Minggu, 31 Maret 2019
“Jejak Kejahatan Genosida 1965 itu Nyata Adanya”
Rilis
Pers: No. 190328/ypkp65/2019
“Jejak Kejahatan Genosida 1965 itu
Nyata Adanya”
Jejak Genosida
1965-661 (selanjutnya
disebut Genosida 65) yakni berupa kuburan massal para korban itu
memang nyata ada. YPKP 65 melakukan penelusuran dan menemukan sebarannya
berdasarkan temuan dan laporan para relawan di berbagai daerah di Indonesia.
Pendataan jumlah titik kuburan massal korban Tragedi 1965-66 ini telah mencapai
jumlah 319 lokasi; sampai pada akhir bulan Maret 2019 ini.
Jumlah
ini, yang sebagian besar telah ditinjau (verifikasi awal), masih akan terus
bertambah, terutama untuk lokasi di luar Pulau Jawa (yang karena keterbatasan
sumber daya) belum bisa dilakukan verifikasinya.
Dalam
kenyataannya, keberadaan lokasi kuburan massal para korban Genosida
65 bukan lah satu-satunya warisan bukti kejahatan atas
kemanusiaan (crimes against humanity) yang dilakukan rezime masa
lalu.
Di luar
kejahatan Genosida 65, sembilan kejahatan kemanusiaan lainnya juga
didapati terjadi di hampir semua daerah yang diteliti: pembunuhan,
perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan,
penghilangan (orang) secara paksa, propaganda kebencian, dan keterlibatan
negara-negara lain2; selain juga perampasan terhadap
asset properti maupun harta benda milik para korban.
Ihwal
kejahatan Genosida 65 ini telah cukup banyak direfleksikan. Dan
testimoni mengenai bagaimana kejahatan itu nyata terjadi, telah dan akan terus
pula ditulis serta didokumentasikan.3 Bagaimana kemudian negara akan
menyikapi kenyataan yang pernah terjadi pada sejarah kelam masa lalunya,
sebagaimana kenyataan yang dialami langsung dan dikemukakan para korban;
menjadi problem krusial yang terus-menerus akan didorong ke arah penyelesaian
menyeluruh yang berkeadilan bagi para korban dan penyintas.
Tak berhenti mendesak Komnas HAM
Dalam
hal mendesak kepada negara bagi penyelesaian tuntas yang bermartabat dan
berkeadilan; para korban telah menaruh harapan besar kepada Komnas HAM sebagai lembaga
negara non-pemerintah yang dibuat dengan mandat Undang-undang. Ekspektasi atas
kinerja para komisionernya, terlepas dari siapa presiden di republik ini, harus
menjadi pertimbangan utama para komisioner untuk -bila perlu- melakukan langkah
terobosan yang memberi lebih kejelasan upaya konkret ketimbang retorika dan
niat baik semata.
Dalam konteks
hak asasi manusia ini, YPKP 65 tak perlu lagi mengungkit butir-butir “Nawacita”
untuk selalu mengingatkan kewajiban dan otoritas negara. Temuan 319 lokasi
kuburan massal yang bakal terus bertambah jumlah dan sebarannya sudah makin
melengkapi temuan lain dan bukti-bukti baru soal kebenaran faktual bahwa telah terjadi
Genosida 65 di Indonesia. Sehingga penyelesaian
secara bermartabat dan berkeadilan bagi korban menjadi sebuah keniscayaan buat
dilaksanakan.
Oleh karena
itu, YPKP 65 mendesak Komnas HAM hal-hal sebagai berikut:
1.
Komnas
HAM melakukan langkah terobosan yang signifikan dan/atau langkah-langkah
progresif lainnya, pasca berulang dikembalikannya berkas perkara pelanggaran
HAM berat pada peristiwa 1965 oleh Kejaksaan Agung;
2.
Komnas
HAM melakukan penyelidikan lanjut, investigasi menyeluruh dan komprehensif, proteksi
dan exhumasi atas temuan kuburan massal yang merupakan bukti telah terjadinya
pembantaian massal meluas di luar hukum;
3.
Penyelidikan
lanjutan, investigasi menyeluruh dan komprehensif sebagaimana dimaksud pada
item (1), menyangkut adanya praktek perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan,
kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan (orang) secara paksa, propaganda
kebencian dan keterlibatan negara-negara lain; yang merupakan pelanggaran
HAM berat pada peristiwa 65.
Demikian
hal-hal yang mendesak disampaikan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para
korban meliputi hak akan kebenaran, hak akan keadilan, hak akan rehabilitasi
dan jaminan ketidakberulangan pada hari ini dan di kemudian hari.
Jakarta,
31 Maret 2019
____
1 mengacu pada Putusan Akhir Panel
Hakim International People’s Tribunal 1965 dalam sidangnya di Denhaag
(10-13 November 2015) yang dibacakan oleh Hakim Ketua Zak Yacoob pada 20 Juli
2016 dari Capetown, Afrika Selatan.
Banjir Drama Pelukis Hendra
oleh Chabib Duta Hapsoro | 31 Maret 2019
Surga Kemelut Pelukis Hendra. Agus Dermawan T. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018. 290 hlm.
Agus Dermawan T. mengungkapkan banyak kisah Hendra Gunawan, beberapa di antaranya hanya bisa diketahui dari jarak teramat dekat. Perspektif ini mengajak kita untuk memahami konteks seni rupa modern Indonesia melalui sudut pandang paling intim terhadap salah satu seniman terpentingnya.
Hendra Gunawan adalah salah satu dari tiga seniman modern Indonesia terpenting, bersama Sudjojono dan Affandi. Seni rupa modern Indonesia muncul dan tumbuh pada masa revolusi. Seniman-seniman itu muncul dan berdaya di tengah masyarakat yang masih dilanda ketidakpastian. Perang terjadi sewaktu-waktu. Seni rupa di tengah situasi sulit menjadi semacam alat untuk mengobarkan gairah perjuangan, memupuk semangat kebangsaan, dan mempersatukan rakyat untuk mengupayakan lepas dari penjajahan.
Praktik seni lukis tiga serangkai ini menjadi kritik atas praktik seni lukis Mooi Indie yang marak di Hindia Belanda pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut mereka, aliran seni lukis ini menghadirkan keindahan alam (gunung, sawah, sungai, pohon kelapa) yang hanya dilihat dari jauh--menyajikan pandangan mata burung, yang menangkap objek dari jarak yang jauh. Karena itu, keindahan lukisan macam ini menampilkan keindahan semu, yang “menyembunyikan keberadaan petani-petani yang mengeluh, merintih dan menangis karena kakinya kena pacul, berdarah dan luka parah.”[1] Ia memperlihatkan watak antroposentris manusia, menjadikan alam dan manusia sebagai objek pengetahuan yang kemudian melegitimasi mereka untuk melakukan eksploitasi dan penjajahan.
Sudjojono, Affandi, dan Hendra punya kesadaran untuk melawan praktik melukis Mooi Indie semacam ini, yang kala itu lazim dibawa oleh pelukis-pelukis Eropa ke Hindia Belanda. Praktik Mooi Indie ini di kalangan kolonial telah melembaga. Semakin banyak pelukis Eropa bermukim di wilayah-wilayah yang bagi mereka asri dan indah—dari pandangan mata burung. Pelukis lokal juga turut mempraktikkannya. Lukisan-lukisan ini laku di pasaran, menjadi cendera mata bagi turis barat yang pelesir ke Hindia Belanda. Imaji lukisan Mooi Indie juga direproduksi dalam wujud poster-poster, reklame, dan kartu pos sebagai promosi wisata Hindia Belanda.
Dalam melawan seni lukis Mooi Indie ini, lukisan Sudjojono, Affandi, dan Hendra kebanyakan menampilkan manusia dalam pandangan mata katak. Gaya lukisan ini menampilkan dalam jarak dekat orang-orang yang mengungsi, ibu-ibu yang sedang bertransaksi di pasar, pengemis, hingga gerilyawan semenjana yang sedang mengaso.
