Australia Plus ABC - detikNews
Jumat 12 Aug 2016, 14:23 WIB
Melbourne - Sejarawan Universitas
Gadjah Mada Dr Abdul Wahid mengemukakan hipotesa terjadinya genosida
intelektual di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia pasca peristiwa
1965. Hal itu ditandai dengan pemecatan dan penyingkiran ribuan dosen
dan mahasiswa yang dituding sebagai elemen kiri.
Hal itu dikemukakan Dr Abdul Wahid dalam kuliah umum di kampus Melbourne University, Kamis (11/8/2016) malam. Kegiatan yang digelar bekerja sama dengan Herb Feith Foundation, Indonesia Initiative dari Faculty of Arts, serta Indonesia Forum itu bertema "Was It an Intellectual Genocide? The Elimination of Leftist Elements in the Indonesian Higher Education, 1965-1980".
Dikatakan, salah satu sektor yang masih belum banyak dikaji secara terinci adalah dunia kampus atau pendidikan tinggi. Kajian Dr Wahid yang didasarkan atas berbagai sumber primer dan wawancara, mencoba menganalisis bagaimana kampanye anti komunis yang dijalankan Orde Baru berubah menjadi genosida intelektual, yang mengubah kehidupan akademik dan pengelolaan universitas di Indonesia.
Dijelaskan, sejak era Demokrasi Terpimpin seluruh elemen bangsa diarahkan untuk mendukung revolusi yang didengungkan Presiden Sukarno. "Universitas pun harus ambil bagian dan menjadi alat revolusi," jelasnya.
Dalam perkembangannya, Demokrasi Terpimpin dengan ideologi Nasakom dipandang lebih banyak menguntungkan PKI. Dan di era inilah pula lahir berbagai lembaga pendidikan yang berafiliasi atau terkait dengan PKI seperti Universitas Rakyat, Akademi Aliarcham dan lainnya.
Gerakan mahasiswa dan intelektual kiri pun sangat menonjol seperti CGMI, IPPI, HSI serta Serikat Pekerja Pendidikan. "Nasakom pun masuk kampus dan mewarnai kehidupan kemahasiswaan melalui berbagai organisasi mahasiswa yang saling bersaing," kata Dr Wahid.
Sejak 1959 elemen kiri ini sangat agresif dalam mempengaruhi kehidupan kampus, bahkan ada dosen yang dipecat karena dianggap tidak mendukung Nasakom.
Di sisi lain perkembangan pendidikan tinggi cukup pesat, dari 8 universitas negeri menjadi 39 universitas negeri di tahun 1963. Selain itu dari 112 universitas swasta menjadi 228 di tahun 1965.
"Secara keseluruhan terdapat 355 universitas dan akademi dengan 278 ribu mahasiswa," jelas Dr Wahid, yang mendapatkan PhD-nya dari Utrecht University, Belanda.
Aspek lain dari kondisi sebelum peristiwa 1965 adalah giatnya kerjasama pendidikan tinggi Indonesia dengan dunia internasional baik dari Barat maupun Timur. Negara-negara Barat cenderung membantu capacity building sementara negara Blok Timur membantu di sektor pembangunan infrastruktur.
"UGM misalnya, mendapatkan bantuan pengembangan laboratorium atom dari Uni Sovyet," katanya.
Namun setelah terjadi peristiwa 1965, Menteri Pendidikan Tinggi saat itu langsung menerbitkan SK Nomor 1 tahun 1965 yang menutup 14 institusi pendidikan tinggi yang disinyalir terkait dengan PKI.
Dalam keputusan Menteri PTIP selanjutnya 2 universitas PKI juga ditutup serta organisasi mahasiswa CGMI dinyatakan terlarang.
"Sejak itu, proses skrining berlangsung di seluruh lembaga pendidikan tinggi, namun hasilnya hingga kini masih tertutup. Hanya segelintir universitas yang melaporkan hasil skrining ini," jelas master lulusan Leiden University ini.
Proses skrining di lingkungan pendidikan tinggi dijalankan dengan melibatkan unsur militer, selain tim skrining dari lingkungan kampus sendiri.
Hasilnya, di UGM misalnya tercatat 115 orang dosen dan staf yang disingkirkan bersama 3.006 orang mahasiswa. Mereka ini kemudian menjadi tahanan politik (Tapol).
