Oleh: Sunardian Wirodono
“Berbeda dengan wayang yang disebut sebagai kesenian orang
berada,” ujar Trisno Pelok Santoso, dosen FSP-ISI Surakarta,
“kethoprak
itu kesenian orang bawah..”
Menurut Barbara Hatley, professor emeritus Universitas Tasmania, pada 1925 rombongan kethoprak Krida Madya Utama Surakarta melawat ke Klaten, Prambanan, kemudian berpentas di dusun Demangan, Yogyakarta. Kethoprak merebak di kota ini, dan lebih disempurnakan. Tema cerita mengambil babad dan sejarah, namun kostum tak boleh menyamai pakaian kebesaran keraton.
Seperempat abad kemudian, pada 1955, kethoprak profesional (tobongan)
menjamur. Banyak grup kethoprak bersaing dalam kreasi cerita dan teknik
pementasan. Namun sebagai kesenian orang bawah, kethoprak tak luput
pergesekan politik. Kelompok kethoprak terbagi dua: LKN (PNI) dan Lekra
(PKI).
BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Kethoprak Seluruh Indonesia), yang berhaluan komunis, menaungi 275 grup (1957) dan menjadi 371 grup (1964).
Lakon-lakon kethoprak menjadi corong politik. Lekra memanfaatkan kethoprak sebagai sarana perjuangan dan propaganda. Mereka mengubah seni tradisional menjadi seni progresif revolusioner. Kethoprak Mataram Krida Mardi, dibawah naungan Lekra, menurut Hersri, menjadi ‘Kethoprak Rakyat Jawa’.
Saat menampilkan lakon Bandung Bandawasa, berbeda dengan cerita konvensional. Yang semestinya berkisah tentang kesatria membangun seribu candi berkat bantuan jin, diubah membangun candi dengan cara kerja paksa. Cerita seperti itu malah digandrungi petani, buruh, dan rakyat kelas bawah.
Namun meledaknya Peristiwa 30 September 1965, menjadi awal bencana.
Grup-grup kethoprak di bawah Lekra, tak ayal dituding antek PKI. Termasuk Kadariyah, primadona Kridha Mardi (wafat April 2016 lalu).
Ia dituding sebagai Gerwani, ditangkap 2 November 1965. Suyatin, suaminya, selamat karena ikut grup kethoprak dan dagelan Japendi (Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta). Tapi Bondan Nusantara, anak mereka yang masih SMP, dikeluarkan dari sekolah dengan tudingan tersangkut PKI. Anak sekecil itu? Iya, dulu. Kini ia orang besar di dunia kethoprak.
Sejak itu, kehidupan seniman kethoprak tak menentu. Mereka ditangkap dan dipenjarakan, dianggap berafiliasi dengan PKI. Tjokro Djadi, anggota Fraksi PKI DPRD Yogyakarta, juga ketua Bakoksi, hilang dan diduga dieksekusi. Sasmito, pengurus Krida Mardi dan anggota DPRD Kota Yogya, ditahan di Pulau Buru selama 13 tahun. Kadariyah, selama 7 tahun dibui di Semarang dan Ambarawa, tanpa pengadilan. Bukan anggota Lekra, namun karena dalam Pemilu 1955 ia nyoblos PKI.
Pada dekade 70-an, zaman Soeharto, kethoprak tobong digunakan sebagai sarana menyampaikan program pemerintah. Si jahat harus berbaju merah, dan tokoh baik berkostum kuning. Para niyaga, juga berseragam kuning-kuning. Di sungai, waktu itu, juga banyak kuning-kuning.
https://www.facebook.com/sunardian/posts/10210068226293281
BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Kethoprak Seluruh Indonesia), yang berhaluan komunis, menaungi 275 grup (1957) dan menjadi 371 grup (1964).
Lakon-lakon kethoprak menjadi corong politik. Lekra memanfaatkan kethoprak sebagai sarana perjuangan dan propaganda. Mereka mengubah seni tradisional menjadi seni progresif revolusioner. Kethoprak Mataram Krida Mardi, dibawah naungan Lekra, menurut Hersri, menjadi ‘Kethoprak Rakyat Jawa’.
Saat menampilkan lakon Bandung Bandawasa, berbeda dengan cerita konvensional. Yang semestinya berkisah tentang kesatria membangun seribu candi berkat bantuan jin, diubah membangun candi dengan cara kerja paksa. Cerita seperti itu malah digandrungi petani, buruh, dan rakyat kelas bawah.
Namun meledaknya Peristiwa 30 September 1965, menjadi awal bencana.
Grup-grup kethoprak di bawah Lekra, tak ayal dituding antek PKI. Termasuk Kadariyah, primadona Kridha Mardi (wafat April 2016 lalu).
Ia dituding sebagai Gerwani, ditangkap 2 November 1965. Suyatin, suaminya, selamat karena ikut grup kethoprak dan dagelan Japendi (Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Yogyakarta). Tapi Bondan Nusantara, anak mereka yang masih SMP, dikeluarkan dari sekolah dengan tudingan tersangkut PKI. Anak sekecil itu? Iya, dulu. Kini ia orang besar di dunia kethoprak.
Sejak itu, kehidupan seniman kethoprak tak menentu. Mereka ditangkap dan dipenjarakan, dianggap berafiliasi dengan PKI. Tjokro Djadi, anggota Fraksi PKI DPRD Yogyakarta, juga ketua Bakoksi, hilang dan diduga dieksekusi. Sasmito, pengurus Krida Mardi dan anggota DPRD Kota Yogya, ditahan di Pulau Buru selama 13 tahun. Kadariyah, selama 7 tahun dibui di Semarang dan Ambarawa, tanpa pengadilan. Bukan anggota Lekra, namun karena dalam Pemilu 1955 ia nyoblos PKI.
Pada dekade 70-an, zaman Soeharto, kethoprak tobong digunakan sebagai sarana menyampaikan program pemerintah. Si jahat harus berbaju merah, dan tokoh baik berkostum kuning. Para niyaga, juga berseragam kuning-kuning. Di sungai, waktu itu, juga banyak kuning-kuning.
https://www.facebook.com/sunardian/posts/10210068226293281
0 komentar:
Posting Komentar