29.08.2016
Bagaimana manusia keluar dari ketakutan yang membuatnya tak mampu
menerima kebhinekaan, melainkan membuntuti ideologi fasis bergaya preman
dan siap untuk berkorban bagi sebuah ide yang abstrak? Simak opini Timo
Duile.
Berikut ini merupakan bagian terakhir ulasan mengenai kebangkitan benih-benih fasisme gaya baru di Indonesia. Jika pada bagian terdahulu telah diurai mengenai apa itu fasisme dan bagaimana benihnya muncul di Indonesia belakangan ini, maka dalam bagian penutup ini, dijabarkan bagaimana pada ujungnya kita dihadapkan oleh berbagai pilihan ketika diprovokasi dalam menghadapi musuh imajiner.
Bagian 3: Bela negara: Harga mati untuk apa?
Wacana bela negara yang dikumandangkan pemerintah bekerjasama dengan TNI menyatakan ingin membuat 900 pusat latihan “bela negara” di Indonesia sampai tahun 2018.
Menurut hemat saya, pusat bela negara ini bisa menjadi tempat untuk manusia yang tidak nyaman sebagai individu, yang ingin merasa diri kuat dalam kelompok dengan tujuan kolektif, yaitu menolak musuh imajiner. Karena itu, pusat latihan bela negara bisa dengan mudah dicurigai sebagai basis penyemaian ideologi fasis.
Program bela negara ini juga mengangkat kembali peran militer. Dalam latihan bela negara maka komunisme, LGBT dan narkoba disebutkan sebagai musuh.
Menurut Jendral Purnawirawan Kivlan Zein, saat ini sudah ada 15 juta pengikut PKI. Buktinya? Jelas, 15 juta anggota PKI ini hanya di kepala Kivlan Zein sendiri. Hanya musuh dalam kepala saja. Pada konferensi anti-PKI yang dilakukan di Jakarta pertengahan tahun 2016, membuktikan, bagi TNI, komunisme adalah akar dari kejahatan.
Masyarakat didorong untuk percaya bahwa komunisme adalah musuh bersama yang mengancam kedaulatan negara. Dalam konteks ini, menteri pertahanan menyatakan dalam latihan bela negara orang belajar untuk "akhirnya siap bekerja untuk bangsa dan negaranya, bila perlu mati untuk negaranya."
Ini adalah tujuan ideologi fasis: Semua individu SIAP MATI atas nama perintah apapun, yang penting perintah itu dari pemimpin. Dan karenanya, individu dan nyawa manusia, dalam fasisme dianggap tidak penting. Pejabat negara yang berkewajiban untuk membela demokrasi, malah lebih memelihara ketakutan dan pola pikir otoriter.
Jika fasisme gaya baru akan bangkit, maka membutuhkan ideologi negara dan agama sebagai landasannya. Bukan patriotisme sebagai gagasan emansipatoris seperti pada zaman revolusi kemerdekaan, dan agama bukan pula hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan. Dalam fasisme, keduanya menjadi sebatas simbol identitas.
Pemikir otoriter seperti pejabat negara dan militer sudah memelihara ideologi di mana individu tidak berharga lagi. Dalam keadaan darurat (dalam fasisme berlaku masa darurat perang di mana semua musuh diperbolehkan untuk dimusnahkan)-- bukan individu yang dianggap penting, melainkan perintah dari pemimpin.
Kemampuan untuk berpikir mandiri merupakan ancaman untuk persatuan rombongan fasis, dan setiap anggota harus siap mengorbankan diri untuk sebuah ideologi.
Pentingnya individu
Padahal, banyak angkatan 45 yang berjuang untuk kemerdekaan menilai individualitas adalah hal utama. Dalam novel atau puisi angkatan 45 kita bisa merasakan semangat perjuangan, semangat untuk membangun negara supaya manusia Indonesia bisa menjadi individu yang bebas. Tujuan perjuangan tersebut bukan membangun persatuan di mana individu dilenyapkan jadi kelompok.
Sayangnya, panglima militer masih memelihara narasi tentang individu yang harus siap mengorbankan diri untuk kelompok. Ada banyak contoh untuk semangat perjuangan kemerdekaan tersebut.
Yang paling terkenal mungkin puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, sebuah puisi tentang individu yang siap berjuang sebagai individu dan tidak sekedar menjadi bagian rombongan saja.
Sebenarnya, bukan negara atau bangsa saja yang merupakan fokus angkatan 45, tmelainkan individu. Indonesia dididik dengan janji atas kebahagiaan untuk semua masyarakat, suku, golongan agama dan ideologi yang ada di Indonesia ini yang begitu lama dijajah.
