Aryono
SALIM Haji Said, mantan wartawan yang sekarang mengajar di Universitas Pertahanan, kembali menerbitkan buku. Buku berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto ini diluncurkan di Klub Eksekutif Persada Kompleks Halim Perdanakusumah, Jakarta (4/8).
Buku tersebut dibahas dengan orasi Ikrar Nusa Bhakti, profesor riset Pusat Penelitian Politik LIPI, dengan judul: “Babad Orde Baru: Dalang Itu Bernama Soeharto.” Menurutnya, Salim Said menulis hal spektakuler, dengan mengungkap hal sensitif tentang Orde Baru kepada publik.
“Kalau itu ditulis Salim Said pada masa Soeharto, bukan mustahil dia akan berhadapan dengan kopral. Diinterogasi, lalu digebuk dan bahkan masuk penjara dengan tuduhan makar,” ujarnya.
Dalam pandangan Ikrar, buku tersebut memuat kisah Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang memiliki berbagai atribut: penguasa yang Machiavelis, dalang yang pandai memunculkan aktor baru untuk menggantikan yang lama; serta aktor politik dan militer yang piawai.
Salah satu peristiwa yang memperlihatkan Soeharto sebagai pemimpin otoriter adalah pengangkatan Muhammad Jusuf sebagai panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesa (ABRI) periode 1978-1983.
“Pak Jusuf pernah menjadi menteri di era Sukarno dan Soeharto. Pangkatnya kalau tidak salah baru brigadir jenderal. Tapi tiba-tiba dapat bintang empat dan menjadi panglima. Demikian juga dengan pengangkatan LB Moerdani menjadi panglima. Moerdani yang tidak pernah menjadi panglima daerah ditunjuk begitu saja oleh Soeharto,” terang Ikrar.
Soeharto, lanjut Ikrar, menerobos rambu-rambu Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Ikrar mengutip penyataan Harsudiono Hartas, mantan kepala Staf Sosial Politik ABRI bahwa yang merusak tentara adalah Presiden Soeharto sendiri.
Ikrar menyoroti kisah-kisah tragis dan manis yang dialami jenderal-jenderal di sekeliling Soeharto. Bagaimana dengan mudah Soeharto menggeser dan memecat jenderal-jenderal yang sekiranya membahayakan kekuasaannya. Seperti dialami LB Moerdani atau akrab disapa Benny.
Moerdani dikenal sebagai “anjing herder” penjaga keamanan Soeharto dan keluarganya. Misalnya, saat Soeharto ke Timur Tengah, Benny meminta pinjaman roket dari Israel untuk mengamankan pesawat kepresidenan dari ancaman serangan pihak lain. Bahkan Benny menyadap rumah Soeharto di Jalan Cendana dengan maksud mencari tahu apa sebenarnya kemauan Soeharto. Loyalitas Benny kepada Soeharto ternyata tak berakhir manis.
“Benny adalah orang yang berani menegur Soeharto dalam masalah bisnis anak-anaknya. Benny berpendapat bahwa kekuasaan Soeharto yang memperkaya diri dan kroninya akan berbahaya bagi Soeharto sendiri,” ujar Ikrar.
Soeharto marah. Bagi Soeharto, lanjut Ikrar, jika dia memberikan kesempatan orang lain untuk memperkaya diri, maka tidak ada salahnya pula dia membiarkan anak-anaknya menumpuk lumbung uang.
Benny pun tersingkir dari militer. Bukan hanya karena kritik tersebut. Soeharto juga merasa terancam oleh pengaruh Benny yang mulai besar di tubuh tentara.
Rizal Ramli, mantan menteri koordinator maritim kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, mengapresiasi buku Salim Said. “Buku Pak Salim bagus. Dia menilai Soeharto dengan mengandalkan informasi dari para jenderal di sekeliling Soeharto.
Sementara kami menilai Soeharto dari luar lingkarannya,” ujar Rizal Ramli.
Buku tersebut dibahas dengan orasi Ikrar Nusa Bhakti, profesor riset Pusat Penelitian Politik LIPI, dengan judul: “Babad Orde Baru: Dalang Itu Bernama Soeharto.” Menurutnya, Salim Said menulis hal spektakuler, dengan mengungkap hal sensitif tentang Orde Baru kepada publik.
“Kalau itu ditulis Salim Said pada masa Soeharto, bukan mustahil dia akan berhadapan dengan kopral. Diinterogasi, lalu digebuk dan bahkan masuk penjara dengan tuduhan makar,” ujarnya.
Dalam pandangan Ikrar, buku tersebut memuat kisah Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yang memiliki berbagai atribut: penguasa yang Machiavelis, dalang yang pandai memunculkan aktor baru untuk menggantikan yang lama; serta aktor politik dan militer yang piawai.
Salah satu peristiwa yang memperlihatkan Soeharto sebagai pemimpin otoriter adalah pengangkatan Muhammad Jusuf sebagai panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesa (ABRI) periode 1978-1983.
“Pak Jusuf pernah menjadi menteri di era Sukarno dan Soeharto. Pangkatnya kalau tidak salah baru brigadir jenderal. Tapi tiba-tiba dapat bintang empat dan menjadi panglima. Demikian juga dengan pengangkatan LB Moerdani menjadi panglima. Moerdani yang tidak pernah menjadi panglima daerah ditunjuk begitu saja oleh Soeharto,” terang Ikrar.
Soeharto, lanjut Ikrar, menerobos rambu-rambu Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Ikrar mengutip penyataan Harsudiono Hartas, mantan kepala Staf Sosial Politik ABRI bahwa yang merusak tentara adalah Presiden Soeharto sendiri.
Ikrar menyoroti kisah-kisah tragis dan manis yang dialami jenderal-jenderal di sekeliling Soeharto. Bagaimana dengan mudah Soeharto menggeser dan memecat jenderal-jenderal yang sekiranya membahayakan kekuasaannya. Seperti dialami LB Moerdani atau akrab disapa Benny.
Moerdani dikenal sebagai “anjing herder” penjaga keamanan Soeharto dan keluarganya. Misalnya, saat Soeharto ke Timur Tengah, Benny meminta pinjaman roket dari Israel untuk mengamankan pesawat kepresidenan dari ancaman serangan pihak lain. Bahkan Benny menyadap rumah Soeharto di Jalan Cendana dengan maksud mencari tahu apa sebenarnya kemauan Soeharto. Loyalitas Benny kepada Soeharto ternyata tak berakhir manis.
“Benny adalah orang yang berani menegur Soeharto dalam masalah bisnis anak-anaknya. Benny berpendapat bahwa kekuasaan Soeharto yang memperkaya diri dan kroninya akan berbahaya bagi Soeharto sendiri,” ujar Ikrar.
Soeharto marah. Bagi Soeharto, lanjut Ikrar, jika dia memberikan kesempatan orang lain untuk memperkaya diri, maka tidak ada salahnya pula dia membiarkan anak-anaknya menumpuk lumbung uang.
Benny pun tersingkir dari militer. Bukan hanya karena kritik tersebut. Soeharto juga merasa terancam oleh pengaruh Benny yang mulai besar di tubuh tentara.
Rizal Ramli, mantan menteri koordinator maritim kabinet Jokowi-Jusuf Kalla, mengapresiasi buku Salim Said. “Buku Pak Salim bagus. Dia menilai Soeharto dengan mengandalkan informasi dari para jenderal di sekeliling Soeharto.
Sementara kami menilai Soeharto dari luar lingkarannya,” ujar Rizal Ramli.
0 komentar:
Posting Komentar