Menurut saya, praktik seni lukis ini terilhami oleh gerakan seni lukis realisme di Perancis yang diperkenalkan Gustave Courbet pada abad ke-19. Lukisan-lukisan Courbet menggambarkan keadaan rakyat yang sedang bekerja, atau orang-orang biasa dalam situasi keseharian dalam jarak dekat. Gaya seni lukis ini menjadi kritik atas gaya romantisisme yang menekankan glorifikasi masa lalu dan kemegahan yang mencerminkan fragmen-fragmen kehidupan kelas borjuis.
Tiga serangkai ini mencari dan menemukan gaya ungkap dalam menggambarkan objek-objek yang mereka lukis. Hal ini bisa dilihat sebagai keragaman wajah genre seni rupa Indonesia modern. Sudjojono dengan kredo jiwa kethok: melukis sebagai praktik menggoreskan jejak kepengarangan sang seniman, sehingga meninggalkan aura yang menggetarkan pelihat. Affandi melukiskan objek dan suasana dengan pelototan cat yang memperlihatkan ekspresi dan vitalitas manusia. Sedangkan Hendra dikenal melalui pemiuhan figur manusia yang khas wayang dan pengadopsian elemen dekoratif batik.
Hendra berfokus menghadirkan jiwa manusia Indonesia, yang berabad-abad tercerabut dari akarnya oleh penjajahan. Masing-masing wajah itu menyerukan bahwa manusia Indonesia bisa punya keberanian untuk menyampaikan gagasan sebagai manusia seutuhnya, sebagai “bangsa muda menjadi”, yang “baru bisa bilang aku.”[2]
Posisi mereka juga signifikan karena di tengah masa-masa susah itu mereka mau bekerja lebih repot: menyumbang banyak pemikiran melalui tulisan, menginisiasi serta mengelola sanggar atau kolektif untuk mematangkan teknik seni lukis demi memapankan seni rupa Indonesia modern dan menyebarkan kepercayaan dan harapan bahwa seni rupa Indonesia itu ada.
Konteks-konteks di atas memperlihatkan perlunya mengangkat narasi sosok ataupun pembacaan mendalam atas kekaryaan para seniman Indonesia modern melalui publikasi yang dapat dijangkau semua kalangan.
Visi kerakyatan para pelukis ini dapat dikatakan agak berbeda dengan narasi seni rupa di Indonesia yang acap hadir dalam buku-buku meja kopi berukuran besar, bersampul keras dan tebal, berbahan premium yang membuatnya dibandrol dengan harga mahal. Publikasi semacam ini hanya terjangkau bagi kalangan kelas menengah. Ini, bagaimanapun, merupakan masalah dalam pertukaran dan diseminasi pengetahuan kesenirupaan di Indonesia.
Buku Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi ini merangkum ketokohan pelukis Hendra Gunawan dengan format buku Surga Kemelut Pelukis Hendra lebih mudah diakses sebagaimana cita-cita kerakyatan mereka: berukuran tidak terlalu besar, bersampul paperback, dan karenanya harganya pun terjangkau. Sesuatu yang layak diapresiasi.
Judul “Surga kemelut” seperti berhasil menempatkan kisah-kisah Hendra menjadi yang paling dramatik dibandingkan dua pelukis lainnya. “Surga kemelut” mengandung ironi. Frasa ini menggabungkan dua kata yang bermakna sangat bertolak belakang. Surga seperti apa yang berisi kemelut yang lekat dengan tragedi atau kesan ketidakstabilan? Terminologi surga bisa merujuk pada tempat yang membuat kita nyaman. “Surga kemelut” mengesankan bahwa Hendra justru menikmati kemelut yang tak pernah usai dari hidupnya.
Dramatisasi yang terasa berlebihan ini juga menghiasi beberapa gaya pengisahan penulis terhadap detail-detail kehidupan Hendra yang lain. Mereka ibarat laku penyuntingan gambar bergerak zoom in, diimbuhi potongan musik yang menegangkan pada sebuah adegan sinetron kejar tayang.
Namun demikian, beberapa detailnya masih perlu dikritisi. Subjudul “Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi” sebenarnya kurang menggarisbawahi muatan apa pun selain bunga dramatisasi. “Pengantin Revolusi” merujuk pada salah satu judul lukisan Hendra yang terbaik. “Terali Besi” merujuk kisah tragis Hendra sebagai tapol saat dipenjara pada 1965. Kendati diceritakan dalam buku, dua hal ini tidak memiliki hubungan yang terlalu jelas sebagai fondasi pendukung narasi tentang kemelut Hendra.
Agus Derwaman T. (ADT) adalah penulis yang paling sering menuliskan sosok pelukis Hendra, baik dalam buku kumpulan tulisan ataupun dalam monograf. Beberapa informasi dalam buku ini pernah ia sebutkan dalam Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter (2001) yang ia tulis bersama Astri Wright, sejarawan seni dari Kanada. Pengisahan ADT dalam buku ini enak diikuti, setidaknya hingga bab IV. Bab V hingga bab VIII tampak seperti kumpulan informasi yang terserak, tidak tampak terjahit dengan baik, meski mengandung informasi-informasi penting.
Kemelut Drama dan Peristiwa-peristiwa Ganjil dalam Kehidupan Hendra
Hendra lahir pada 11 Juni 1918 di tengah keluarga menak. Ayahnya, Raden Prawiradilaga, adalah pegawai mapan di perusahaan kereta milik negara yang berkantor di Bandung. Ibunya, Raden Odah Tedjaningsih, seorang kelas menengah juga, dari Desa Jelekong, Bandung Selatan. Ibunya adalah putri dari Raden Karna Soemantri, organisator kongres Boedi Oetomo pada 1928 (hlm 1). Silsilah keluarga Hendra sekali lagi membuktikan bahwa kelas menengah acap menjadi pendorong perubahan.
Drama mulai hadir ketika ayahnya tak betah di rumah dan menemukan pujaan baru di sosok Anna, seorang Indo Belanda. Prawiradilaga akhirnya bercerai dengan Odah. Hendra pun menjadi lebih dekat dengan ibunya dan diam-diam membenci ayahnya. Ia kemudian sering pergi dari rumah selama berhari-hari. Hendra bisa berjalan-jalan mengelilingi kebun teh, ataupun memasuki hutan dan menyeberangi sungai hingga merasa terpanggil untuk menjadi pelukis. Panggilan ini bertolak dari gejolak eskapisme Hendra dari kehidupan keluarga yang disfungsional.
Hendra banyak memetik pelajaran hidup dari sang ibu. Diceritakan sebuah peristiwa yang terus menginspirasi Hendra seumur hidupnya. Saat di sungai kecil ia menangkup segerombolan ikan cethul berwarna-warni dan ditunjukkan ke ibunya. Ibunya kemudian berkata “tingali nu laleutik, maneh bakalan manggih nu galede” (hlm 5), “perhatikan yang kecil, kamu bakal menemukan yang serba besar”.
ADT menjelaskan, keterpesonaan Hendra atas warna-warna ikan cethul itu mendorongnya untuk memperhatikan ratusan jenis ikan lain, dengan warna yang lebih beraneka. Warna-warna ikan itu kemudian menginspirasi warna lukisan-lukisannya di masa depan.
Kesan kedekatan Hendra dengan sang ibu muncul dari lukisan-lukisannya yang sarat menampilkan sosok-sosok perempuan berdada besar, berkebaya dengan beraneka aktivitas: berjualan di pasar, kerokan, hingga mencari kutu.
Di masa kecil, Hendra juga suka iseng membongkar kuburan-kuburan orang dan mengumpulkan tulang-tulang manusia tanpa alasan jelas (hlm 5). Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan kebisaan Hendra di masa depan sebagai dukun yang mampu menyembuhkan orang-orang gila.
