Senin, 22 Agustus 2016 | 19:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang membahas draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang membahas draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Draf revisi itu di antaranya membahas tindak pidana terhadap keamanan
negara yaitu mengenai ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme kejahatan
terhadap ideologi negara serta peniadan dan pengganti ideologi Pancasila.
Direktur Eksekutif Institute for Crimal Juctice Reformasi, Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, rumusan tindak pidana keamanan negara memiliki unsur yang samar mengenai perbuatan yang dilarang oleh negara.
Dalam pasal 219 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana paling lama 7 tahun.
"Tidak jelas kata 'melawan hukum'. Ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme bagian mana yang dilarang. Apakah yang terbatas bertentangan dengan Pancasila? Bagaimana dengan batasan kegiatan ilmiah," kata Supriyadi dalam suatu diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (22/8/2016).
Supriyadi menilai pasal 219 bisa membuat interpretasi yang beragam. Sehingga, terdapat potensi penyalahgunaan dan rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
"Larangan tersebut meneruskan kembali jargon Orde Baru untuk menghantam lawan politik dan menumpas pihak yang menentang kebijakan," ucap Supriyadi.
Menurut Supriyadi, setelah melewati masa reformasi, larangan tersebut semestinya tidak lagi dipakai karena bertentangan dengan demokrasi.
Pasal tersebut, lanjut dia, dapat dialami secara semena-mena terlebih dalam perumusan yang ambigu.
"Ujungnya dari ketentuan ini adalah pelarangan hak asasi manusia," ujar Supriyadi.
Direktur Eksekutif Institute for Crimal Juctice Reformasi, Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, rumusan tindak pidana keamanan negara memiliki unsur yang samar mengenai perbuatan yang dilarang oleh negara.
Dalam pasal 219 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana paling lama 7 tahun.
"Tidak jelas kata 'melawan hukum'. Ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme bagian mana yang dilarang. Apakah yang terbatas bertentangan dengan Pancasila? Bagaimana dengan batasan kegiatan ilmiah," kata Supriyadi dalam suatu diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (22/8/2016).
Supriyadi menilai pasal 219 bisa membuat interpretasi yang beragam. Sehingga, terdapat potensi penyalahgunaan dan rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
"Larangan tersebut meneruskan kembali jargon Orde Baru untuk menghantam lawan politik dan menumpas pihak yang menentang kebijakan," ucap Supriyadi.
Menurut Supriyadi, setelah melewati masa reformasi, larangan tersebut semestinya tidak lagi dipakai karena bertentangan dengan demokrasi.
Pasal tersebut, lanjut dia, dapat dialami secara semena-mena terlebih dalam perumusan yang ambigu.
"Ujungnya dari ketentuan ini adalah pelarangan hak asasi manusia," ujar Supriyadi.
Mengapa Komunisme Tak Cocok di Indonesia?
Penulis | : Lutfy Mairizal Putra |
Editor | : Bayu Galih |
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/22/19313861/tindak.pidana.ajaran.komunisme.dalam.revisi.kuhp.dianggap.tak.jelas
0 komentar:
Posting Komentar