Prima Gumilang, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 23:18 WIB
Ilustrasi tari (CNN
Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jiwa seni di tubuh Jean Luyke,
istri anggota dewan Partai Komunis Indonesia (PKI) Oey Hay Djoen, masih
menyala. Bahkan jiwa seni itu mengalir ke putri tunggalnya, Mado.
Padahal saat itu kondisi hidupnya berada di titik nadir, lantaran sang suami ditahan atas tuduhan terlibat peristiwa G30S. Oey dipenjara selama 14 tahun, paling lama di Pulau Buru, Maluku.
Usia Jean saat itu masih 30 tahun. Tidak sebatas harus menghidupi keluarga, ia juga berjuang mempertahankan rumahnya agar tidak disita tentara. Sementara, rumahnya di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta, yang dijadikan markas Lekra, telah dirampas negara.
Padahal saat itu kondisi hidupnya berada di titik nadir, lantaran sang suami ditahan atas tuduhan terlibat peristiwa G30S. Oey dipenjara selama 14 tahun, paling lama di Pulau Buru, Maluku.
Usia Jean saat itu masih 30 tahun. Tidak sebatas harus menghidupi keluarga, ia juga berjuang mempertahankan rumahnya agar tidak disita tentara. Sementara, rumahnya di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta, yang dijadikan markas Lekra, telah dirampas negara.
"Kami tinggal mengikuti nasib yang amburadul, saya harus berdiri sendiri, juga mempertahankan rumah yang mau disita," ujar Jean saat ditemui di rumahnya di kawasan Cibubur, pada Rabu (30/9).Pada situasi itu, Mado sempat merasa kurang percaya diri sebagai anak kader PKI. Kepada Mado, Jean berpesan agar dirinya berani mengusir rasa malu dan takut. Dia tidak ingin Mado menderita karena ayahnya berstatus sebagai tahanan politik Orde Baru.
"Mami bilang, kamu jangan malu. Papi bukan orang jahat. Dia korban politik," ujar Mado mengingat pesan Jean.Di tengah situasi sulit tersebut, Jean ingin putrinya tetap beraktivitas seperti biasa, layaknya anak-anak pada umumnya. Saat Jean mengetahui Mado suka menari, dia salurkan bakat itu ke sanggar tari. Mado kemudian sering latihan menari di kawasan dekat RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Tak disangka, bakat Mado berkembang pesat. Dia menjadi penari profesional. Di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Mado dipilih mewakili sanggarnya. Dia diundang menari di istana kepresidenan.
"Bapaknya ditahan di Pulau Buru, anaknya menari untuk Soeharto, di Istana Negara. Bahkan, kelompoknya sampai sekarang masih akrab, sampai tua enggak tahu ayahnya (Mado) siapa," ujar Jean.Pada 1979, Oey keluar dari Pulau Buru. Dia adalah tahanan terakhir yang dibebaskan bersama beberapa kawannya, termasuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Setelah pembebasan itu, Oey sempat mengadakan reuni kecil di rumahnya, Rawamangun, Jakarta Timur. Reuni itu, kata Jane, sekadar untuk silaturahmi. "Awalnya sedikit yang ikut, pada takut," ujar Jane.Pasca pertemuan itu, ada tawaran kerja sama dalam berkesenian. Oey dan kelompoknya diminta berpartisipasi dalam gelaran konser musik amal. Konser itu sebagai wadah penggalangan dana untuk panti jompo. Pada 1995, mereka menggelar konser tersebut di Jakarta Convention Centre bersama putra Presiden RI pertama, Guruh Soekarno Putra.
Oey mengikuti konser itu bersama kelompok musik Gembira. Ini adalah kelompok musik pimpinan Sudarnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila yang juga seniman Lekra.
Konser itu, menurut Jean, murni untuk kegiaan sosial. Tak ada agenda politik apa pun. Karena itu gelaran musik tersebut berjalan lancar tanpa diusik pemerintahan Soeharto.
"Itu khusus untuk cari dana sosial, tidak ada bicara politik, lepas sama sekali. Kita kan low profile. Enggak mau teriak-teriak. Kita dari dulu bersahabat, sampai tua juga bersahabat," katanya.Konser itu membuktikan bahwa jiwa berkesenian para seniman Lekra tetap tumbuh, meski di tengah situasi sulit. Pasca konser tersebut, mereka ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. "Kita sisihkan dari uang pentas untuk ke makam Bung Karno," kata Jane.
(Prima Gumilang/vga)
0 komentar:
Posting Komentar