Kisah yang paling sinetron agaknya adalah saat Hendra remaja diangkat anak oleh seorang pria di Bandung. Periode ini adalah saat ia sering lari dari rumah. Di rumah pria itu, Hendra selalu disuguhi makanan enak. Ia tinggal di sana dalam waktu cukup lama hingga sebuah momen menggerus emosinya. Saat berjalan-jalan mencari objek menggambar, ia melihat pengemis menyodorkan nampan di di bawah jendela sebuah restoran. Ia mendekati pria itu dan terhenyak karena pria itu adalah ayah angkatnya sendiri. Ternyata makanan mewah yang ia santap hampir setiap hari adalah hasil mengemis sisa-sisa makanan di restoran. Perut Hendra mendadak mual. Ia kemudian memohon pamit kepada ayah angkatnya sembari dalam hati berjanji bahwa ia akan berkarya dengan memberi tempat pada orang-orang miskin (hlm 8).
Kisah-kisah superlatif dan nyeleneh ini makin didramatisasi sang penulis dengan pilihan diksi atau ungkapan yang berlebihan atau penggunaan kalimat langsung yang seolah-olah berasal dari Hendra sendiri.
Drama kehidupan Hendra kembali hadir saat ia dicokok aparat pada Desember 1965 di Bandung. Sebagai Ketua Lekra Jawa Barat, ia ditangkap pemerintah Orde Baru dengan alasan ia adalah simpatisan komunis.
Saat ditangkap, salah satu yang paling ia khawatirkan adalah beberapa lukisannya. Dan kekhawatirannya menjadi kenyataan. Saat ia dipenjara di Kebon Waru, Bandung, situasi di luar sangat kacau. Kemarahan rakyat terhadap PKI tak terbendung. Rumah Hendra juga dijarah. Banyak barangnya dihancurkan, termasuk lukisannya. Oleh penjarah lukisan Pengantin Revolusi, lukisan itu bahkan digorok. Sebelum penggorokan tuntas, lukisan itu rupanya bisa diselamatkan oleh sahabat Hendra, Tatang Ganar (hlm 80).
Jika anda kebetulan bisa masuk ke ruang kerja Direktur Museum Seni Rupa dan Keramik di kompleks Kota Tua Jakarta, anda akan dapat melihat lukisan Pengantin Revolusi. Anda hanya membutuhkan sedikit kecermatan untuk melihat beberapa garis samar yang saling berpotongan membagi-bagi lukisan tersebut yang menandai bekas sambungan. Lukisan ini bersejarah karena menggambarkan sebuah peristiwa unik yang dialami Hendra saat menjadi saksi di garis depan pertempuran revolusi fisik. Hendra saat itu tergabung dalam kelompok Pelukis Front yang bertugas merekam situasi pertempuran baik dengan lukisan maupun sketsa.
Salah satu peristiwa yang terekam dalam sketsa Hendra adalah pernikahan warga biasa di sela-sela pertempuran di kawasan Karawang. Sepasang pengantin itu berjalan diarak dengan iringan orkes tanjidor. Keunikan sepasang pengantin itu muncul dari busana pernikahan mereka. Sang mempelai pria mengenakan baju tentara. Sedangkan mempelai perempuan menggunakan busana penari topeng Betawi. Keduanya adalah busana pinjaman.
Sang pengantin perempuan duduk di rangka sepeda yang dipegang kemudinya oleh sang pria tanpa dikendarai. Dalam lukisan, sepasang pengantin itu menatap kosong ke depan. Sementara Hendra dan dua orang kawannya tampak menatap mereka dengan tawa yang sedikit menghina. Momen dalam lukisan ini amat mengharukan. Pasangan pengantin ini memulai sebentuk komitmen kehidupan baru dalam situasi serba sederhana, suatu imaji yang dapat kita anggap sebagai metafora keadaan pada masa awal terbentuknya republik.
Kendati sketsa ini dibikin sejak zaman revolusi fisik, baru pada 1955 ia ditindaklanjuti sebagai lukisan. Hidup di zaman yang susah membuat keadaan rumah tangga Hendra dan keluarga tak menentu. Sketsa-sketsa Hendra harus mengantre cukup lama untuk dieksekusi sebagai lukisan.
Lukisan-lukisan Hendra pada periode revolusi ini rata-rata berwarna kusam. Wajar saja, Hendra dan para pelukis ketika itu susah memperoleh bahan melukis bermutu. Mereka hanya bisa memperoleh pigmen-pigmen murahan dari toko besi dan mencampurnya dengan bahan-bahan lain. Hendra pun mengaku saking susahnya ia mendapatkan kanvas sampai-sampai ia mengambil jarit istrinya dan jarit itu digunakannya melukis.
Detik-detik saat Hendra ditangkap disampaikan sekali lagi secara dramatis. ADT mengutip pernyataan Hendra, “Saya dulu juga ikut perang, memerdekakan Indonesia (hlm. 76).” Pernyataan Hendra itu secara ironis dapat berarti negeri yang ikut diperjuangkan kemerdekaannya oleh Hendra justru di kemudian waktu memenjarakannya. Hendra dipenjara dan meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Karmini, sang istri, harus bekerja keras menghidupi tiga anaknya. Untungnya Hendra masih diperbolehkan melukis di penjara. Lukisan-lukisan itu Karmini jual dari rumah ke rumah.
Meski dinaungi keterbatasan, hasrat melukis Hendra tak pernah padam. Bahkan periode penjara adalah periode paling produktifnya sebagai pelukis. Merujuk lagi ke judul “Surga Kemelut”, Hendra menjumpai drama kembali ketika ia bertemu Nuraeni, seorang tahanan lantaran aktivitasnya dalam Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang oleh aparat juga dilabelkan sebagai simpatisan komunis. Nuraeni pada awalnya adalah murid melukis Hendra yang kemudian ia angkat menjadi asisten. Setelah itu, ADT menyebut ada cinlok—cinta lokasi (diksi yang dipilih ADT) di antara Hendra dan Nuraeni. Mereka akhirnya menikah di penjara. Kisah semacam ini menjadi bumbu klise yang menyesakkan. Kebencian Hendra terhadap ayahnya yang menduakan ibunya seolah tidak berbanding lurus terhadap lakunya sendiri.
Kisah Dramatis Hendra dengan Para Figur Penting
Drama kehidupan Hendra juga belum habis kendati Hendra sudah berpulang. Setelah Hendra wafat pada 1983, kasus-kasus pemalsuan lukisannya semakin menjadi karena harga lukisannya membumbung di balai lelang. Lukisan Hendra dipalsukan dengan beberapa cara. Para pemalsu ini tampak cerdik menggambar sama persis dengan lukisan Hendra. Ataupun, melukis dengan gaya Hendra dengan perupaan yang belum pernah Hendra buat. Kedua jenis perupa ini membubuhkan tanda tangan serupa dengan tanda tangan Hendra.
Kasus pemalsuan lukisan ini memanas ketika muncul buku monografi berjudul Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyatoleh Agung Tobing dan keluarga Hendra pada 2014 (hlm. 126). Ratusan lukisan Hendra di buku terindikasi palsu dan saya pun meyakininya. Status kasus ini masih mengambang sampai sekarang dan memperlihatkan pincangnya pranata seni rupa Indonesia. Seni rupa Indonesia masih terlalu dikuasai pasar. Norma dan standar moral terhadap penghormatan atas hak cipta masih belum terwadahi. Proses pertukaran pengetahuan juga masih terkendala akibat masih dipingitnya karya-karya seni rupa penting di rumah-rumah kolektor sehingga publik kurang dapat menjangkaunya.
Dalam buku ini ADT juga menceritakan momen-momen penting Hendra dalam hidupnya saat berhubungan dengan tokoh-tokoh besar di Indonesia, yang menjadikan Hendra seorang tokoh. Interaksi dengan tokoh-tokoh ini memberikan sejumlah dorongan bagi Hendra untuk keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.
Tentu saja kisah-kisah ini tak luput dari drama.
Pertama, interaksi Hendra dengan Abdullah Suriosubroto dan anaknya, Basoeki Abdullah hadir saat Hendra akan berguru melukis. Hendra di rumah Abdullah menunggu keputusan apakah ia akan diterima sebagai murid oleh Abdullah. Ia tak sengaja mencuri dengar percakapan antara Abdullah dan anaknya itu. Basoeki meminta sang ayah untuk tidak menerima murid karena takut saingan melukis akan bertambah. Mendengarnya, Hendra mengaku bahwa ia lantas pergi tanpa menunggu jawaban Abdullah (hlm 11).
