Martin Sitompul | 22 Agu 2016, 21:10
Larangan penyebaran Komunisme dicanangkan masuk dalam KUHP. Isinya masih kabur: menangkal musuh ideologi negara atau meneruskan otoritarianisme ala Orde Baru.
Kiri-kanan: Supriyadi Widodo Eddyono (direktur eksekutif ICJR); Roichawatul Aswidah (wakil ketua Komnas HAM RI); Dr. Shidarta, SH, M.Hum (akademisi Universitas Binus); Ifhdal Kasim (advokat senior/ketua Komnas HAM 2007-2012); dan Dr. Mahmud Syaltout, SH, DEA (Akademisi UI). Foto: Nugroho Sejati/Historia.
ISU Komunisme yang mengemuka belakangan ini membuat Komisi III DPR RI akan menetapkannya sebagai tindak kejahatan terhadap keamanan dan ideologi negara. Komisi III memasukkan larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam Rancangan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) pasal 219 dan 220. Pelanggarannya akan berbuah sanksi pidana penjara paling lama 7 tahun (Pasal 219) dan 10 tahun (Pasal 220).
Pasal 219 berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”
Sementara Pasal 220 berisi ancaman bagi orang yang (a) mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan (b) melakukan hubungan dengan organisasi yang berasaskan Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pasal 219 menjadi sorotan. “Ini adalah pasal karet yang dapat merampas hak asasi manusia,” kata Supriyadi Widodo Eddyono, direktur eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), dalam diskusi publik “Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara dalam RKUHP” di Bakoel Koffie Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat, Senin (22/8).
Menurut Supriyadi, pasal tersebut masih multitafsir. Terdapat perumusan yang samar-samar mengenai perbuatan yang dilarang: dalil seperti apa yang dikatakan melanggar hukum. Batasan untuk tujuan ilmiah atau akademis juga tidak diterakan di dalamnya. Pasal ini, lanjutnya, sama dengan TAP MPRS Nomor XXV/1966 yang di masa Orde Baru cukup ampuh sebagai alat kuasa untuk menolak bahkan membabat hampir seluruh organisasi-organisasi yang dicap sebagai komunis atau “berbasis kiri.”
Isu Komunisme terbukti sangat rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Akademisi Universitas Indonesia, Mahmud Syaltout mencatat, sepanjang tahun ini, sebanyak 80 persen tindak pidana kebebasan berekspresi di Indonesia bertalian dengan isu Komunisme yang meliputi perbuatan: pemutaran film, diskusi/seminar, perkumpulan, penelitian, hingga kunjungan ke makam.
Menurut Syaltout sanksi yang dikenakan maupun penindaknya, ilegal secara hukum. Dia merujuk pada aksi sepihak seperti intimidasi, pelarangan, pembubaran paksa, penangkapan, hingga perusakan. Kebanyakan dari tindakan tersebut dilakukan oleh kepolisian, TNI, ormas kekerasan, ormas kepemudaan, ormas agama, sampai warga biasa.
“Ini gila. Sampai sekarang, Komunis masih bagaikan hantu yang membahayakan,” ujar Syaltout.
Pembicara lain dalam diskusi, Ifdhal Kasim, mantan ketua Komnas HAM, mempertanyakan keperluan memperluas pasal kejahatan terhadap negara (crime against state) mencakup ideologi. Menurutnya, hukum pidana tidak memasuki alam pikiran orang lain, termasuk ideologi. Hal ini berlaku di hampir semua negara berpaham demokratis.
Ifdhal menyatakan pasal pelarangan Komunisme yang sedang dirancang bertujuan untuk memastikan siapa musuh negara dan memformalisasi cara menghadapinya.
“Kalau ini dirumuskan pada masa Perang Dingin masih masuk akal. Tapi kalau sekarang (pasal) ini dimasukan ke dalam KUHP rasanya mubajir, karena akan lebih banyak dampaknya terhadap pelanggaran hak asasi manusia daripada melindungi negara dari ancaman ideologi,” ujarnya.
Senada dengan itu, menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Roichawatul Aswidah, pemikiran dan keyakinan seseorang tidak bisa dipidana. Namun pembatasan tetap diperlukan apabila pemikiran dan ideologi mulai diungkapkan memasuki ruang publik.
“Pembatasan hanya bisa dilakukan apabila keamanan publik terganggu. Itu pun tidak bisa sewenang-sewenang. Jika kebebasan berekspresi itu ditujukan untuk menghasut permusuhan, memprovokasi, dan menabur kebencian (hate speech), maka KUHP mengizinkan tindak pidana,” ujarnya.
Roichawatul juga mengharapkan agar rancangan pasal tersebut disusun secara cermat dan hati-hati agar tidak menjadi pembenaran bagi negara untuk melanggar hak asasi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar