Rabu, 30 September 2015

Dr.Asvi Warman Adam: PKI, NU, TNI, dan Rekonsiliasi



Peristiwa pembantaian 1965 layaknya noda hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Hingga kini, kasus yang mengorbankan sekitar 500.000 nyawa tersebut (angka yang paling moderat) tak pernah terselesaikan secara hukum. Seiring kemunculan film The Act of Killing, hingar bingar Peristiwa 1965 tersebut kembali terdengar. Demi menuntaskan kasus ini, beberapa kalangan masyarakat bahkan membuat petisi supaya para pelakunya ditangkap dan diseret ke pengadilan.
Akankah tuntutan itu bisa terlaksana? Lantas bagaimana proses rekonsiliasi yang terjadi antara para keluarga korban dengan para pelaku kejadian yang telah berlangsung hampir setengah abad itu? Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sedikit mengungkap jawabannya kepada Hendi Jo dari Islam Indonesia. Berikut petikannya:
Beberapa waktu lalu kalangan Nahdlatul Ulama (NU) meluncurkan sebuah buku putih mengenai peristiwa pembantaian besar-besaran pada 1965 yang mana NU menjadi salah satu unsur yang terlibat dalam insiden tersebut. Komentar Anda?
Terus terang, saya mempertanyakan sebenarnya buku putih itu milik siapa? Milik NU atau milik TNI (Tentara Nasional Indonesia)? Atau milik kedua-duanya? Karena di dalam uraian buku tersebut kata ‘nu’ dan ‘tni’ selalu ditempatkan serangkai. Juga jelas-jelas di situ dikatakan Peristiwa 1965 tersebut sangat menyudutkan NU-TNI.
Ada kalangan menyebut, penerbitan buku tersebut sebagai salah satu upaya NU untuk melakukan perdamaian dengan masa lalu.
Ya okelah apapun itu. Tapi harus ditegaskan posisi NU terkait dengan buku putih itu seperti apa? Mengapa harus selalu menyebut TNI dan NU dalam satu rangkaian? Ini harus dijelaskan.
Menurut Anda sendiri, baiknya rekonsiliasi itu dilakukan NU seperti apa?
Banyak sebetulnya. Diantaranya itu sudah dilakukan oleh sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat di Yogyakarta. Mereka memulai langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi sosial dengan melakukan silaturrahim kepada keluarga mantan tapol di berbagai tempat. Mereka juga menerbitkan buletin RUAS yang khusus membahas materi yang berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Oh ya, jangan lupa, Gus Dur sendiri pernah meminta maaf secara terbuka terkait soal Insiden 1965 ini.
Tapi nyatanya ditolak mentah-mentah oleh Pramoedya Ananta Toer.
Ya itu masalah Pramoedya. Pramoedya menolak permintaaan maaf Gus Dur tentu saja atas nama pribadi, bukan atas nama seluruh korban Peristiwa 1965. Sikap Pram ini justru disayangkan dan dikritik oleh para korban Peristiwa 1965 yang lain.
Jika demikian, kapasitas Gus Dur sendiri saat meminta maaf itu sebagai pribadi atau apa?
Saat itu Gus Dur tengah menjabat sebagai Ketua PBNU. Tentunya posisi ini sangat resmi dan cukup menegaskan bahwa secara organisasi NU pernah minta maaf kepada para korban Peristiwa 1965. Lalu Pram menolaknya. Lha Pram ini siapa? Jadi saya berpendapat penolakan itu sifatnya pribadi saja
Ada kecenderungan masing-masing pihak ingin ‘menang sendiri’ dalam kasus Peristiwa 1965 itu. Pihak NU menyebut apa yang mereka lakukan motifnya tidak berdiri sendiri dan terkait dengan prilaku agresif PKI saat mereka berjaya. Begitu juga para mantan anggota PKI mengeluhkan tindakan-tindakan musuh-musuh mereka (termasuk NU di dalamnya) sangat keterlaluan. Bagaimana Anda memandang ini?
Jalan keluarnya menurut saya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus kembali dihidupkan. Jangan dimatikan.