Hendra kesal akan percakapan itu, sembari bersumpah bahwa kelak, saat ia akan menjadi pelukis yang mapan ia akan membuka rumahnya sebagai sanggar agar para calon pelukis bisa belajar melukis darinya dengan percuma. Sumpah ini terbukti saat Hendra mendirikan Pelukis Rakyat.
Setelah tidak jadi berguru kepada Abdullah, Hendra kemudian berguru kepada Wahdi Sumanta, seorang pelukis pemandangan yang cukup terkenal di Bandung. Setelah lumayan cakap melukis, ia berusaha berguru kepada Affandi. Untuk meluluhkan hati Affandi, Hendra kerap menyapu halaman, membuatkan kopi atau teh untuk Affandi. Hingga Affandi pun mengizinkannya untuk berguru sembari menyindirnya sebagai anak bangsawan yang mau belajar ke orang miskin (hlm 12). ADT seperti mengutip pernyataan Affandi sebagai berikut, “Bagus kalau anak tunggal keluarga ningrat mau jadi batur.” Saya lagi-lagi tidak bisa memastikan apakah itu pernyataan dari Affandi sendiri atau gubahan ADT yang merujuk pada esensi pernyataan Affandi yang sebenarnya.
Selanjutnya, interaksi Hendra dengan Sukarno. Hendra adalah salah satu dari banyak seniman yang hijrah ke Yogyakarta saat ibukota negara dipindahkan untuk sementara. Hendra meminta Sukarno membuka pameran tunggalnya pada 1946. Pamerannya itu adalah pameran pertama setelah Indonesia merdeka, menempati gedung KNIP di Jalan Malioboro. Ada kisah dramatis pula dalam pameran ini, karena Hendra mengumpulkan para pengemis untuk menjadi pagar bagus dan pagar ayu dalam seremoni pembukaan. Sukarno yang pada awalnya tak mengetahui bahwa mereka pengemis terharu hingga menitikkan air mata saat mendapati fakta ini (hlm 31). Sukarno agaknya merasa diingatkan bahwa kerja kemerdekaan saat itu “belum selesai, belum apa-apa.”[3]
Peristiwa ini juga seakan melunasi janji Hendra kepada ayah angkatnya dulu untuk mengangkat derajat kaum miskin. Penggambaran kaum kecil yang juga acap hadir pada lukisan Hendra.
Interaksi berbau kebatinan adalah salah satu momen dramatis yang di luar prediksi. Dikatakan dalam buku ini bahwa ada satu interaksi saat Hendra berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Hendra dan para anggota Pelukis Rakyat sedang getol melakukan eksplorasi memahat patung dengan material batu kali. Teknik ini amat susah sehingga membuat Hendra menimba ilmu kepada ahli pembuat kijing atau nisan kuburan di Yogyakarta.
Eksplorasi ini masuk akal, Hendra hendak mewarisi kembali ilmu seni pahat batu khas Nusantara di candi-candi yang pengetahuannya makin hilang akibat penjajahan. Setelah melakukan beberapa kali eksperimen Hendra akhirnya memberanikan diri untuk membuat patung tubuh Jenderal Sudirman yang niatnya untuk ditaruh di depan Gedung Agung pada 1950.
Lantaran Sudirman telah wafat—dan entah kenapa Hendra tak berusaha mencari foto sang jenderal sebagai model— Hendra justru memutuskan bersemedi untuk bertemu Sudirman “di dalam hati dan alam pikir” (hlm 45). Setelah mendapatkan wangsit, Hendra memberanikan diri untuk membuat patung itu. ADT menyebut bahwa saat Hendra menatahkan besi pahatnya di atas batu tatah itu, ia seakan merasakan batu tatah itu berjalan sendiri membentuk sesuatu. Setelah patung itu selesai, istri dan anak Sudirman dikabarkan sampai pingsan saat melihat saking persisnya wajah patung Sudirman itu dengan wajah Sudirman dalam kenyataan.
Ada lebih banyak lagi kisah di buku ini. Setelah membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan kesan bahwa Hendra mengalami momen-momen dramatik di luar kewajaran. Momen-momen itu mungkin dapat membuat pembaca menitikkan air mata atau geleng-geleng kepala atau malah sedikit jengah.
Di balik fasihnya ADT menceritakan drama hidup pelukis Hendra, narasi tentang kepakaran melukis Hendra justru lumayan terabaikan, meski kita masih dapat menemukan pemikiran-pemikiran Hendra yang otentik tentang kebudayaan di buku ini. Padahal, narasi kepakaran melukis itu justru urgen untuk dihadirkan, karena dapat memperlihatkan bagaimana seni rupa Indonesia modern menyumbang wacana khas bagi kebudayaan Indonesia modern.
[1] Dikutip dari S. Sudjojono, “Seorang Seniman dengan Sendirinya Harus Seorang Nasionalis” dalam Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Yayasan Aksara Indonesia, 2000, hlm. 33.
[2] Dari Buat Gadis Rasid oleh Charil Anwar (1948)
[3] Dari Karawang Bekasi oleh Charil Anwar (1949).
Sumber: JurnalRuang
Kamis, 28 Maret 2019
Hentikan Dendam, Kivlan Zen Usulkan Rekonsiliasi Nasional
Reporter: Ahmad Rafiq
(Kontributor)
Editor: Tulus Wijanarko
Kamis, 28 Maret 2019 19:30
WIB
Kivlan Zen, saat berkunjung
di kantor redaksi Majalah TEMPO, Jln Proklamasi No 72, Jakarta Pusat, 4 Oktober
2006. TEMPO/Cheppy A. Muchlis
Surakarta - Mayor Jenderal Purnawirawan TNI Kivlan Zen mengajak
semua pihak untuk duduk bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
mengiringi perjalanan sejarah Indonesia pada masa lalu. Hal itu perlu dilakukan
sebagai upaya untuk menghentikan segala dendam yang masih tersimpan.
"Banyaknya dendam membuat Indonesia tidak maju-maju," katanya dalam diskusi Pelurusan Sejarah 1998, di Wedangan Jagongan Solo, Kamis petang 28 Maret 2019. Kondisi itu juga membuat Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
Kivlan menyebut terdapat berbagai konflik di masa lalu
masih terus menyisakan dendam hingga saat ini. Beberapa contoh konflik masa
silam itu, antara lain, soal pemberontakan Partai Komunis Indonesia, DI/TII,
Persemsta hingga misteri yang terjadi di seputar jatuhnya Orde Baru.
Segala macam misteri tersebut menurutnya bisa terungkap
jika semua pihak yang terlibat bisa duduk dalam satu meja.
"Siapa yang bersalah atau punya dosa harus bicara," katanya. Langkah itu perlu diambil guna terciptanya rekonsiliasi yang harus dilakukan semua komponen bangsa.
Kivlan mencontohkan hilangnya penyair Widji Thukul yang
belum terungkap hingga saat ini.
"Saya sendiri juga tidak tahu," katanya.
Demikian pula dengan kasus pembunuhan Munir yang masih menyimpan
banyak misteri.
Kasus-kasus yang diliputi misteri itu selalu berpotensi
untuk menjadi isu liar dan menyisakan dendam tak berkesudahan.
"Yang dosa harus mengaku dosa, kemudian kita harus mulai melangkah ke depan," katanya.
AHMAD RAFIQ (Solo)
Source: Tempo.Co
Rabu, 27 Maret 2019
Pilpres 2019 sebagai Referendum untuk Jokowi
Made Supriatma | 27 Maret 2019
Pemilu 2019 kurang dari tiga minggu lagi. Saya memutuskan
untuk melihat keadaan kampanye kubu Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi secara
berurutan. Saya mulai dengan Jokowi-Amin.
