Rabu, 30 September 2015

Harian Rakyat, Tempat Gagasan Besar Seniman Lekra Tertuang

Ardita Mustafa, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 11:18 WIB


Ilustrasi media cetak. Harian Rakyat merupakan media cetak yang setia menyiarkan ide-ide besar para seniman Lekra. Namun keberadaannya diberangus pemerintah. (Flickr/Jon S)

Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak ada yang bisa melupakan peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Malam itu, tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun, organisasi kebudayaan tempat berkumpulnya para seniman bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bentukan PKI seakan dilupakan. Padahal, karya seni dari sana bernilai sejarah sangat tinggi.

Sejarawan JJ Rizal berpendapat, Lekra sengaja dilupakan karena dianggap sebagai bagian dari PKI yang dianggap menjadi dalang peristiwa G30S. Padahal Lekra berdiri karena dilatarbelakangi gairah besar seniman-seniman yang ingin melibatkan diri membesarkan Indonesia melalui budaya.
"Hingga kemudian PKI menjadi partai utama dalam Pemilu 1955, visi dan misi Lekra pun semakin berbeda dengan apa yang ditetapkan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka sebelumnya, yang cenderung memisahkan aktivitas seni dan intelektual dari politik," kata Rizal, saat dihubungi oleh CNN Indonesia pada Selasa (29/9).
Keinginan besar Lekra untuk mengiringi gerakan politik dengan gerakan kebudayaan bukanlah suatu hal yang salah. Dijelaskan Rizal, gerakan kebudayaan sudah lama bergandengan dengan gerakan politik, bahkan sejak Indonesia berusaha merdeka.

Bagi Rizal, salah satu seniman Lekra yang patut dikagumi adalah Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang karyanya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu paling sering mendapat pujian, hingga sempat menjadi kandidat peraih Nobel Sastra. 
"Belum tentu 100 tahun ke depan akan ada lagi sosok seperti Pram," ujar Rizal. 
Penghilangan identitas bahkan karya para seniman Lekra juga disayangkan oleh Rizal. Selain bernilai sejarah tinggi, artefak kesenian itu bisa menjadi pilihan acuan berkesenian bagi manusia modern saat ini.

Lembar-lembar Harian Rakyat, media cetak yang terbit pada 1950-1965, menjadi salah satu saksi bisu kecerdasan anggota Lekra. Dari sana dapat dibaca usaha para seniman untuk mengangkat seni budaya Indonesia yang hampir mati hingga menciptakan gagasan Indonesia yang baru.

Harian Rakyat dipimpin oleh Njoto, salah satu petinggi PKI. Media cetak tersebut awalnya bernama Suara Rakyat pada 31 Januari 1951.
“Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!” bunyi motto Harian Rakyat.
Gaya pemberitaan media yang bermarkas di Pintu Besar Selatan, Jakarta, ini cenderung terus terang, meledak-ledak dan sederhana, cocok untuk dibaca kaum petani dan buruh yang menjadi kekuatan massa PKI.

Sampai pada 3 Oktober 1965, beberapa hari setelah peristiwa G30SPKI, Harian Rakyat yang berulangkali di bredel pemerintah resmi ditutup. 
“Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!” tulis redaksi Harian Rakyat pada edisi terakhirnya.
"Sayang, pemerintah kala itu menutup akses masyarakat untuk membaca Harian Rakyat karena dianggap terlarang. Dokumennya dibakar, tokoh-tokohnya ditangkap. Otomatis, gagasan-gagasan cerdas Lekra sulit dicerna masyarakat sampau saat ini," ujar Rizal menyayangkan
Sudah 65 tahun Lekra musnah. Kini artefak berkesenian seniman Lekra sudah bisa dibuka kembali. Buku-buku Pram dapat dibeli di beberapa toko buku besar. Lukisan-lukisan Djoko Pekik dapat dilihat terpajang di pameran.

Mengenyampingkan ideologi sayap kiri yang diusung, sejatinya bangsa Indonesia patut menghargai ide-ide besar seniman Lekra yang mungkin terhitung waras jika diterapkan untuk kehidupan hari ini.
(ard/ard)

0 komentar:

Posting Komentar