Jum'at, 25 September 2015 | 15:52 WIB
Ketua Panitia Pengarah
Simposium Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, berbicara dalam
acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, 18
April 2016. Simposium ini diadakan guna menemukan penyelesaian masalah
Tragedi 1965. TEMPO/Aditia Noviansyah
"Perbedaan pendapat itu wajar dan harus dihargai. Tidak bisa bilang satu kegiatan, satu cara itu sebagai sesuatu yang paling benar," ujar Agus kepada wartawan di kantor Lemhanas, Rabu, 18 Mei 2016.
Sebelumnya, sejumlah purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) keberatan dengan diselenggarakannya Simposium Membedah Tragedi 65 pada April lalu. Mereka menganggap simposium itu kurang mewakili pandangan TNI. Kubu yang tak setuju berencana menggelar simposium tandingan pada Juni mendatang.
Simposium tandingan itu bernama Simposium Kebangkitan PKI. Ketua panitia kegiatan, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri menuturkan, simposium itu bertujuan meluruskan pandangan yang meyakini TNI bersalah, dan simpatisan PKI adalah korban dalam Tragedi 65.
"Sejarah PKI itu pemberontak. Kalau ingin rekonsiliasi, samakan persepsi dulu, jangan memaksa," ujarnya, pekan lalu.
Merespons rencana tersebut, Agus menilai, adanya simposium tandingan menandakan kurang adanya komunikasi yang baik di antara sejumlah pihak yang terkait atau berkepentingan.
Ketidaksepakatan, kata ia, cenderung selalu berasal dari non-komunikasi. "Mungkin salah komunikasi (saat menggelar simposium), kurang berkomunikasi. Hal wajar, kok," ujar Agus.
ISTMAN M.P.
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/18/078772139/agus-widjojo-persilakan-ada-simposium-tandingan-tragedi-65
0 komentar:
Posting Komentar