Sejauh ini, hampir semua polling memenangkan Jokowi-Amin, termasuk pollingharian Kompas yang dianggap kontroversial itu. Meski demikian, banyak juga yang masih sangsi, mempertanyakan apakah banyak polling itu mampu memberikan gambaran yang benar tentang pemilih.
Saya akan mengesampingkan dulu kesangsian atas hasil-hasil sigi itu dan merumuskan posisi Jokowi-Amin: hingga saat ini, tidak ada bukti atau tanda-tanda kuat yang memperlihatkan bahwa Jokowi-Amin akan kalah, tetapi juga tidak bisa dipastikan seratus persen bahwa dia akan menang.
Meski Jokowi kemungkinan besar akan menang, saya ingin menekankan bahwa margin suaranya dengan perolehan Prabowo nanti layak menjadi perhatian. Namun, sebelum masuk ke bahasan soal itu, ada yang perlu diingat: Jokowi pada Pilpres 2019 lain dengan Jokowi lima tahun lalu.
Sejauh ini, hampir semua polling memenangkan Jokowi-Amin, termasuk pollingharian Kompas yang dianggap kontroversial itu. Meski demikian, banyak juga yang masih sangsi, mempertanyakan apakah banyak polling itu mampu memberikan gambaran yang benar tentang pemilih.
Saya akan mengesampingkan dulu kesangsian atas hasil-hasil sigi itu dan merumuskan posisi Jokowi-Amin: hingga saat ini, tidak ada bukti atau tanda-tanda kuat yang memperlihatkan bahwa Jokowi-Amin akan kalah, tetapi juga tidak bisa dipastikan seratus persen bahwa dia akan menang.
Meski Jokowi kemungkinan besar akan menang, saya ingin menekankan bahwa margin suaranya dengan perolehan Prabowo nanti layak menjadi perhatian. Namun, sebelum masuk ke bahasan soal itu, ada yang perlu diingat: Jokowi pada Pilpres 2019 lain dengan Jokowi lima tahun lalu.
Jokowi v.01: Wajah Baru Politik Indonesia
Jokowi pada 2014 adalah Jokowi v.01. Dia maju dengan
biografi dan kisah hidup yang belum pernah ada dalam sejarah politik Indonesia.
Dia adalah orang biasa, tidak berasal dari kalangan elite dan tidak ada kaitan
dengan elite.
Jokowi memulai karier politiknya dari daerah sebagai walikota Solo. Dari sana, dia bertarung di pemilihan gubernur Jakarta dan menang. Dua tahun menjabat gubernur, dia maju ke pemilihan presiden dan menang lagi.
Riwayat karier politik Jokowi sangat mirip dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ketika terpilih menjadi presiden, Jokowi dan Obama memiliki resume yang sangat tipis dalam bidang politik. Obama memulai kariernya sebagai senator di negara bagian Illinios, sama seperti Jokowi menjadi walikota Solo.
Seperti Obama, wajah baru Jokowi membawa pesona bagi publik Indonesia. Dalam Pilpres 2014, dia harus berhadapan dengan Prabowo Subianto, yang bisa dianggap sebagai wakil kemapanan.
Prabowo berasal dari darah biru Republik ini. Keluarganya sudah berkecimpung dalam politik negeri ini sejak sebelum kemerdekaan. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, adalah pendiri BNI 1946 dan pernah menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada masa-masa awal Republik.
Bapaknya, Soemitro Djojohadikusumo, pernah beberapa kali memegang jabatan menteri ekonomi di masa Sukarno. Dia kemudian menjadi arsitek ekonomi Orde Baru. Selain itu, Prabowo adalah mantan menantu Presiden Soeharto, penguasa Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Antara Prabowo dan Jokowi ada kontras yang sangat dalam. Uniknya, dalam pertarungan di Pilpres 2014, keduanya adalah sama-sama bertarung sebagai populis. Keduanya berjanji akan memajukan ekonomi Indonesia dan memperbaiki kesejahteraan rakyat kecil.
Prabowo berusaha menarik simpati pemilih dengan slogan-slogan populisme nasionalistik. Dia berjanji akan mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia. Sementara itu, Jokowi menyodorkan populisme yang lebih bersifat kerakyatan. Dia memperkenalkan program-program kesejahteraan sosial sebagaimana yang ia terapkan di Jakarta dan Solo.
Dalam Pilpres 2014, Prabowo mendapat dukungan kuat dari kalangan elite mapan, sementara Jokowi didukung para aktivis yang mengorganisasi relawan-relawan untuk kampanyenya. Para aktivis dan relawan inilah yang menyematkan citra Jokowi sebagai pembaharu, membuatnya kontras dengan Prabowo yang dianggap mewakili kekuatan politik lama.
Tema utama kampanye Jokowi ketika itu adalah blusukan. Jokowi berjalan kaki menyusuri kantong-kantong pemilih. Secara radikal dia mengubah citra politikus Indonesia yang semula berjarak, berbaju safari, dan dikawal ketat. Dia menawarkan versi politikus yang lebih akrab dengan rakyat. Rupanya itu meluluhkan pemilih Indonesia.
Jokowi memulai karier politiknya dari daerah sebagai walikota Solo. Dari sana, dia bertarung di pemilihan gubernur Jakarta dan menang. Dua tahun menjabat gubernur, dia maju ke pemilihan presiden dan menang lagi.
Riwayat karier politik Jokowi sangat mirip dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ketika terpilih menjadi presiden, Jokowi dan Obama memiliki resume yang sangat tipis dalam bidang politik. Obama memulai kariernya sebagai senator di negara bagian Illinios, sama seperti Jokowi menjadi walikota Solo.
Seperti Obama, wajah baru Jokowi membawa pesona bagi publik Indonesia. Dalam Pilpres 2014, dia harus berhadapan dengan Prabowo Subianto, yang bisa dianggap sebagai wakil kemapanan.
Prabowo berasal dari darah biru Republik ini. Keluarganya sudah berkecimpung dalam politik negeri ini sejak sebelum kemerdekaan. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, adalah pendiri BNI 1946 dan pernah menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada masa-masa awal Republik.
Bapaknya, Soemitro Djojohadikusumo, pernah beberapa kali memegang jabatan menteri ekonomi di masa Sukarno. Dia kemudian menjadi arsitek ekonomi Orde Baru. Selain itu, Prabowo adalah mantan menantu Presiden Soeharto, penguasa Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Antara Prabowo dan Jokowi ada kontras yang sangat dalam. Uniknya, dalam pertarungan di Pilpres 2014, keduanya adalah sama-sama bertarung sebagai populis. Keduanya berjanji akan memajukan ekonomi Indonesia dan memperbaiki kesejahteraan rakyat kecil.
Prabowo berusaha menarik simpati pemilih dengan slogan-slogan populisme nasionalistik. Dia berjanji akan mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia. Sementara itu, Jokowi menyodorkan populisme yang lebih bersifat kerakyatan. Dia memperkenalkan program-program kesejahteraan sosial sebagaimana yang ia terapkan di Jakarta dan Solo.
Dalam Pilpres 2014, Prabowo mendapat dukungan kuat dari kalangan elite mapan, sementara Jokowi didukung para aktivis yang mengorganisasi relawan-relawan untuk kampanyenya. Para aktivis dan relawan inilah yang menyematkan citra Jokowi sebagai pembaharu, membuatnya kontras dengan Prabowo yang dianggap mewakili kekuatan politik lama.
Tema utama kampanye Jokowi ketika itu adalah blusukan. Jokowi berjalan kaki menyusuri kantong-kantong pemilih. Secara radikal dia mengubah citra politikus Indonesia yang semula berjarak, berbaju safari, dan dikawal ketat. Dia menawarkan versi politikus yang lebih akrab dengan rakyat. Rupanya itu meluluhkan pemilih Indonesia.
Jokowi v.02: Petahana dengan Rekam Jejak
Pada 2019 ini, Jokowi tidaklah sama seperti 2014. Dia
adalah presiden dengan rekam jejak. Resume politiknya sudah jauh lebih tebal
ketimbang ketika dia maju pertama kali.