Memang komisi itu saat ini tidak berfungsi?
Dalam kenyataannya, komisi tersebut memang tak dihidupkan. Bahkan undang-undang yang sudah ada terkait komisi ini malah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Presiden pun yang memiliki wewenang memilih anggota komisi ini tak jua memilih hingga kini. Jadi saya pikir, komisi ini harus kembali dihidupkan. Biar menjelaskan semua pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1945 hingga tahun 2000-an.
Ada kalangan yang tidak setuju dilakukannnya rekonsiliasi karena kecemasan mereka akan timbulnya kembali PKI sebagai kekuatan politik.
Saya sendiri tidak melihat kecemasan tersebut sebagai sesuatu yang beralasan. Proses rekonsiliasi menjadi terhambat karena ada institusi yang dulu terlibat sebagai pelaku menolak dosa-dosa mereka kembali diungkit
Maksud Anda tentara?
Yang tertera dalam sejarah ditulis siapa? Sejarah banyak mengupas tentang operasi militer dan konflik horisontal yang secara sengaja dicetuskan untuk menyingkirkan orang-orang kiri dan para pendukung Sukarno.
Namun jauh sebelum terjadi Peristiwa G30S, bukannya memang telah terjadi konflik horisontal yang sangat kental di kalangan massa arus bawah?
Oh ya, saya tak menafikan itu. Jauh sebelum 1965, memang sering terjadi bentrokan yang terjadi antara massa Islam (NU dan mantan Masyumi) dengan organ-organ yang diidentikan dengan PKI. Misalnya BTI (Barisan Tani Indonesia). Biasanya bentrokan-bentrokan itu terjadi terkait dengan land reform: para aktivis petani kiri melakukan aksi sepihak dengan merampas tanah-tanah yang dikuasai oleh para tuan tanah untuk diserahkan kepada negara. Mengapa terjadi clash, ya karena para tuan tanah itu terdiri dari kiai NU dan mantan orang-orang Masyumi yang juga memiliki banyak pengikut.
Sastrawan Taufik Ismail pernah menyebut orang-orang PKI saat ini kerap mengeluh sebagai pihak yang terzalimi tanpa melihat masa lalu mereka yang juga pernah menzalimi pihak lain, terutama kalangan Islam. Komentar anda selaku sejarawan?
Saya pikir tidak bisa sesederhana itu. Kata ‘menzalimi’ dan ‘terzalimi’ tidak bisa mewakili apa yang terjadi kala itu. Bahwa PKI melakukan kekerasan dengan melakukan aksi sepihak itu memang terjadi. Tapi kemudian mereka justru menjadi korban. Sebagian besar dari setengah juta orang yang terbunuh pada 1965-1966 itu kan anggota PKI. Jadi saya tidak bisa menerima logika itu.
Baru-baru ini beredar di kalangan masyarakat film The Act of Killing. Adanya film tersebut memunculkan kembali tuntutan sebagian masyarakat supaya pemerintah mengadili para pelaku pembantaian 1965 yang sekarang sebagian besar masih hidup. Anda sendiri melihat itu seperti apa?
Saya pikir pemerintah harus menindaklanjuti laporan Komnas HAM yang dikeluarkan dua tahun lalu. Saat itu kan Komans HAM menyebut Peristiwa 1965 sebagai pelanggaran berat dan menyebut beberapa pelakunya secara jelas. Ya silakan itu ditandaklanjuti. Jangan kasus itu hanya ‘dipimpong’ antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM saja. Seharusnya Kejaksaaan Agung sendiri menindaklanjuti dengan membuat Pengadilan HAM Ad Hoc
Yang terakhir, Bung Asvi. Anda sendiri optimis akan terjadi rekonsiliasi dalam masalah ini?
Rekonsliasi Peristiwa 1965 sudah terjadi dan akan dilakukan terus oleh kedua pihak. Yang saya pesimis adalah para pelanggar HAM itu akan diadili dan kasus tersebut bisa diungkap kembali ke permukaan. Ini masih sulit.
http://sejarahri.com/dr-asvi-warman-adam-pki-nu-tni-dan-rekonsiliasi/

0 komentar:

Posting Komentar