Data yang disampaikan Dr Wahid menyebutkan, di Unpad ada 25 dosen dan staf serta 227 mahasiswa yang disingkirkan, sedangkan di IKIP Bandung 17 dosen dan 63 mahasiswa.
Di Undip tercatat 17 dosen sedangkan di USU Medan ada 5 dosen dan 10 mahasiswa yang disingkirkan.
Selanjutnya di Universitas Andalas Padang ada 39 mahasiswa serta di Universitas Hasanuddin Makassar 95 dosen dan staf disingkirkan.
Data yang disampaikan Dr Wahid juga menyebutkan bahwa Universitas Sam Ratulangi Manadi menyingkirkan 24 dosen dan 100 mahasiswa yang dicap kiri sedangkan di IKIP Manado ada 19 mahasiswa.
Terakhir di Universitas Mulawarman ada 299 dosen dan staf serta 3.464 orang mahasiswa yang disingkirkan karena dianggap tidak bersih lingkungan.
"Universitas Indonesia tidak ada laporan hasil skrining ini namun diperkirakan sekitar 1.000 mahasiswa dari GMNI ASU yang disingkirkan," katanya.
"Proses skrining ini di antaranya membuat dosen menjadi mata-mata," kata Dr Wahid.
Dampak lainnya dari peristiwa 1965 adalah terjadinya penyitaan aset-aset lembaga pendidikan milik PKI dan afiliasinya. "Namun tidak kalah pentingnya adalah hilangnya ribuan generasi intelektual kosmopolitan di Indonesia," katanya.
Di antara para korban yang disingkirkan itu adalah Dr Busono Wiwoho (UGM), Prof. Tjan Tjoe Som (UI), Dr Gunawan Wiradi (IPB).
Selain itu, buku-buku literatur kiri hilang dan dilarang bersamaan dengan hilangnya tradisi teori-teori kritis. "Muncul budaya ketakutan dan self sensorship di kalangan akademis," jelas Dr Wahid lagi.
Dari paparan itu, Dr Wahid mengajukan hipotesa telah terjadi semacam genosida intelektual yang ditandai dengan adanya niat yang jelas untuk menghilangkan suatu kelompok yang menjadi sasaran berdasarkan ideologi.
Hal itu dikemukakan Dr Abdul Wahid dalam kuliah umum di kampus Melbourne University, Kamis (11/8/2016) malam. Kegiatan yang digelar bekerja sama dengan Herb Feith Foundation, Indonesia Initiative dari Faculty of Arts, serta Indonesia Forum itu bertema "Was It an Intellectual Genocide? The Elimination of Leftist Elements in the Indonesian Higher Education, 1965-1980".
Dikatakan, salah satu sektor yang masih belum banyak dikaji secara terinci adalah dunia kampus atau pendidikan tinggi. Kajian Dr Wahid yang didasarkan atas berbagai sumber primer dan wawancara, mencoba menganalisis bagaimana kampanye anti komunis yang dijalankan Orde Baru berubah menjadi genosida intelektual, yang mengubah kehidupan akademik dan pengelolaan universitas di Indonesia.
Dijelaskan, sejak era Demokrasi Terpimpin seluruh elemen bangsa diarahkan untuk mendukung revolusi yang didengungkan Presiden Sukarno. "Universitas pun harus ambil bagian dan menjadi alat revolusi," jelasnya.
Dalam perkembangannya, Demokrasi Terpimpin dengan ideologi Nasakom dipandang lebih banyak menguntungkan PKI. Dan di era inilah pula lahir berbagai lembaga pendidikan yang berafiliasi atau terkait dengan PKI seperti Universitas Rakyat, Akademi Aliarcham dan lainnya.
Gerakan mahasiswa dan intelektual kiri pun sangat menonjol seperti CGMI, IPPI, HSI serta Serikat Pekerja Pendidikan. "Nasakom pun masuk kampus dan mewarnai kehidupan kemahasiswaan melalui berbagai organisasi mahasiswa yang saling bersaing," kata Dr Wahid.
Sejak 1959 elemen kiri ini sangat agresif dalam mempengaruhi kehidupan kampus, bahkan ada dosen yang dipecat karena dianggap tidak mendukung Nasakom.
Di sisi lain perkembangan pendidikan tinggi cukup pesat, dari 8 universitas negeri menjadi 39 universitas negeri di tahun 1963. Selain itu dari 112 universitas swasta menjadi 228 di tahun 1965.