Apa yang dikampanyekan oleh Jokowi v.02 sangatlah berbeda dengan Jokowi v.01. Jokowi berusaha mengkampanyekan keberhasilan dirinya. Sebagai petahana, dia sudah menang "popularity contest" jika dibandingkan dengan politikus-politikus Indonesia lainnya.
Kepresidenan Jokowi ditandai dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Ribuan kilometer jalan telah dibangunnya. Ia juga memperbaiki pelabuhan, bandara, dan prasarana transportasi lainnya.
Itulah yang menjadi inti dari kampanye Jokowi sekarang ini. Dia berusaha memproyeksikan citra sebagai pekerja yang tidak kenal lelah membenahi negeri ini. Kampanyenya sangat menekankan pada: kerja, kerja, dan kerja.
Jokowi identik dengan infrastruktur. Tidak pernah ada presiden Indonesia setelah Soeharto yang memperhatikan pembangunan fisik hingga Jokowi berkuasa. Secara impresif, Jokowi telah merampungkan begitu banyak proyek infrastruktur dalam masa kepresidenannya. Peresmiannya pun dilakukan berdekatan dengan masa kampanye.
Tentu ada perbedaan besar antara Jokowi v.01 dan Jokowi v.02. Jokowi v.02 tidak bisa lagi memakai wajah sebagai pembaharu. Dia juga tidak bisa membikin publik terpesona dengan menampilkan diri sebagai ‘wajah segar’ dan pemimpin alternatif. Jokowi v.02 adalah kemapanan. Kepresidenan telah membuatnya menjadi mapan.
Tidak seperti sebelumnya, Jokowi juga tidak bisa berkampanye dengan agenda HAM sebagaimana yang diproyeksikan terhadap dirinya oleh para aktivis dan relawan pada 2014. Saat itu, kita semua tahu Prabowo memiliki jejak masalah HAM yang sangat besar dan Jokowi v.01 adalah antitesisnya.
Dalam soal HAM, Jokowi harus berhadapan dengan rekam jejaknya sendiri. Selama memerintah, dia hampir tidak menaruh perhatian pada persoalan HAM. Bahkan pada awal-awal pemerintahannya, dia mengeksekusi banyak narapidana yang terhukum karena narkoba. Hukuman mati adalah persoalan HAM yang serius. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga membangkitkan persoalan dari sisi HAM.
Selain itu, Jokowi juga bertindak sangat keras kepada para pengkritiknya. Penggunaan UU ITE untuk mereka yang secara frontal melawan Jokowi dilakukan sangat meluas. Tidak heran jika seorang ilmuwan politik Australia, Tom Power,mengingatkan bahwa semakin hari Jokowi memperlihatkan tendensi untuk semakin bertindak seperti penguasa otoriter.
Kontras antara Jokowi v.01 dan v.02 terutama terletak pada bagaimana dia mencitrakan dirinya. Tidak ada yang lebih baik dalam menggambarkan pergeseran citra itu ketimbang pergeseran dari blusukan ke chopper. Sekarang Jokowi kerap tampil mengendarai sepeda motor besar yang dimodifikasi atau chopper, meski masih melakukan blusukan.
Ada perbedaan besar (dan mendasar) antara menaiki chopper dengan blusukan. Chopper membuat Jokowi hanya melaju di jalan-jalan dan rakyat menonton di pinggir jalan. Ini tentu sangat berbeda dengan blusukan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan menyapa rakyat di rumah mereka sendiri.
Apa yang dikampanyekan oleh Jokowi v.02 sangatlah berbeda dengan Jokowi v.01. Jokowi berusaha mengkampanyekan keberhasilan dirinya. Sebagai petahana, dia sudah menang "popularity contest" jika dibandingkan dengan politikus-politikus Indonesia lainnya.
Kepresidenan Jokowi ditandai dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Ribuan kilometer jalan telah dibangunnya. Ia juga memperbaiki pelabuhan, bandara, dan prasarana transportasi lainnya.
Itulah yang menjadi inti dari kampanye Jokowi sekarang ini. Dia berusaha memproyeksikan citra sebagai pekerja yang tidak kenal lelah membenahi negeri ini. Kampanyenya sangat menekankan pada: kerja, kerja, dan kerja.
Jokowi identik dengan infrastruktur. Tidak pernah ada presiden Indonesia setelah Soeharto yang memperhatikan pembangunan fisik hingga Jokowi berkuasa. Secara impresif, Jokowi telah merampungkan begitu banyak proyek infrastruktur dalam masa kepresidenannya. Peresmiannya pun dilakukan berdekatan dengan masa kampanye.
Tentu ada perbedaan besar antara Jokowi v.01 dan Jokowi v.02. Jokowi v.02 tidak bisa lagi memakai wajah sebagai pembaharu. Dia juga tidak bisa membikin publik terpesona dengan menampilkan diri sebagai ‘wajah segar’ dan pemimpin alternatif. Jokowi v.02 adalah kemapanan. Kepresidenan telah membuatnya menjadi mapan.
Tidak seperti sebelumnya, Jokowi juga tidak bisa berkampanye dengan agenda HAM sebagaimana yang diproyeksikan terhadap dirinya oleh para aktivis dan relawan pada 2014. Saat itu, kita semua tahu Prabowo memiliki jejak masalah HAM yang sangat besar dan Jokowi v.01 adalah antitesisnya.
Dalam soal HAM, Jokowi harus berhadapan dengan rekam jejaknya sendiri. Selama memerintah, dia hampir tidak menaruh perhatian pada persoalan HAM. Bahkan pada awal-awal pemerintahannya, dia mengeksekusi banyak narapidana yang terhukum karena narkoba. Hukuman mati adalah persoalan HAM yang serius. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga membangkitkan persoalan dari sisi HAM.
Selain itu, Jokowi juga bertindak sangat keras kepada para pengkritiknya. Penggunaan UU ITE untuk mereka yang secara frontal melawan Jokowi dilakukan sangat meluas. Tidak heran jika seorang ilmuwan politik Australia, Tom Power,mengingatkan bahwa semakin hari Jokowi memperlihatkan tendensi untuk semakin bertindak seperti penguasa otoriter.
Kontras antara Jokowi v.01 dan v.02 terutama terletak pada bagaimana dia mencitrakan dirinya. Tidak ada yang lebih baik dalam menggambarkan pergeseran citra itu ketimbang pergeseran dari blusukan ke chopper. Sekarang Jokowi kerap tampil mengendarai sepeda motor besar yang dimodifikasi atau chopper, meski masih melakukan blusukan.
Ada perbedaan besar (dan mendasar) antara menaiki chopper dengan blusukan. Chopper membuat Jokowi hanya melaju di jalan-jalan dan rakyat menonton di pinggir jalan. Ini tentu sangat berbeda dengan blusukan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan menyapa rakyat di rumah mereka sendiri.
Pertarungan Visi dan Politik Identitas
Medan politik Indonesia berubah sejak Pilgub DKI 2016.
Calon gubernur yang disokong oleh Prabowo berhasil mengalahkan secara telak
gubernur petahana yang merupakan sekutu dari Presiden Jokowi.
Kemenangan itu tidak terlepas dari koalisi Prabowo dengan kekuatan-kekuatan Islam yang tersingkir dari sistem politik yang ada. Koalisi ini berlanjut hingga ke Pilpres 2019. Prabowo adalah calon presiden pilihan Ijtima Ulama.
Sekalipun Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presidennya, bukan alternatif yang disodorkan oleh Ijtima Ulama, dukungan kelompok-kelompok Islam ini terhadap Prabowo tetap kuat.
Aliansi ini ditanggapi oleh Jokowi dengan mengangkat Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Ulama konservatif yang dulunya dianggap berada dalam koalisi Prabowo ini dianggap akan mampu menahan serangan bahwa Jokowi adalah presiden yang anti-Islam.
Jelas bahwa politik identitas menduduki posisi sentral dalam Pilpres 2019. Namun, politik identitas bukan segala-galanya. Pertarungan Jokowi dan Prabowo juga mewakili pertarungan (retorika) dua visi ekonomi.
