“If I can’t dance, I don’t want to be part of your revolution”. -Emma Goldman-TULISAN Iwan Gardono Sujatmiko Revolusi, Kudeta, Rekonsiliasi di salah satu media cetak (Kompas, 27/07/2016), membahas bagaimana PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan ideologi politiknya berusaha merebut kekuasaan. Namun, narasi sejarahnya luput menjelaskan bagaimana kelompok elit politik lain, dengan ideologi yang dimilikinya juga, terlibat dalam perebutan kekuasaan. Ia misalnya berargumen bahwa “kehancuran PKI sebagai contoh konflik total…” Pertanyaannya adalah konflik dengan siapa? Apakah PKI hanya satu-satunya kelompok yang memiliki ideologi? Jikalau ideologi PKI gagal, kelompok manakah yang ideologinya sukses? Seperti dansa Tango, PKI bukanlah satu-satunya kelompok politik yang memiliki hasrat berdansa menuju kekuasaan; It takes two to Tango!
Zaman Ideologi
Arena kontestasi politik pada tiap zaman memiliki konteksnya tersendiri. Sujatmiko memenggal konteks ini dengan mengatakan “pemimpin PKI konsisten melaksanakan dan perebutan kekuasaan oleh Alimin dan Muso (1926), Muso dan Amir Sjarifuddin (1948) ataupun Aidit (1965)”. Kita tentu mahfum pemberontakan PKI di Banten dan Sumatera Barat (1926-1927) bukan melawan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tetapi Negara Kolonial Belanda.
Bukankah semua aktor politik di jaman pergerakan seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan yang lainnya juga menentang Belanda? Begitupun diawal republik ini berdiri, terjadi kontestasi di antara tiga format ideologi bernegara yaitu NKRI (Sukarno), Negara Komunis Indonesia (NKI) (Muso) dan Negara Islam Indonesia (NII) (Kartosuwiryo). Sukarno dengan ideologi nasionalisme dan konsepsi Pancasilanya, berhasil menjadi pemenang dengan mengalahkan sahabat seperguruannya semasa di Jl.Peneleh 7.
Pada era demokrasi liberal, artikulasi ideologi tercermin melalui perseteruan di antara kabinet dengan parlemen. Kelima partai politik PNI, PSI, PKI, NU dan Masyumi merupakan kekuatan politik yang saling menjatuhkan. Instabilitas pemerintahan selama 10 tahun dan munculnya PRRI/Permesta, mendorong Sukarno mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Masyumi-PSI masuk kotak dan kekuatan partai menurun karena ditutupnya jalur pemilu.
Pada titik ini, di bawah kekuasaan Sukarno, tersisa dua kekuatan politik utama lainnya di final kontestasi: PKI pimpinan Aidit dan Militer di bawah Jendral Nasution. Apa yang diperebutkan? Siapa yang kiranya akan menggantikan Sukarno? Jika Sukarno mengambil jalan kanan integralisme nasional dan Aidit menuju jalan ke kiri, lain halnya dengan Nasution. Saingan PKI ini unik mengingat ideologi yang diusungnya pragmatis dan bukan bersumber dari isme-isme atau agama. Ideologi tersebut adalah Dwi-Fungsi ABRI yang bersumber dari konsepsi Jalan-Tengah. Sejarah mencatat kelompok dengan ideologi ini sukses memenangkan kontes dan ‘berhak’ atas kekuasaan selama 32 tahun. Bila Sujatmiko menyebut ideologi PKI “…menghasilkan pemimpin revolusioner-totaliter dan berusaha merebut kekuasaan…” maka kelompok di bawah Nasution dan konsepsi jalan tengahnya menciptakan pemimpin diktaktor-militer bernama Suharto.
Revolusi yang mewarnai dunia kala itu tidak hanya milik ‘si kaos merah’, tetapi juga ‘si jaket hijau’. Tanpa perlu menyebut jumlah statistik, kekerasan yang dipraktikkan rezim Orde Baru kurang lebih sama mengerikannya seperti revolusi berdarah yang Sujatmiko sebut dilakukan hanya oleh para komunis di berbagai penjuru dunia. Sejarah dunia mencatat, di era tersebut kudeta tidak hanya dilakukan oleh komunis tetapi juga kudeta militer di berbagai negara Amerika Latin dan Asia, seperti yang terjadi di Chile. Dari sudut pandang kapital internasional, institusi negara yang memiliki kapasitas kekerasan adalah militer. Ini menjadi strategi geo-politik Imperialisme Amerika di Dunia Ketiga, termasuk Asia Tenggara. Rudolf Mrazek (1978, 15), misalnya, menyebutkan bahwa para pembuat kebijakan luar negeri Amerika di Asia Tenggara memiliki kecenderungan untuk opsi “reform coups” guna mencegah perkembangan komunisme kala itu.