"Secara keseluruhan terdapat 355 universitas dan akademi dengan 278 ribu mahasiswa," jelas Dr Wahid, yang mendapatkan PhD-nya dari Utrecht University, Belanda.
Aspek lain dari kondisi sebelum peristiwa 1965 adalah giatnya kerjasama pendidikan tinggi Indonesia dengan dunia internasional baik dari Barat maupun Timur. Negara-negara Barat cenderung membantu capacity building sementara negara Blok Timur membantu di sektor pembangunan infrastruktur.
"UGM misalnya, mendapatkan bantuan pengembangan laboratorium atom dari Uni Sovyet," katanya.
Namun setelah terjadi peristiwa 1965, Menteri Pendidikan Tinggi saat itu langsung menerbitkan SK Nomor 1 tahun 1965 yang menutup 14 institusi pendidikan tinggi yang disinyalir terkait dengan PKI.
Dalam keputusan Menteri PTIP selanjutnya 2 universitas PKI juga ditutup serta organisasi mahasiswa CGMI dinyatakan terlarang.
"Sejak itu, proses skrining berlangsung di seluruh lembaga pendidikan tinggi, namun hasilnya hingga kini masih tertutup. Hanya segelintir universitas yang melaporkan hasil skrining ini," jelas master lulusan Leiden University ini.
Proses skrining di lingkungan pendidikan tinggi dijalankan dengan melibatkan unsur militer, selain tim skrining dari lingkungan kampus sendiri.
Hasilnya, di UGM misalnya tercatat 115 orang dosen dan staf yang disingkirkan bersama 3.006 orang mahasiswa. Mereka ini kemudian menjadi tahanan politik (Tapol).
Data yang disampaikan Dr Wahid menyebutkan, di Unpad ada 25 dosen dan staf serta 227 mahasiswa yang disingkirkan, sedangkan di IKIP Bandung 17 dosen dan 63 mahasiswa.
Di Undip tercatat 17 dosen sedangkan di USU Medan ada 5 dosen dan 10 mahasiswa yang disingkirkan.
Selanjutnya di Universitas Andalas Padang ada 39 mahasiswa serta di Universitas Hasanuddin Makassar 95 dosen dan staf disingkirkan.
Data yang disampaikan Dr Wahid juga menyebutkan bahwa Universitas Sam Ratulangi Manadi menyingkirkan 24 dosen dan 100 mahasiswa yang dicap kiri sedangkan di IKIP Manado ada 19 mahasiswa.
Terakhir di Universitas Mulawarman ada 299 dosen dan staf serta 3.464 orang mahasiswa yang disingkirkan karena dianggap tidak bersih lingkungan.
"Universitas Indonesia tidak ada laporan hasil skrining ini namun diperkirakan sekitar 1.000 mahasiswa dari GMNI ASU yang disingkirkan," katanya.
"Proses skrining ini di antaranya membuat dosen menjadi mata-mata," kata Dr Wahid.
Proses skrining itu, kata Dr Wahid, terus berlanjut hingga tahun 1987 termasuk hingga ke perekrutan dosen. "Sejak 1987 hingga 1998, tim itu diubah menjadi tim penelitian khusus (litsus)," jelasnya.Namun di sisi lain, ada pula kalangan professor yang berupaya menyelamatkan dosen-dosen muda dari proses penyingkiran ini dengan cara menyekolahkan mereka ke luar negeri.
Dampak lainnya dari peristiwa 1965 adalah terjadinya penyitaan aset-aset lembaga pendidikan milik PKI dan afiliasinya. "Namun tidak kalah pentingnya adalah hilangnya ribuan generasi intelektual kosmopolitan di Indonesia," katanya.
Di antara para korban yang disingkirkan itu adalah Dr Busono Wiwoho (UGM), Prof. Tjan Tjoe Som (UI), Dr Gunawan Wiradi (IPB).
Selain itu, buku-buku literatur kiri hilang dan dilarang bersamaan dengan hilangnya tradisi teori-teori kritis. "Muncul budaya ketakutan dan self sensorship di kalangan akademis," jelas Dr Wahid lagi.
Dari paparan itu, Dr Wahid mengajukan hipotesa telah terjadi semacam genosida intelektual yang ditandai dengan adanya niat yang jelas untuk menghilangkan suatu kelompok yang menjadi sasaran berdasarkan ideologi.
(nwk/nwk)
http://news.detik.com/australiaplus/3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965
0 komentar:
Posting Komentar