Kedua kubu percaya pada ekonomi pasar. Hanya saja, Jokowi memilih membesarkan pasar dengan menggunakan negara. Prabowo, sebagaimana ditunjukkan oleh Sandiaga Uno dalam banyak kesempatan, percaya pada sektor swasta.
Jokowi mengembalikan dirigisme: negara memainkan peranan sentral dalam menggerakkan ekonomi dan bukan sekadar kekuatan pengatur pasar. Hampir semua proyek infrastruktur Jokowi dilakukan lewat BUMN.
Sebagai konsekuensinya, Jokowi harus berhadapan dengan ketidakpuasan dari pelaku-pelaku ekonomi di luar negara yang biasanya menikmati berbagai kontrak ini. Seberapa besar resistensi terhadap kebijakan ekonomi Jokowi ini mungkin akan terefleksi pada hasil pilpres nanti.
Kemenangan itu tidak terlepas dari koalisi Prabowo dengan kekuatan-kekuatan Islam yang tersingkir dari sistem politik yang ada. Koalisi ini berlanjut hingga ke Pilpres 2019. Prabowo adalah calon presiden pilihan Ijtima Ulama.
Sekalipun Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presidennya, bukan alternatif yang disodorkan oleh Ijtima Ulama, dukungan kelompok-kelompok Islam ini terhadap Prabowo tetap kuat.
Aliansi ini ditanggapi oleh Jokowi dengan mengangkat Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Ulama konservatif yang dulunya dianggap berada dalam koalisi Prabowo ini dianggap akan mampu menahan serangan bahwa Jokowi adalah presiden yang anti-Islam.
Jelas bahwa politik identitas menduduki posisi sentral dalam Pilpres 2019. Namun, politik identitas bukan segala-galanya. Pertarungan Jokowi dan Prabowo juga mewakili pertarungan (retorika) dua visi ekonomi.
Kedua kubu percaya pada ekonomi pasar. Hanya saja, Jokowi memilih membesarkan pasar dengan menggunakan negara. Prabowo, sebagaimana ditunjukkan oleh Sandiaga Uno dalam banyak kesempatan, percaya pada sektor swasta.
Jokowi mengembalikan dirigisme: negara memainkan peranan sentral dalam menggerakkan ekonomi dan bukan sekadar kekuatan pengatur pasar. Hampir semua proyek infrastruktur Jokowi dilakukan lewat BUMN.
Sebagai konsekuensinya, Jokowi harus berhadapan dengan ketidakpuasan dari pelaku-pelaku ekonomi di luar negara yang biasanya menikmati berbagai kontrak ini. Seberapa besar resistensi terhadap kebijakan ekonomi Jokowi ini mungkin akan terefleksi pada hasil pilpres nanti.
2019: Referendum Terhadap Jokowi?
Banyak pihak, termasuk saya, melihat Jokowi akan tetap
unggul dalam Pilpres ini. Dengan kata lain, dia akan terpilih kembali. Kampanye
Prabowo sedemikian lemah (saya akan membahasnya dalam kolom selanjutnya),
sehingga tidak mungkin membuatnya menyaingi kampanye Jokowi yang teroganisasi
sangat baik dan didukung dana yang cukup.
Namun, pilpres ini tidak sekadar akan memilih kembali Jokowi. Para elektorat akan menyampaikan pesan lain yang sebaiknya diperhatikan oleh Jokowi jika dia terpilih kembali.
Pemilihan ini adalah sebuah referendum untuk Jokowi. Jika pemilihan ini dimenangkan dengan margin yang kecil, katakanlah di bawah 10 persen, mesti ada hal-hal yang mendasar yang harus diperhatikan oleh Jokowi untuk periode berikutnya.
Ketika berbincang di pasar dan kedai-kedai di berbagai daerah, saya mendapati kehidupan di golongan bawah lebih sulit saat ini. Data-data statistik BPS memang mengatakan bahwa angka kemiskinan telah berkurang, tetapi angka itu tidak mewakili bagaimana kualitas hidup mereka.
Saya sering mengkonfrontasi orang yang saya wawancarai dengan menunjukkan harga-harga bahan kebutuhan pokok yang stabil di bawah Jokowi. Umumnya mereka setuju, tetapi selalu saja ada jawaban balik. Sekalipun harga stabil, uang untuk membelinya tidak ada. Persoalan-persoalan seperti inilah yang dihadapi oleh masyarakat kita dalam kesehariannya.
Dari exit poll yang dirilis oleh Indikator Indonesia pada 2014, kita tahu bahwa sebagian besar pemilih Jokowi adalah golongan bawah, pedesaan, dan berpendidikan rendah. Golongan inilah yang pada hakikatnya memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Selain itu, Jokowi juga didukung oleh golongan minoritas dalam jumlah hampir mutlak (69,8 persen).
Jika segmen elektorat ini meninggalkan Jokowi, entah beralih ke Prabowo atau tidak memilih karena merasa tidak ada gunanya, margin kemenangan Jokowi akan kecil. Bagaimana mungkin presiden yang sangat populer, yang berhadapan dengan lawan yang lemah, tetapi tidak bisa meraih suara dengan margin besar?
Bahkan jika margin suara Jokowi bisa menyamai perolehan tahun 2014 (6,3 persen), kita masih bisa bertanya, mengapa semua program presiden ini tidak diterima oleh lebih banyak elektorat.
Namun, pilpres ini tidak sekadar akan memilih kembali Jokowi. Para elektorat akan menyampaikan pesan lain yang sebaiknya diperhatikan oleh Jokowi jika dia terpilih kembali.
Pemilihan ini adalah sebuah referendum untuk Jokowi. Jika pemilihan ini dimenangkan dengan margin yang kecil, katakanlah di bawah 10 persen, mesti ada hal-hal yang mendasar yang harus diperhatikan oleh Jokowi untuk periode berikutnya.
Ketika berbincang di pasar dan kedai-kedai di berbagai daerah, saya mendapati kehidupan di golongan bawah lebih sulit saat ini. Data-data statistik BPS memang mengatakan bahwa angka kemiskinan telah berkurang, tetapi angka itu tidak mewakili bagaimana kualitas hidup mereka.
Saya sering mengkonfrontasi orang yang saya wawancarai dengan menunjukkan harga-harga bahan kebutuhan pokok yang stabil di bawah Jokowi. Umumnya mereka setuju, tetapi selalu saja ada jawaban balik. Sekalipun harga stabil, uang untuk membelinya tidak ada. Persoalan-persoalan seperti inilah yang dihadapi oleh masyarakat kita dalam kesehariannya.
Dari exit poll yang dirilis oleh Indikator Indonesia pada 2014, kita tahu bahwa sebagian besar pemilih Jokowi adalah golongan bawah, pedesaan, dan berpendidikan rendah. Golongan inilah yang pada hakikatnya memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Selain itu, Jokowi juga didukung oleh golongan minoritas dalam jumlah hampir mutlak (69,8 persen).
Jika segmen elektorat ini meninggalkan Jokowi, entah beralih ke Prabowo atau tidak memilih karena merasa tidak ada gunanya, margin kemenangan Jokowi akan kecil. Bagaimana mungkin presiden yang sangat populer, yang berhadapan dengan lawan yang lemah, tetapi tidak bisa meraih suara dengan margin besar?
Bahkan jika margin suara Jokowi bisa menyamai perolehan tahun 2014 (6,3 persen), kita masih bisa bertanya, mengapa semua program presiden ini tidak diterima oleh lebih banyak elektorat.
Jokowi mungkin menang, tetapi jika marginnya kecil, berarti ada pesan penting yang harus ia perhatikan.
Source: Tirto.Id
Selasa, 26 Maret 2019
26 Maret 1968, Saat Soeharto Ditunjuk Gantikan Soekarno Jadi Presiden
26/03/2019, 18:24 WIB.
