oleh: Asrida Elisabeth
Salah satu alasan saya menggali cerita tentang tragedi 1965 adalah kuburan massal di kampung halaman saya: Manggarai.
Entah
kapan orang-orang menceritakannya kepada saya, tapi cerita itu tertanam
kuat di ingatan saya sehingga muncul pertanyaan: apa yang terjadi kala
itu?
Cerita saya bermula ketika bertemu Ebe dari Partisipasi Indonesia
yang kebetulan giat mengangkat cerita tragedi 1965. Ebe tertarik untuk
membiayai perjalanan saya menelusuri cerita itu dengan hasil akhir
sebuah film dokumenter. Teman-teman dari Sun Spirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, Flores ikut membantu saya dalam proses pembuatan film.
Ide
awal pembuatan dokumenter ini didasari kisah perjumpaan saya sebagai
anak muda yang ingin tahu tentang tragedi 1965 dengan orang-orang yang
dulu mengalami atau menyaksikan tragedi itu.
Karena
berbagai kendala, termasuk minimnya persiapan dan masalah teknis, saya
tidak bisa menangkap momen-momen menarik dari perjumpaan itu. Namun,
saya berhasil mendokumentasikan pengakuan para saksi hidup yang sungguh
membantu saya memahami tragedi 1965 di Manggarai.
Film
dokumenter itu berjudul “Tida Lupa” yang diputar bersamaan dengan
beberapa film lain bertemakan sama hasil produksi Partisipasi Indonesia,
pada peringatan hari HAM di Taman Ismail Marzuki di Jakarta dan
Festival Film Dokumenter di Yogyakarta tahun 2015.
Sebagai
pengganti dari ide awal yang gagal diwujudkan itu, dan terutama karena
ingin membagi pengalamanan yang adalah pengalaman kolektif sebagai
generasi muda yang ingin memahami tragedi 1965, maka saya menuliskan
cerita ini.
Kuburan
massal yang saya temui terletak persisnya di Ruteng, ibukota Kabupaten
Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Saya juga mengunjungi Kampung Rekas,
yang kini berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Dari kedua
lokasi inilah cerita saya bermula.
“Di
Puni itu sudah dulu orang-orang PKI ditembak,” begitu kata orang-orang
tua di Ruteng. “Mereka ditembak seperti binatang. Aduh sedih. Orang
boleh nonton, tapi tidak boleh menangis. Kalo menangis, nanti tentara
bilang, oh kau juga satu PKI!”
Dalam
ingatan masa kecil saya, PKI selalu diidentikkan dengan hal-hal buruk.
Pencuri, orang-orang yang tidak mengikuti aturan akan diumpat “dasar
PKI!” atau “kelakuan seperti PKI!”
Kini, 50 tahun setelah tragedi itu, umpatan-umpatan seperti itu masih menjadi hal biasa di masyarakat.
Saat
tragedi 1965 mulai hangat dibicarakan, saya pun memberanikan diri untuk
menggali cerita tentang tragedi itu di kampung halaman saya.
Saya
mulai menggali cerita dari Kampung Rekas. Saya sengaja memilih tempat
ini karena saya mendengar bahwa gereja Katolik Santa Maria Penghibur
Orang Berduka Cita yang berpusat di kampung ini baru saja merayakan
ulang tahun yang ke-100.
Gereja
Katolik di Pulau Flores telah berdiri sejak awal tahun 1900. Karena
itulah saya berharap menemukan arsip tua milik gereja di sana yang akan
memberikan sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di Manggarai tahun
1965.
Saya
tidak mendapatkan arsip seperti yang saya harapkan. Beberapa dokumen
yang saya temukan tidak terawat sehingga tulisan-tulisannya sulit
dibaca. Tapi bukan berarti penggalian cerita ini sia-sia.
Kendati
saya dan teman-teman merasa canggung pada awalnya, terutama karena
orang-orang menanyakan latar belakang kami dan alasan kami menggali
cerita lama, namun dari petugas di gereja kami justru berhasil menggali
cerita-cerita yang lebih mendalam.
Kampung
Rekas adalah salah satu kampung di mana tentara menangkap dan menyiksa
masyarakat saat tragedi 1965 terjadi. “Cerita itu sudah jadi rahasia
umum di sini, diwariskan turun temurun, jadi anak-anak juga tahu,” kata
seorang bapak yang menjadi pegawai administrasi di gereja.
Berkat
kebaikan petugas ini, kami diperkenalkan dan dipertemukan dengan korban
tragedi 1965 yang masih hidup, keluarga korban dan para saksi.
Di
sebuah malam yang juga berawal dengan kecanggungan, kami bertemu mereka
di sebuah rumah pertemuan. “Ini pertama kali orang datang dan wawancara
kami tentang peristiwa itu,” ujar salah seorang dari mereka.
Satu
per satu mereka bercerita, menyebut namanya atau nama keluarganya yang
hilang semasa tragedi itu. Ada perasaan sedih, marah, juga pertanyaan
‘mengapa’, pertanyaan yang sudah lama sekali ingin mereka tanyakan meski
dalam diam.
