Oleh: Charis Subarcha
Diskusi dan halal bihalal
dengan para korban 65/66 beserta sosialisasi hasil International
People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda awalnya berencana
diadakan di kampus Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabya, akan
tetapi batal karena adanya info akan di bubarkan sehingga para panitia
memindah acara tersebut di Sekretariat Rumah Baca Marhaen Jl. Pucang Adi
62 Surabaya.
Acara tersebut akhirnya terlaksana pada hari Senin 15 Agustus 2016 dengan dengan di ikuti oleh beberapa elemen
masyarakat dan aktivis diantaranya yaitu Pemuda Demokrat Jawa Timur,
Pemuda Demokrat Gresik, Pemuda Demokrat Surabaya, Pemuda Demokrat
Pamekasan, DPC GMNI Kota Surabaya, LAMRI dan masyarakat sekitar.
Acara
yang berlangsung mulai pukul 10.00 – 15.00 WIB dibuka oleh Ketua Pemuda
Demokrat Jawa Timur yaitu Bung Vabianus Hendrik, S.Hum.
Sudah 6 bulan lebih pasca keputusan
International People’s Tribunal di Den Haag Belanda tentang peristiwa
Pelanggaran HAM dan Genosida yang terjadi pada jaman Rezim Orde Baru
tidak kunjung jelas nasibnya. Hal tersebut jelas membuat beberapa korban
Pelanggaran HAM dan Genosida merasa kecewa dengan sikap pemerintah,
ujar pak Greg salah satu korban 65/66 eks Lekra. Hingga saat ini
beberapa bukti terkait kekejaman jaman orde baru tahun 1965/1966 sudah
mulai terkuak, di temukannya kuburan massal di daerah purwodadi semakin
membuat rasa sedih bagi generasi bangsa. Beberapa penelitian pun
mengungkapkan beberapa data menunjukan bahwa banyak korban yang di bunuh
menggunakan klewang dan di siksa secara kejam. Ada beberapa bentuk
kejahatan yang terjadi pada jaman Orde Baru diantaranya pembunuhan
massal, pemusnaan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan
massal, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan
Negara lain dan genosida.
Kejahatan tersebut disampaikan dan disimpulkan
dalam sidang International People’s Tribunal di Den Haag Belanda.
Kejadian tersebut tidak hanya dialami oleh pengurus Partai Komunis
Indonesia yang sampai hari ini menjadi partai terlarang beserta
loyalisnya, akan tetapi perlakuan kejahatan tersebut juga terdampak pada
beberapa anggota,pengurus dan loyalis organisasi atau partai lain juga
yang dianggap “kiri” diantaranya PNI progresif, pengikut maupun loyalis
sukarno,Gerwani, Pemuda Rakyat, dan masih banyak lagi. Hal yang paling
mengherankan juga diketahui oleh beberapa masyarakat bahwa bebrapa data
valid melalui Telegram bahwa adanya keterlibatan Negara lain dalam
peristiwa tersebut untuk menggulingkan Presiden Sukarno dan pengikutnya
termasuk Partai Komunis Indonesia. Seperti dalam laporan Central
Intelligence Agency (CIA) Amerika bahwa kejadian tersebut merupakan
kejadian terbesar ke tiga dalam genosida. Kesaksian dan cerita bapak
latief (85 tahun) eks anggota Pemuda Rakyat mengatakan selama di penjara
di pulau buru beliau mengalami beberapa siksaan yang tidak sewajarnya
dilakukan oleh aparat Negara yang seharusnya melindungi Rakyat.
Dalam perjalanannya saudari Nursyabani
katjasungkana sebelum mengusulkan sidang rakyat (IPT) di Den Haag
Belanda, Sebelumnya terlebih dahulu membentuk tim untuk investigasi
tentang tragedi 1965/1966 untuk memperkuat bukti – bukti bahwa adanya
pelanggaran HAM dan genosida kompilasi penelitian agar memastikan bahwa
adanya unsur unsur pelanggaran HAM dan Genosida yang terjadi pada
1965/1966 yang kira – kira ada 40 peneliti yang menyumbangkan karyanya
yang dijadikan sebagai pijakan dalam menyusun surat dakwaan yang
nantinya akan di bawa dalam International People’s Tribunal di Den Haag.
