Rabu, 30 September 2015

30 September 1948: Madiun Direbut TNI

September 30, 2015 09:00

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun, Jawa Timur, berhasil direbut TNI dari tangan para  pemberontak PKI, demikian tulis wartawan senior, mantan Wapemred Sinar Harapan, mantan Pemred The Jakarta Post dan mantan Dubes Ri untuk Australia, Sabam Pandapotan Siagian dalam bukunya “Pemantauan dan Pemahaman” (Penerbit buku Kompas 2015)
Menjelang akhir September 1965 suhu politik di Jakarta meninggi lalu meletuslah peristiwa yang mengakibatkan sejumlah jendral pimpinan TNI AD gugur. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama G30S/PKI (Gerakan Tigapuluh September)/ PKI. Timbul pertanyaan, apakah penamaan peristiwa itu berkaitan atau diakitkan dengan tertumpasnya pemberontakan PKI Madiun  1948? Jadi, semacam tanda bangkitnya kembali PKI? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu penelitian mendalam. Apa yang terjadi di Madiun itu ada yang menyebutnya sebagai “Peristiwa Madiun” atau “Madiun Affairs”.
Siapa yang pertama memperkenalkan istilah G30S/PKI juga perlu diteliti. Bung Karno, presiden RI yang berkuasa waktu itu, lebih suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, karena peristiwa pembunuhan sejumlah jendral pimpinan TNI AD terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965.
PKI dan para pendukungnya tentu tidak mau menyebut peristiwa berdarah itu sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dengan alasan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme. Sama halnya dengan yang terjadi di Madiun sebelumnya.
Istilah G30S/PKI lebih populer dengan singkatannya Gestapu. Waktu pertama kali mendengar kata Gestapu, banyak orang langsung mengasosiakannya dengan ke Gestapo, polisi rahasia Jerman jaman Adolf Hitler, yang terkenal dengan kekejamannya. Memang untuk telinga Indonesia agak asing ketika mendengar singkatan Gestapu, karena nama bulan disebut duluan sebelum tanggalnya. Umumnya tanggal disebut duluan,baru bulan dan tahunnya. Contoh, 17 Agustus, 1945.
Tapi Gestapu bukan satu-satunya singkatan yang “nyleneh” (aneh, melanggar kebiasaan), karena ada juga “Malari” (Malapetaka 15 Januari), 1974, yakni peristiwa demonstrasi mahasiswa besar-besaran memrotes kunjungan PM Jepang, Kakuei Tanaka, yang sasaran sebenarnya atau akhirnya adalah Presiden Soeharto.
Siapa yang memperkenalkan pertama kali singkatan Malari juga perlu diteliti. Semuanya demi akurasi dan kebenaran sejarah, walau banyak orang bilang bahwa sejarah ditulis oleh pemenang (penguasa).
Peristiwa Madiun, menurut Sabam Siagian, dmulai oleh gerakan Soemarsono, tokoh Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia)  pada tanggal 18 September, 1948. Gerakan ini melucuti kesatuan TNI dan menduduki gedung-gedung vital. Soemarsono, yang berperan dalam Pertempuran Surabaya,  (November 1945) menyebut tindakannnya itu sebagai “koreksi” terhadap jalannya revolusi Indonesia, karena pemerintah dianggap terlalu lunak terhadap tuntutan Belanda  dan tekanan Amerika Serikat.
Gerakan Soemarsono ini mendapat persetujuan Musso dan Amir Sjarifoeddin Harahap, yang waktu itu menjabat pimpinan tertinggi PKI. Pemerintah RI yang berkedudukan di Yogyakarta di bawah  Perdana Menteri Moh. Hatta, yang juga Wakil Presiden, menyebut gerakan PKI di Madiun itu sebagai “perampasan kekuasaan” dan segera bertindak cepat untuk memadamkannya dengan menerjunkan pasukan TNI, antara lain yang terkenal adalah dari Divisi Siliwangi.
