Putra/aww. Oleh: Iswara N
Raditya - 23 Mei 2019
Sejumlah warga melintasi ban
yang dibakar di tengah Jalan KS. Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu
(22/5/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana
Sejarah mencatat,
Jakarta menjadi ajang bentrok sesama anak bangsa: Dari 1965 pasca-G30S, Malari
1974, tragedi Tanjung Priok 1984, kerusuhan Mei 1998, dan hingga aksi massa 22
Mei 2019.
Kerusuhan yang melanda Jakarta, Selasa malam (21/5/2019)
hingga Kamis (23/5/2019) dini hari, bukanlah yang pertama kali.
Sejarah mencatat, Ibu Kota pernah diwarnai sejumlah
insiden massal mulai dari pasca-Gerakan 30 S (G30S) 1965, Malari pada 1974,
tragedi Tanjung Priok 1984, hingga kerusuhan Mei 1998 yang memaksa Soeharto
lengser. Peristiwa G30S 1965 menjadi salah satu catatan paling kelam dalam
sejarah RI.
Bermula dari aksi saling intip kekuasaan antara sejumlah
perwira TNI-AD dengan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berakhir
dengan terbunuhnya beberapa perwira militer. Mayor Jenderal Soeharto selaku
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) menuding PKI adalah
aktor utama sekaligus dalang peristiwa berdarah itu.
Soeharto pula yang berinisiatif mengamankan ibu kota.
Unjuk rasa mahasiswa –yang didukung AD–merebak. Tuntutannya: bubarkan PKI dan
ganyang sampai ke akar-akarnya.
1965/1966: Ganyang
PKI
Sentimen anti-komunis di Jakarta melibatkan puluhan ribu
orang, termasuk yang digalang gerakan gabungan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI), dengan dukungan tentara. Aksi pembersihan yang berujung
kerusuhan antar-rakyat pun dimulai.
Pada 8 Oktober 1965, markas pusat PKI di Jakarta dibakar.
Siapa saja yang dituding PKI atau organisasi yang dianggap kiri, seperti
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan wanita Indonesia
(Gerwani), dan lain-lain, diganyang.
Kala itu, di ibu kota juga merebak sentimen anti-Cina.
Victor M. Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi
(2005) mengungkapkan, terjadi pembakaran rumah-rumah dan penghancuran harta,
juga nyawa, yang tidak kenal ampun.
Puncaknya terjadi pada 24 Februari 1966. Unjuk rasa
digelar di depan Istana Negara Jakarta yang berujung bentrokan dengan Resimen
Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden), dan menelan korban jiwa, salah satunya
seorang demonstran bernama Arif Rahman Hakim.
Menurut catatan M. C. Ricklefs melalui buku A History of
Modern Indonesia (1991), di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 orang
yang disebut terkait PKI ditangkap. Sebagian dipenjara tanpa pengadilan,
sebagian lainnya dibantai.
1974: Malapetaka
15 Januari
Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pada
1974 menjadi kerusuhan massal pertama yang terjadi di rezim Orde Baru setelah
Soeharto naik menjadi presiden usai berhasil mengambil-alih kekuasaan dari
Sukarno pasca-G30S 1965.
Isu utama yang diusung saat itu adalah penolakan modal
asing. Tanggal 14 Januari 1974 malam, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka
mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma dan dijadwalkan berada di Jakarta
selama tiga hari.
Sejak pagi harinya, ribuan massa, termasuk mahasiswa dan
pelajar, sudah melancarkan protes menentang investasi Jepang ke Indonesia.
Dikutip dari Man of Honor (2013) suntingan Teguh Sri Pambudi dan kawan-kawan,
terjadi aksi bakar-bakaran sedari pukul 10 pagi di sejumlah sudut ibu kota.
Tanggal 15 Januari 1974 atau keesokan harinya, gerakan
massa yang didominasi kalangan mahasiswa melakukan longmars dari Universitas
Indonesia di Salemba menuju Universitas Trisakti di Grogol.
Siang menjelang sore, sekitar pukul 14.30, mulai terjadi
perusakan yang dilakukan sejumlah orang di Jakarta Pusat. Salah satunya di
Pasar Senen. Proyek kompleks pertokoan yang belum lama dibangun rusak parah
dibakar massa. Demonstrasi yang diwarnai kerusuhan dan penjarahan terjadi
hingga dua hari berikutnya.
Malari menghasilkan banyak kerusakan di Ibu Kota. Asvi Warman Adam mencatat
dalam Membongkar Manipulasi Sejarah (2009), sebanyak 807 mobil dan motor buatan
Jepang dibakar massa, 11 orang tewas, 300 luka-luka, 144 unit bangunan rusak
berat, 160 kilogram dari toko-toko perhiasan raib dijarah.
Soeharto murka. Soemitro dicopot dari jabatannya sebagai
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)
karena dianggap gagal menjalankan tugasnya. Orde Baru pun menerapkan aturan
yang jauh lebih ketat terhadap gerakan mahasiswa setelah itu.