Perlu diketahui bahwa International People’s Tribunal sejak tahun 1967
sudah pernah dilakukan oleh para pegiat kemanusaiaan, kejahatan perang
oleh betrand Russel filsuf dari inggris,Jean Paul Sartre dari Perancis
dalam kejahatan perang Vietnam 1967 di London . Karena sering digunakan
untuk advokasi Internasional Russel mempunyai secretariat permanen di
Italia namanya Permanen People’s Tribunal.
Perbedaan antara
International People’s Tribunal dengan Permanen People’s Tribunal yaitu
Permanen People’s Tribunal bersifat permanen secara prosedur kita harus
menyusun kronologi, bukti-bukti tapi mereka yg mengelola lalu
hakim,panitera dll mereka yang tentukan dan biayanya kita membayar,
sedangkan International People’s Tribunal bersifat ad hoc kita menyusun
bukti-bukti,surat dakwaan, kronologi dan hakim,panitera kita yang
memilih.
Dalam keputusan International People’s
Tribunal di Den Haag Belanda, Hakim IPT 1965 membacakan tiga rekomendasi
terhadap pemerintah Indonesia dan mendesak hakim agung
untuk menindaklanjuti laporan penyelidikan kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan 1965 dan Komnas HAM, yaitu :
1. Meminta maaf kepada semua korban, penyintas dan keluarga
untuk peran Negara dalam semua tindak kejahatan kemanusiaan yang terkait
dengan peristiwa 1965 dan sesudahnya di Indonesia.
2. Melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan.
3. Memastikan kompensasi dan santunan yang memadai bagi korban dan penyintas.
1. Beberapa langkah yang coba akan dilakukan oleh Nursyabani
katjasungkana maupun Timnya yaitu menyerahkan salinan keputusan sidang
International People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda kepada
pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sudah di terimah oleh bapak
Teten Masduki
2.Mendorong pemerintah agar melaksankan hasil sidang International People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda secepatnya.
3. Mencari dukungan dari Negara – Negara lain untuk Mendorong Pemerintah Indonesia agar menindak lanjuti hasil keputusan sidang International People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda dalam sidang laporan Pemerintah Indonesia yang di bacakan saat sidang di PBB tiap tahunnya atau setiap 3 tahun pada bulan April 2017 mendatang.
4. Mendorong pemerintah agar melaksanakan hasil symposium tragedi 1965, pendekatan sejarah pada 18 – 19 April 2016 yaitu : membentuk komite kepresidenan untuk mengungkap kejahatan 1965/1966.
Dari diskusi tersebut menutut Charis Subarcha, ST yang juga Wakabid GmnI Kota Surabaya mengatakan bahwa pemerintah harus benar – benar serius untuk menyelesaikan kasus ini agar tidak terulang dalam generasi mendatang, selain itu mereka para professor maupun pejabat pemerintah harus obyektif dalam menilai kasus pelanggaran HAM berat dan Genosida yang terjadi selama orde baru berkuasa dan mereka harus menggunakan ilmu pengetahuannya untuk keberpihakan kepada masyarakat luas dan keadilan. Jangan sampai mereka menuntut ilmu sampai mendapat gelar professor tetapi ilmu mereka digunakan untuk memihak kepentingan kelompok maupun elit dan jangan malah dijadikan untuk menindas masyarakat demi keuntungan pribadi. Begitupun jika saya melihat semangat para kakek/nenek (karena umurnya seumuran dengan kakek/nenek saya) ini disiasiakan oleh Negara atau pejabat pemerintahan, karena mereka adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat mereka yang masih menyala demi mewujudkan mimpi untuk menuntut Negara agar berlaku adil terhadap siapapun perlu diapresiasi dan kita sebagai generasi penerus harus banyak belajar kepada beliau yang walaupun umurnya sudah tidak muda lagi tapi semangat Nasionalismenya masih membara demi untuk mewujudkan amanat Revolusi kemerdekaan 1945 yaitu Masyarakat Adil dan Makmur.