Presiden Soekarno berpidato berapi-api, menyerukan rakyat untuk memilih “Musso/Amir atau Soekarno/Hatta”. Musso adalah tokoh PKI, yang baru kembali dari pelarian di Rusia setelah pemberontakan PKI tahun 1926 gagal, sedangkan Amir adalah perdana menteri RI kedua setelah kabinet Sjahrir.  Amir dikenal sebagai mantan aktivis gerakan bawah tanah di jaman penjajahan Jepang. Ia semula beragama Islam,kemudian murtad menjadi Kristen, lalu komunis.
Banyak kyai dan santri  serta pejabat nasionalis yang menjadi korban PKI Madiun 1948.  Ada yang dibunuh dengan cara diceburkan ke dalam sumur seperti jenasah para jendral yang dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada G30S/PKI, 1965. Berapa jumlah korban PKI Madiun juga perlu didata ulang.
Setelah berminggu-minggu berkelana dan dalam pengejaran pasukan TNI, rombongan Amir dan Soemarsono tiba di daerah Kudus. Amir ditangkap pada Senin, 20 November, 1948, tapi Soemarsono lolos dan kemudian menjadi pelarian politik di Australia.
“Sekitar tengah malam 19-20 Desember 1948 di desa Ngalihan, di luar kota Solo, dilakukan eksekusi terhadap tahanan politik oleh peleton polisi militer. Satu diantara mereka adalah Amir Sjarifoeddin Harahap…”, demikian tulis Sabam dalam sebuah karangan berjudul ”Bung Amir, tragedi seorang patriot”.
“Tumbal” yang sakral
“Revolusi memakan anak-anaknya sendiri”, demikian sering dikatakan oleh Bung Karno. Demikian pula revolusi Indonesia untuk merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan RI. Karena perbedaan ideologi politik dan bahkan hanya karena beda strategi dan taktik perjuangan, sesama pejuang bisa bermusuhan dan berbunuhan.
Ada yang menuduh Bung Karno, penggali Pancasila, yang mencoba bertindak sebagai seorang bapak untuk melindungi anak-anaknya, termasuk anggota PKI, sebagai terlibat dan dalang G30S/PKI.  Ada yang ganti menuduh Pak Harto, yang telah bertindak sebagai penyelamat Pancasila harus bertanggung jawab atas terbunuhnya ratusan ribu anggota PKI dan pendukungnya.
Aksi pembersihan terhadap pimpinan, anggota dan pendukung PKI serta orang-orang yang dituduh terlibat G30S/PKI oleh aparat TNI dan ormas-ormas musuh PKI  konon mengakibatkan sekitar 500.000 orang tewas atau hilang. Ada yang menyebut jumlah korban sampai tiga juta orang. Sejumlah pihak, terutama pendukung HAM (Hak  Asasi Manusia) di dalam dan luar negeri menganggap tindakan pembersihan itu sebagai “aksi genoside” secara sistematik oleh pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Kini para keluarga korban pembersihan dan pendukungnya menuntut pemerintah Indonesia untuk minta maaf atas tindakan itu.  Menanggapi tuntutan itu, sejumlah keluarga korban PKI Madiun 1948, menjawab: “Enak saja mereka menuntut pemerintah minta maaf, PKI tidak pernah mau minta maaf kepada kami”.
Bisa difahami betapa pedih penderitaan para korban gerakan PKI 1948 dan G30S/PKI 1965 serta aksi pembersihan oleh aparat TNI dan ormas-ormas pendukungnya . Demi kerukunan dan keutuhan bangsa Indonesia ke depan,  mungkinkah diadakan rekonsiliasi nasional antara keluarga korban PKI Madiun 1948, G30S/1965 dan mereka yang dituduh terlibat G30S/PKI dengan TNI dan ormas pendukungnya?.
Tentu ini bukan sesuatu yang mudah. Kecuali, jika semua pihak bersedia mengihklaskan  dengan menganggap apa yang telah terjadi sebagai” tumbal” atau pengorbanan yang bernilai sangat mahal dan sekaligus sakral bagi tetap tegaknya NKRI sampai detik ini. Kita harus bertekad agar peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Semoga Allah membimbing bangsa Indonesia, amien. (KBK, Kantor Berita Kemanusiaan). 
http://www.kbknews.id/2015/09/30/30-september-1948-madiun-direbut-tni/

0 komentar:

Posting Komentar