1984: Tragedi Tanjung Priok
Peristiwa berdarah di Ibu Kota kembali terjadi tepat satu
dasawarsa setelah Malari. Kali ini berpusat di pesisir utara Jakarta, Tanjung
Priok. Tanggal 12 September 1984, pecah kerusuhan antara umat muslim dengan
aparat Orde Baru. Nyaris semua korban tewas akibat terkena tembakan tentara.
Tragedi ini dipicu penolakan aturan asas tunggal
Pancasila yang dipaksakan pemerintahan Soeharto. Tohir Bawazir dalam Jalan
Tengah Demokrasi (2015) menuliskan, siapapun yang tidak sejalan dengan garis
politik rezim maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila.
Pangkal masalah berawal saat dua petugas Bintara Pembina
Desa (Babinsa) masuk ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok, tanpa
melepas sepatu. Maksud kedatangan mereka adalah untuk mencopot pamflet yang
dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Terjadi pertengkaran antara sejumlah jemaah dengan dua
anggota Babinsa itu. Kemudian, keduanya diajak masuk ke ruang pengurus Masjid
Baitul Makmur, tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar
sehingga warga mulai berdatangan ke masjid.
Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari
kerumunan membakar sepeda motor milik Babinsa itu. Aparat yang sudah
didatangkan segera bertindak menangkap empat orang yang diduga menjadi
provokator, termasuk si pembakar motor.
Masyarakat meminta polisi melepaskan empat warga yang
ditahan. Namun lantaran tak dipenuhi, pagi tanggal 12 September 1984, lebih
dari 1.500 orang bergerak sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke
arah Kodim.
Kerusuhan pun pecah karena pasukan militer sudah siaga mengadang barisan
rakyat. Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus merangsek dan
langsung disambut dengan rentetan tembakan senapan otomatis. Orang-orang pun
tumbang, bergelimpangan. Darah membasahi tanah Tanjung Priok.
Dikutip dari Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok (2005)
karya A.M. Fatwa, Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18
orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut.
Namun, data berbeda diajukan Solidaritas untuk Peristiwa
Tanjung Priok (Sontak) yang menyebut tidak kurang dari 400 orang tewas dalam
tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang, demikian dinukil
dari laporan Suara Hidayatullah (1998).
1998: Kerusuhan
13-15 Mei
Presiden Soeharto sedang mengikuti KTT G-15 di Kairo,
Mesir, saat terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta. Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa
Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat. Kaum mahasiswa marah dan
mempersiapkan aksi berikutnya dengan skala lebih besar.
Tanggal 13 Mei 1998, massa di luar kampus Trisakti tak
terkendali. Massa yang bukan dari kalangan mahasiswa ini bahkan mulai merusak
dan membakar kendaraan yang mereka temui. Sekelompok rombongan lainnya membakar
pom bensin di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat.
Dari situlah kerusuhan kemudian menjalar ke banyak lokasi
lain di Ibu Kota selama beberapa hari berikutnya hingga Soeharto kembali ke
tanah air sebelum akhirnya menyatakan mundur dari kursi kepresidenan tanggal 21
Mei 1998.
Salah satu sasaran utama kaum perusuh adalah aset milik
kalangan keturunan Tionghoa di Jakarta. Banyak pertokoan, kantor-kantor, dan
rumah pribadi, yang dianggap milik orang peranakan Cina dibakar, dihancurkan,
juga dijarah.
Lebih sadis lagi, seperti ditulis Usman Hamid dalam buku
Menatap Wajah Korban (2005), terjadi banyak kasus pelecehan seksual,
pemerkosaan, bahkan pembunuhan, terhadap ratusan wanita keturunan Tionghoa. Ini
belum termasuk korban tewas lainnya.
Data dari relawan yang dikumpulkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
menyebutkan korban tewas akibat rangkaian kerusuhan ini mencapai lebih dari
1.200 orang, belum termasuk mereka yang luka-luka dan kerugian materiil.
2019: Aksi 21-22
Mei
Setelah KPU mengumumkan pasangan capres-cawapres nomor
urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin meraih suara terbanyak dalam penghitungan suara
Pilpres 2019, ratusan orang pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno
menggelar demonstrasi damai di depan Gedung Bawaslu, di Jalan M.H. Thamrin,
Jakarta Pusat, Selasa, 21 Mei 2019.
Aksi ini berjalan relatif damai hingga massa meninggalkan
lokasi usai salat tarawih. Namun, kemudian datang rombongan massa tak dikenal
yang melakukan aksi provokatif dan akhirnya terlibat bentrok dengan aparat
keamanan.
Kericuhan berlanjut hingga keesokan harinya, tanggal 22
Mei 2019, dan terjadi di beberapa titik di ibu kota. Massa aksi melempari
aparat kepolisian dengan batu dan kembang api. Beberapa unit bangunan, termasuk
asrama polisi, juga kendaraan bermotor dihancurkan dan dibakar.
Hingga 23 Mei 2019 siang, Kadiv Humas Polri Irjen M.
Iqbal menyebut tujuh orang meninggal. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan mengatakan lebih dari 450 orang harus mendapatkan pelayanan kesehatan,
sebagian besar di bawah usia 30 tahun.
Polisi juga sudah menahan 257 tersangka yang diduga
menjadi provokator.
Penulis: Iswara N Raditya - Editor:
Mufti Sholih
Tirto.Id