiden, baik secara politik, keamanan maupun ekonomi, bahkan bisa terjadi kegoncangan," kata Muzadi.
Menurut dia, kalau yang dimaksud adalah "negara yang meminta maaf" kepada korban 1965, tentu salah alamat karena negara tidak pernah salah apa-apa. "Yang bisa salah adalah rezim pemerintahan dalam masa pemerintahannya. Mengapa kejadian zaman pemerintahan Pak Harto harus Pak Jokowi yang meminta maaf?" tanya mantan Ketua PBNU ini.
YOHANES PASKALIS | ANTARA
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/08/05/078793628/wiranto-dan-agus-widjojo-bahas-hasil-simposium-tragedi-1965
0 komentar:
Posting Komentar