“Nama
saya Siti Maimuna. Umur saya 81 Tahun. Saya istri Abdul Satu.” Seorang
perempuan yang tergopoh-gopoh berjalan dari rumahnya ke rumah pertemuan
kami, mulai berbicara di depan kamera.
“Waktu itu kami sedang berada di kebun, ketika seorang pemuda datang dan panggil untuk segera kembali ke kampung,” lanjutnya.
Sepengetahuannya,
suaminya Abdul Satu adalah salah satu pemimpin gerakan PKI di kampung
itu. Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ditangkap dan disiksa di
halaman kampung.
Bahkan
masyarakat umum baik laki-laki maupun perempuan, termasuk Siti Maimuna,
juga ikut disiksa. “Kau Gerwani?” kata Siti menirukan pertanyaan
tentara kepadanya.
Pengetahuan
Siti yang minim tentang apa itu Gerwani membuatnya hampir menjawab
‘iya’, meskipun kala itu Gerwani tidak terlalu dikenal di Kampung Rekas.
Tentara
dengan bantuan aparat desa membentuk pasukan pemuda massa dengan
merekrut pemuda di kampung. Pasukan pemuda ini yang kemudian membantu
tentara menangkap orang-orang yang diduga ikut gerakan PKI di kampung
sekitar dan membawa mereka ke Rekas untuk disiksa bersama-sama.
“Waktu
itu semua dalam keadaan takut. Yang ikut gerakan pemuda massa juga
dipaksa. Jadi yang siksa dengan yang korban ini bahkan ada yang masih
berhubungan keluarga,” kata saksi lain yang kami temui.
Abdul
Satu dan beberapa pemimpin dari Kampung Rekas dan kampung lainnya
kemudian dibawa ke Ruteng, dengan kawalan tentara dan pemuda massa. Kala
itu satu-satunya akses dari Rekas menuju Ruteng hanyalah dengan
berjalan kaki selama lima hari.
“Itu hari terakhir saya lihat dia. Tidak lama datang kabar mereka semua sudah dibunuh di Puni,” jelas Siti.
Bagi
Siti yang berat bukan hanya saja kehilangan Abdul Satu, sosok yang
baginya adalah seorang yang baik dan bertanggung jawab di dalam keluarga
dan masyarakat; yang juga berat adalah kehidupan setelah tragedi itu
berlalu.
Stigma
buruk sebagai keluarga PKI dan akibat-akibat yang harus mereka terima
tetap membebaninya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
Siti
kemudian membesarkan lima anaknya dengan bantuan keluarga. “Pokoknya
sengsara,” ujarnya lirih. Caranya bercerita menyiratkan betapa peristiwa
itu masih tertanam kuat dalam ingatannya.
Ahmad
Nandi, anak tertua Siti, mengaku pernah pergi ke Ruteng dan diam-diam
menuju Puni untuk melihat tempat bapaknya ditembak mati. Namun dia tidak
menemukan penanda apapun di sana selain lahan kosong yang kini dipenuhi
bangunan. Di lahan inilah kini berdiri Pasar Puni.
Meskipun
para keluarga korban di Kampung Rekas tidak pernah melihat jasad mereka
yang ditembak mati di Puni, mereka membuat upacara khusus untuk melepas
kepergian Abdul Satu dan korban lainnya yang tidak pernah lagi kembali.
Saya
tidak pernah bisa melupakan mata mereka yang bercerita pada malam itu.
Mata mereka berkaca-kaca menyebut satu persatu nama korban: suami, ayah,
kakak dan paman yang hilang 50 tahun lalu. Saya mencatatkan nama mereka
di buku saya.
Malam
itu kami menginap di kompleks tempat kediaman pastor Gereja. Saya
mengingat jawaban para korban dan saksi saat saya menanyakan bagaimana
pastor di Rekas bersikap saat itu.
Pastor
Erwin, misionaris asal Australia yang saat itu bertugas di wilayah itu,
disebut berulang-ulang selama pertemuan dengan korban dan saksi.
Berdasarkan jawaban warga, dialah yang banyak membantu masyarakat semasa
tragedi itu.
Saya teringat lagi pada kuburan massal di Puni. Entah berapa banyak orang yang ditembak dan terkubur di tempat itu.
Saya
pun makin ingin memahami apa yang terjadi dan apa yang menyebabkan
semua orang, termasuk gereja Katolik, memilih diam atas tragedi itu
bahkan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
Kelak
pertemuan saya dengan narasumber-narasumber baru, buku-buku,
berita-berita lama dan juga catatan-catatan, membantu saya untuk
memahami sedikit demi sedikit semua itu.
Catatan:
Manggarai
pernah berada di bawah pengaruh kerajaan Bima NTB sehingga ada sebagian
masyarakatnya terutama di Manggarai Barat seperti Rekas yang memeluk
agama Islam.
https://medium.com/ingat-65/menelusuri-jejak-kuburan-massal-di-pasar-puni-d54d4ed5ce9d#.87dzg0jqp
0 komentar:
Posting Komentar