Penulis : Aswab Nanda Prattama
Editor : Bayu Galih
Editor : Bayu Galih
Presiden Soeharto sedang panen bawang putih di Sembalun Lombok tanggal
15/10/1987.(KOMPAS/RAKA SANTERI)
Soekarno saat itu meninggalkan Istana Kepresidenan di
Jakarta setelah mendapat laporan adanya pasukan liar yang bergerak di luar
Istana. Setelah itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor, yaitu
Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.
Pertemuan itu kemudian menghasilkan surat mandat yang
diberikan Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan
Darat.
Bermodalkan Supersemar, Soeharto tidak hanya memulihkan
keamanan, tetapi juga secara perlahan mengambil alih kepemimpinan nasional.
Soekarno sempat menyikapinya dengan mengeluarkan pidato
pembelaan yang dikenal dengan "Nawaksara". Namun, MPRS menolak pidato
pertanggungjawaban itu. Soekarno pun diberhentikan sebagai Presiden pada 22
Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-IV MPRS.
Soeharto kemudian ditunjuk sebagai "pejabat
presiden" setahun kemudian, yaitu pada Maret 1967. Penunjukan berdasarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/1967 pada 22
Februari 1967.
Posisi ini diemban Soeharto sampai dipilihnya presiden
oleh MPRS hasil pemilihan umum. Soeharto jadi presiden Selama menjadi pejabat
presiden, Soeharto melakukan sejumlah perubahan terutama rencana pembangunan.
Berbagai sektor mulai dibenahi dan mengubah sistem yang
ada pada era Soekarno. Mendekati pemilihan umum pada 1971, perbincangan hangat
mengenai penunjukan Soeharto menjadi presiden penuh akhirnya muncul.
MPRS melakukan sidang untuk meresmikan kepemimpinan
Soeharto. Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 23 Maret 1968, pada
musyawarah pleno ke-IV MPRS, beberapa pihak menyuarakan pendapatnya untuk
mengangkat Soeharto menjadi presiden secara penuh.
Mereka adalah perwakilan dari masing-masing partai dan
wilayah di Indonesia. Tentunya, pengangkatan Soeharto jadi presiden harus
disertai upaya menghilangkan nama S dalam MPRS, jadi MPR.
Akhirnya, terjadilah kesepakatan bersama pada 26 Maret 1968,
Soeharto dinyatakan sebagai presiden penuh untuk memimpin Indonesia.
Adapun, mekanisme yang dilakukan MPRS adalah dengan
menyiapkan segala sesuatu terkait pelantikan Soeharto. MPRS juga menyiapkan
rancangan ketetapan baru untuk menjamin lancarnya pelantikan tersebut. Soeharto
dilantik
Soeharto dilantik
Presiden Soeharto saat dilantik/disumpah menjadi Presiden.(Hendranto,
Pat)
Status pejabat presiden yang melekat padanya seketika
berganti menjadi presiden.
Pada 27 Maret 1968, Soeharto menyampaikan pidato
perdananya sebagai presiden ke-2 RI. Harian Kompas yang terbit pada 29 Maret
1968 menjelaskan, Soeharto dalam pidato perdananya menyatakan dua tema pokok:
Pertama, mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Kedua, menegakkan konstitusi termasuk mengembalikan
demokrasi. Menurut Soeharto, kedua tema ini tak boleh dipertentangkan namun
diserasikan satu sama lain.
Dalam upacara pelantikan selama 40 menit itu, Soeharto
juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan putusan-putusan SU (Sidang Umum)
ke-V MPRS terutama bidang pembangunan.
Ke luar negeri Sehari setelah pelantikannya menjadi
presiden, Soeharto mempunyai jadwal kunjungan ke luar negeri. Jepang dan
Kamboja menjadi tujuan rombongan presiden. Khusus Jepang, kunjungan ini
bertujuan untuk mencapai kerja sama ekonomi.
Rombongan terdiri dari 45 orang, yaitu para pejabat
negara dan wartawan. Sebelum Soeharto berangkat, mandat untuk menjaga keamanan
dan keselamatan negara diberikan kepada menteri negara Hamengkubuwono IX,
sekaligus menjadi pejabat presiden.
Harian Kompas yang terbit pada 28 Maret 1968 menulis,
Soeharto memberikan mandat kepada Hamengkubuwono IX untuk melaksanakan tugasnya
sehari-hari sebagai Kepala Negara selama berada di luar negeri.
Ia juga mempunyai wewenang sebagai menteri luar negeri
karena Menlu Adam Malik juga ikut presiden ke luar negeri. Sejarah menarik
tentang perjalanan kepemimpinan Soeharto hingga dia dijatuhkan oleh gerakan
Reformasi 1998
Sumber: Kompas.Com
Sumber: Kompas.Com
The End of Silence: Akun Genosida 1965 di Indonesia
- Soe Tjen Marching*
Tanggal" 27 Maret 2019
Waktu:18:00 - 20:00 jam
Kamar: 5A29
Peluncuran & diskusi buku
Buku baru Marching adalah tentang
pengalaman para penyintas genosida Indonesia 1965-1966 dan penghilangan paksa
yang dilakukan oleh militer Indonesia pada saat itu.
Kisah-kisah ini
menggarisbawahi dampak jangka panjang yang menghancurkan dari
pelanggaran-pelanggaran ini terhadap masyarakat Indonesia secara umum dan
khususnya para korban itu sendiri, saudara mereka, anak-anak dan cucu-cucu
mereka.
Judul buku ini mengungkapkan bagaimana kisah-kisah mengenai
kebrutalan dan stigmatisasi yang mereka alami yang sebagian besar masih
tersembunyi dalam sejarah kehidupan mereka akhirnya tidak
dikunci.
Keheningan ini atau penolakan untuk mengemukakan cerita-cerita
ini terutama karena kampanye propaganda yang komprehensif dan
strategi pembungkaman yang dilakukan di bawah kediktatoran Suharto.
Propaganda
dan sensor oleh rezim Suharto menciptakan mitos sejarah tentang siapa musuh
bangsa, dan bagaimana mereka yang memiliki hubungan dengan apa yang dianggap
sebagai komunisme harus diberantas dari masyarakat.
Hal ini mempengaruhi
tidak hanya mereka yang ditahan (yang pada waktu itu adalah jurnalis, anggota
serikat pekerja, atau guru) tetapi juga anak-anak dan cucu-cucu mereka yang
juga mengalami proses stigmatisasi dan pengucilan, dan bagi sebagian orang,
menyaksikan penahanan atau pembunuhan mereka ( grand) orang
tua.
Kisah-kisah mereka adalah tentang perjuangan pribadi mereka untuk mendapatkan
informasi tentang apa yang terjadi pada orang tua atau kakek-nenek mereka, dan
untuk menangani diskriminasi sosial serta keheningan dari anggota keluarga
mereka sendiri.
Dari sembilan belas kesaksian yang
digambarkan dalam buku ini, yang juga termasuk penulisnya sendiri (yang ayahnya
dibawa pergi oleh pasukan Soeharto), kami juga mendengar kisah kesaksian
perempuan dan bagaimana pengalaman mereka sangat spesifik
gender.
Kesaksian-kesaksian ini adalah tentang kekuatan pria dan wanita
ini yang telah berhasil bertahan hidup dan menciptakan kehidupan mereka sendiri
di tengah-tengah hambatan sosial dan psikologis yang mereka hadapi.
Pembahas: Grace Leksana
Leksana saat ini sedang
mengerjakan proyek PhD kenangan pasca-Orde Baru di Indonesia - proyek
bersama antara KITLV, Universitas Leiden dan NIOD. Penelitiannya berfokus
pada pembangunan memori kolektif Indonesia dan perubahan yang terjadi seiring
dengan pergeseran rezim.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan
penduduk desa setempat sebagai agen ingatan dan meneliti mekanisme lokal lebih
lanjut yang bertahan, memodifikasi, atau bahkan menghadapi, konstruksi
ingatan. Proyek penelitian empat tahun ini dilakukan di dua desa di
Kabupaten Malang, Jawa Timur.
___
Soe Tjen Marching adalah Dosen Senior di SOAS (School of Oriental and African Studies), Universitas London.
Source: Universiteit Leiden
Langganan:
Postingan (Atom)