Berita ditulis oleh : Charis Subarcha, Aktivis GMNI Kota Surabaya2. Melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan.
3. Memastikan kompensasi dan santunan yang memadai bagi korban dan penyintas.
Dari penjelasan diatas tentunya tidak bisa
secara langsung dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, ungkap salah
satu pejabat pemerintah. Hal tersebut sudah dibuktikan dengan adanya pro
dan kontra terhadap proses maupun hasil dari International People’s
Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda. Sering saling lempar berkas
dalam penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) berat 1965/1966 menjadi
problematika selama ini.
Hal itu semakin memperkuat bahwa Hukum di
Negara ini masih jauh dari kata obyektif dan adil terhadap masyarakat
Indonesia, padahal para korban kejahatan HAM 65/66 dan genosida tidak
meminta pemerintah agar menuruti apa yang mereka minta, akan tetapi
hanya meminta agar hukum dijalankan sesuai dengan semestinya. Bahkan
mereka hanya meminta agar pemerintah memintah maaf kepada semua para
korban pelanggaran HAM berat dan genosida, ungkap salah satu korban yang
tidak mau disebut namanya.
2.Mendorong pemerintah agar melaksankan hasil sidang International People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda secepatnya.
3. Mencari dukungan dari Negara – Negara lain untuk Mendorong Pemerintah Indonesia agar menindak lanjuti hasil keputusan sidang International People’s Tribunal (IPT 65) di Den Haag Belanda dalam sidang laporan Pemerintah Indonesia yang di bacakan saat sidang di PBB tiap tahunnya atau setiap 3 tahun pada bulan April 2017 mendatang.
4. Mendorong pemerintah agar melaksanakan hasil symposium tragedi 1965, pendekatan sejarah pada 18 – 19 April 2016 yaitu : membentuk komite kepresidenan untuk mengungkap kejahatan 1965/1966.
Dari diskusi tersebut menutut Charis Subarcha, ST yang juga Wakabid GmnI Kota Surabaya mengatakan bahwa pemerintah harus benar – benar serius untuk menyelesaikan kasus ini agar tidak terulang dalam generasi mendatang, selain itu mereka para professor maupun pejabat pemerintah harus obyektif dalam menilai kasus pelanggaran HAM berat dan Genosida yang terjadi selama orde baru berkuasa dan mereka harus menggunakan ilmu pengetahuannya untuk keberpihakan kepada masyarakat luas dan keadilan. Jangan sampai mereka menuntut ilmu sampai mendapat gelar professor tetapi ilmu mereka digunakan untuk memihak kepentingan kelompok maupun elit dan jangan malah dijadikan untuk menindas masyarakat demi keuntungan pribadi. Begitupun jika saya melihat semangat para kakek/nenek (karena umurnya seumuran dengan kakek/nenek saya) ini disiasiakan oleh Negara atau pejabat pemerintahan, karena mereka adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat mereka yang masih menyala demi mewujudkan mimpi untuk menuntut Negara agar berlaku adil terhadap siapapun perlu diapresiasi dan kita sebagai generasi penerus harus banyak belajar kepada beliau yang walaupun umurnya sudah tidak muda lagi tapi semangat Nasionalismenya masih membara demi untuk mewujudkan amanat Revolusi kemerdekaan 1945 yaitu Masyarakat Adil dan Makmur.
( Mahasiswa S2 Chemical Engineering Bandung Institute of Technology )
http://www.berdikaribook.red/diskusi-dan-halal-bihalal-dengan-korban-65-66-beserta-sosialisasi-hasil-ipt
0 komentar:
Posting Komentar