Tri-Fungsi ABRI dan Dimensi Agraria
Dwi-fungsi ABRI, sebagai ideologi, menekankan fungsi menjaga keamanan dan memegang kekuasaan. Bila fungsi pertama menekankan fungsi alamiah militer, maka fungsi kedua memperlihatkan hasrat berkuasa yang tidak eksklusif milik PKI. Istilah Tri-fungsi sebenarnya lebih tepat karena pada periode 1957-1959, selain memberikan kekuasaan dalam darurat militer, Sukarno juga menyerahkan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di bawah kendali Nasution. Sukarno tidak memiliki pilihan selain menyandarkan kekuasaannya pada peran militer sebagai penguasa tertinggi dalam keadaan perang menghadapi separatisme. Di bawah komando tertinggi Nasution, militer berkembang menjadi organisasi yang mampu mengelola sumber daya.
Konsekuensinya, konflik pertama antara militer dan PKI bernuansa perebutan sumber daya agraria. Tahun 1956, pertikaian pertama antara keduanya meletus, memperebutkan perkebunan tembakau milik Belanda di Medan (Pelzer, 1982: 147-148).
Terkait dengan penguasaan militer terhadap aset-aset Belanda, Sujatmiko luput melihat pentingnya peristiwa-peristiwa pada periode 1956-1959 yang memicu tingginya cakupan pembunuhan massal pasca 30 September 1965. Pada periode setelah UU Darurat dikeluarkan, secara hukum hanya militer yang boleh menguasai dan mengelola aset hasil nasionalisasi. Dalam keadaan perang, Letkol Ginting, penguasa darurat di Sumatra Utara, mengumumkan dekrit yang mengatur pendudukan lahan perkebunan tembakau yang ilegal (Pelzer 1982, 148).
Sukarno turut membentuk arena kontestasi yang melibatkan dimensi agraria pada periode 1957-1959 dan 1960-1965. Bila pada 1957-1959 nasionalisasi menjadi agenda politik Sukarno, maka pada 1960-1965 land reform digunakan Sukarno untuk meredam semakin berkembangnya kekuatan militer. Pada periode ini, PKI mendapatkan momentum menggunakan land reform untuk kepentingannya. Tahun 1960 ayunan pendulum bergerak ke arah kiri dan PKI menggunakan agenda land reform untuk kepentingannya. Sukarno mengeluarkan UU Pokok Agraria (UUPA), UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan menghentikan berlakunya darurat perang. Berhentinya darurat perang dan perubahan agenda Sukarno, menjadi ancaman para pengelola aset Belanda yang baru. Pada tahun 1961, di Kediri terjadi konflik antara petani-petani simpatisan PKI dengan pihak militer pengelola perkebunan gula (Sujatmiko 1992, 162). Ini menunjukkan bagaimana dimensi agraria merupakan faktor penting dan seringkali dilupakan dalam membicarakan Dansa Tango PKI dengan Militer.
Arah Rekonsiliasi
Narasi Dansa Tango di antara PKI dan Militer ini kedepannya dapat menentukan arah cerita rekonsiliasi yang berbeda. Argumen Sujatmiko mengenai hasrat PKI berdansa dalam revolusi sejak tahun 1926 tidaklah tepat. Pembacaan lebih seksama terhadap PKI dan lawan-lawan dansanya pada masa kolonial (1926), pembentukan negara (1948) dan konflik agraria (1957-1965) memberikan makna berbeda. Untuk itu rekonsiliasi sangat bergantung pada tiga pemaknaan baru.
Pertama, rekonsiliasi akan sangat bergantung pada pasang-surut hubungan sipil-militer. Dua peristiwa penting, seperti simposium tandingan dan reaksi terhadap keputusan di Den Hag, menjadi cermin bagi kita untuk dapat menakar tingkat kesulitan dan tantangan terhadap proses rekonsiliasi, setidaknya 4 tahun mendatang.
Kedua, arah rekonsiliasi sebaiknya tidak hanya melibatkan mereka yang pernah ambil bagian dalam kontestasi dan para korban tetapi rekonsiliasi kebangkitan bangsa. Penderitaan ini adalah penderitaan bangsa secara menyeluruh karena adanya kesadaran akan dampak kepentingan ekonomi-politik dunia yang lebih luas pada konflik yang pernah terjadi. Akibat dari ini Indonesia mengalami perang saudara. Baik pihak yang menang dan kalah di antara sesama saudara, bangsa kita yang menjadi Abu! Kedaulatan bangsa dan sumberdaya milik rakyat Indonesia seharusnya menjadi dasar rekonsiliasi di masa depan.
Ketiga, rekonsiliasi dengan demikian menjadi bukan perkara masa lalu dan milik manusia Indonesia yang terjebak hidup dengan mentalitas jaman ideologi. Perkara rekonsiliasi adalah perkara menentukan masa depan hidup bermasyarakat dengan menerima masa lalu dan mencegah kekerasan di masa mendatang. Perkara rekonsiliasi adalah perkara kesadaran generasi muda berikutnya untuk tidak hanya mendengar satu narasi dari pemenang konflik.
Perkara rekonsiliasi adalah perkara kemanusiaan yang adil dan beradab. Adab kita memperlakukan mereka yang terkalahkan ke posisi bermartabat di mata kemanusiaan. Hakikat keadilanlah yang menjadi kunci rekonsiliasi bukan hukuman, stigma, dan tindak kekerasan. Keadilan sejak dalam hati, pikiran dan tindakan dimulai dengan lapang menerima sejarah Dansa Tanggo ini!
***
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Fisip UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar