Rabu, 24/08/2016 18:52 WIB
Foto empat mahasiswa korban penembakan aparat
di kampus Trisakti, 1998 silam. Hingga kini, kasus penghilangan paksa
aktivis 1997/1998 dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lain masih belum
terungkap. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc. Desakan
ini untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait upaya
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriyani mengatakan, selama ini hasil penyelidikan Komnas HAM terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM berat tidak diproses di tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Salah satu alasannya, pengadilan HAM adhoc sebagai landasan dalam melakukan penyidikan, belum terbentuk.
Terkait kendala itu, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah menyebutkan presiden berwenang mengeluarkan Keppres untuk pembentukan pengadilan HAM adhoc. DPR juga telah memberikan rekomendasi terkait hal tersebut.
Mahkamah Konstitusi bahkan telah memberikan pertimbangan untuk penyelesaian kasus ini. Majelis mengafirmasi bahwa sesungguhnya penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikannya.
“Presiden tidak boleh lagi menghindar untuk membuat Keppres pengadilan HAM adhoc,” kata Yati di Kantor KontraS, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Lempar Tanggung Jawab
Dalam catatan KontraS, terdapat tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang kasusnya mandek di Kejaksaan Agung untuk diproses pada tahap penyidikan. Tiga berkas di antaranya Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989, KontraS menemukan ada praktik bolak-balik berkas dari penyidik Kejaksaan Agung kepada penyelidik Komnas HAM.
Praktik bolak-balik berkas di antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengakibatkan peniadaan hak konstitusi korban pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, Yati menilai negara sudah melakukan tindakan pelanggaran hak konstitusional karena memberikan ketidakpastian hukum bagi warga negaranya.
“Tidak dibenarkan jika Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dibiarkan berdebat terus, sementara presiden tidak mengambil tindakan. Tindakan dan dukungan politik presiden tetap diperlukan,” katanya.
Yati mengatakan, presiden harus segera memanggil dan mengkoordinasikan
Jaksa Agung sebagai penyidik dan Komnas HAM sebagai penyelidik, untuk
menindaklanjuti pertimbangan dan rekomendasi Mahkamah Konstitusi. Hal
ini untuk menjamin kepastian hukum bagi korban pelanggaran HAM berat
yang telah dilanggar oleh negara.
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Beberapa di antaranya adalah dengan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM; mengakhiri perbedaan pendapat antara kedua institusi dengan mengacu pada norma hukum yang telah mengatur kewenangan serta tugas penyelidik dan penyidik; menyusun solusi penyelesaian perbedaan pendapat yang konstitusional dan mengedepankan hak-hak korban untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum.
Pada Selasa (23/8) Majelis hakim MK memutus gugatan perkara dengan Nomor 75/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Paian Siahaan ayah korban penghilangan paksa 1997/1998 dan Ruyati Darwin ibunda korban kerusuhan Mei 1998. MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Keduanya mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi atas frasa 'kurang lengkap' yang tercantum dalam Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945.
Pemohon menilai frasa 'kurang lengkap' tersebut mengandung multitafsir sehingga mengakibatkan terjadinya bolak-balik berkas antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik selama sekitar 13 tahun.
Meski ditolak, penggugat dan kuasa hukum dari KontraS menghormati putusan karena majelis memberikan catatan penting dari pertimbangan tersebut.
(wis/asa)
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Yati Andriyani mengatakan, selama ini hasil penyelidikan Komnas HAM terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM berat tidak diproses di tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Salah satu alasannya, pengadilan HAM adhoc sebagai landasan dalam melakukan penyidikan, belum terbentuk.
Terkait kendala itu, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah menyebutkan presiden berwenang mengeluarkan Keppres untuk pembentukan pengadilan HAM adhoc. DPR juga telah memberikan rekomendasi terkait hal tersebut.
Mahkamah Konstitusi bahkan telah memberikan pertimbangan untuk penyelesaian kasus ini. Majelis mengafirmasi bahwa sesungguhnya penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikannya.
“Presiden tidak boleh lagi menghindar untuk membuat Keppres pengadilan HAM adhoc,” kata Yati di Kantor KontraS, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Lempar Tanggung Jawab
Dalam catatan KontraS, terdapat tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang kasusnya mandek di Kejaksaan Agung untuk diproses pada tahap penyidikan. Tiga berkas di antaranya Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989, KontraS menemukan ada praktik bolak-balik berkas dari penyidik Kejaksaan Agung kepada penyelidik Komnas HAM.
Praktik bolak-balik berkas di antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengakibatkan peniadaan hak konstitusi korban pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, Yati menilai negara sudah melakukan tindakan pelanggaran hak konstitusional karena memberikan ketidakpastian hukum bagi warga negaranya.
“Tidak dibenarkan jika Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dibiarkan berdebat terus, sementara presiden tidak mengambil tindakan. Tindakan dan dukungan politik presiden tetap diperlukan,” katanya.
|
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Beberapa di antaranya adalah dengan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM; mengakhiri perbedaan pendapat antara kedua institusi dengan mengacu pada norma hukum yang telah mengatur kewenangan serta tugas penyelidik dan penyidik; menyusun solusi penyelesaian perbedaan pendapat yang konstitusional dan mengedepankan hak-hak korban untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum.
Pada Selasa (23/8) Majelis hakim MK memutus gugatan perkara dengan Nomor 75/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Paian Siahaan ayah korban penghilangan paksa 1997/1998 dan Ruyati Darwin ibunda korban kerusuhan Mei 1998. MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Keduanya mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi atas frasa 'kurang lengkap' yang tercantum dalam Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945.
Pemohon menilai frasa 'kurang lengkap' tersebut mengandung multitafsir sehingga mengakibatkan terjadinya bolak-balik berkas antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik selama sekitar 13 tahun.
Meski ditolak, penggugat dan kuasa hukum dari KontraS menghormati putusan karena majelis memberikan catatan penting dari pertimbangan tersebut.
|
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160824175408-20-153616/penuntasan-kasus-ham-tergantung-keputusan-presiden-jokowi/
0 komentar:
Posting Komentar