Salah satu contohnya adalah novel ”Jalan Tak Ada Ujung“ karya Mochtar Lubis. Tokoh protagnis novelnya yang bernama Hazil, merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang menjelaskan nilai-nilai perjuangan setelah dia selesai memainkan biolanya:
„Ini adalah musik menyanyikan perjuangan manusia sebagai manusia.(…) Manusia seorang-seorang. Tahukah engkau maksud? Bagaimana harus aku terangkan? Perjuangan manusia yang bukan dalam gerombolan. Bukan salak serigala dalam kawanan yang melakukan pemburuan, tapi salak dan geram, sedu-sedan, dan teriak nyaring serigala seekor-seekor yang merebut hidup.
Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini jalan yang tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.”
Justru impian pejuang kemerdekaan ini diancam pikiran fasis yang membenci kebebasan individu. Pejuang kemerdekaan memberi contoh bahwa justru dalam keadaan darurat, individu sangat penting dan bahkan bisa menjadi dasar perjuangan.
Melawan musuh imajiner
Kalau kita mau mewujudkan impian perjuangan kemerdekaan, kita tidak boleh percaya kepada institusi yang mengajak masyarakat untuk membenci dan memelihara musuh imajiner sampai individualitas lenyap dalam kebencian kolektif.
Kita harus membuat keputusan apakah negara punya tujuan sendiri dan kehidupan manusia hanyalah dijadikan alat, atau negara itu alat untuk kebebasan manusia dan bingkai untuk kebhinekaan.
Kita harus memilih apakah agama menjadi dasar identitas dan alasan untuk membenci orang lain atau agama adalah hubungan antara individu dengan Tuhan, sebuah hubungan yang mengajak kita untuk menerima kebhinekaan.
Indonesia tentu saja belum menjadi negara fasis. Jelas, Indonesia punya tradisi kebhinekaan yang panjang dan impian untuk membangun negara sebagai bingkai untuk tinggal bersama, agar setiap individu bisa hidup merdeka.
Tapi kejadian pada bulan-bulan terakhir kini mengajak semua orang yang percaya kepada martabat manusia untuk waspada dan melawan ideologi kebencian dan politik yang berusaha untuk memperalat individu atas nama ideologi apapun.
Bagaimana kita bisa keluar dari rasa takut --yang membuat manusia tidak mampu lagi menerima kebhinekaan tapi ikut ideologi fasis seperti disediakan kaum proto-fasis bergaya preman-- atau dalam ideologi yang membuat manusia siap untuk berkorban diri untuk sebuah ide yang abstrak?
Saya pikir, ketakutan ini hanya bisa hilang kalau kita saling mendengar, saling belajar dan menjadi mampu untuk berpikir mandiri.
Ada sebuah kisah menyentuh dari seorang kawan. Dia bercerita, dulu ia diminta ayahnya untuk menulis daftar orang-orang yang dianggap terlibat PKI di desanya.
Daftar ini sudah tua dan harus ditulis lagi. Tiba-tiba dia melihat nama seorang lelaki yang dia kenal di daftar anggota PKI, lelaki baik yang selalu membantu dan selalu sopan. Dia bingung dan bertanya-tanya: ‘Bukankah PKI manusia yang buruk dan kejam?‘ Lelaki tersebut tak seperti itu. Ia lantas meminta ayahnya untuk menghapus nama lelaki baik tersebut dari daftar. Ayahnya menolak keinginan itu, tapi dia berkata: “Sekarang kamu sudah tahu tentang PKI.“
Ketakutan yang membuat manusia tidak bebas dan lari ke ideologi fasis bisa hilang pada saat kita melihat mausia lain tanpa kaca mata ideologi yang memelihara kebencian. Pada saat manusia sebagai individu muncul, sebagai saudara yang berbeda, kita jadi mampu untuk melawan ideologi fasis.
Penulis: Timo Duile
belajar Ilmu Politik, Antropologi dan Filsafat di Universitas Bonn, Jerman, dan Bahasa Indonesia di Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia. Kini, dia adalah dosen dan peneliti di Departmen Ilmu Asia Tenggara di Universitas Bonn dan dosen di Departmen Antropologi di Universitas Köln.
http://www.dw.com/id/mencurigai-kebangkitan-fasisme-gaya-baru-di-indonesia-bag3/a-19497105
0 komentar:
Posting Komentar