Rabu, 30 September 2015

Kisah Ning Anak PKI: Makan Tikus dan Tinggal di Kandang Sapi


Suriyanto, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 10:02 WIB

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI perjungan Ribka Tjiptaning Proletariati yang juga anak anggota Biro Khusus PKI Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro. (CNN Indonesia/Gilang Fauzi)

Jakarta, CNN Indonesia -- Ribka Tjiptaning kecil tak mengerti mengapa ibunya yang sedang hamil mengajaknya dan saudara-saudaranya pergi dari rumah mereka di Solo, pada akhir tahun 1965. Setahu dirinya, sang ayah saat itu pergi dari rumah dan tak kunjung pulang.

Ibunya cuma bilang mereka akan pergi ke Yogyakarta. Tapi sampai stasiun, mereka naik kereta api yang akan ke Jakarta. 
Keluarga Ribka tiba di Stasiun Gambir, Jakarta. Namun setibanya di stasiun ini mereka mendapati koper-koper yang berisi pakaian dan barang berharga raib. "Dasar memang sedang sial, koper hilang semua," kata wanita yang kerap disapa Ning ini saat ditemui CNN Indonesia di ruang kerjanya di Komplek DPR.
Keluarga Ning kemudian ditampung oleh Harman anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden saat itu. Tak lama keluarga Ning di rumah Harman yang juga punya lima orang anak itu.
Situasi saat itu memang tak menentu. Apalagi ada kabar, ibunda Ning masuk dalam daftar pencarian orang. Mereka kemudian berpindah tempat lagi. Ning bersama kakaknya yang pertama dititipkan pada seseorang bernama Mayor Nandika di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur. Sementara ibunya ikut keluarga lain bersama kakaknya Ning yang nomor dua dan adik bungsunya.
Tinggal bersama keluarga mayor itu, kakak Ning tak betah dan mengajaknya pergi mencari ibunya. "Kami berdua berbekal salak lima buah pergi jalan kaki, sampai Terminal Cililitan," katanya.
Saat di terminal itu Ning melihat orang yang pernah bertemu bapaknya di rumahnya di Solo. Spontan ia panggil orang tersebut dengan sapaan Om. Melihat Ning dan kakanya, orang tersebut segara membawa keduanya dan meminta Ning dan kakaknya untuk diam.
Ia lantas dibawa ke Cawang. Tengah malam, ia melihat ada orang datang yang ternyata itu adalah bapaknya. "Tapi cuma sebentar bertemu bapak," ujarnya.
Ning kemudian berkumpul lagi dengan ibunya. Ia kemudian ditampung oleh seseorang bernama Pak Wito. Saat ditampung keluarga inilah ada orang yang bisa dipanggil Haji Amang menawari sebuah kandang sapi untuk dijadikan tempat tinggal. 
"Kami mau saja, ada triplek bekas kami paku untuk jadi dinding," kata Ning. 

Sehari-hari Ning bekerja membantu Pak Wito yang punya banyak usaha. Dari mulai bus malam, bus dalam kota, jasa fotografi hingga menjual nomor kode buntut. "Yang penting disekolahkan," kata Ning. 
Kakak Ning ada yang jadi juru parkir. Sementara kakaknya yang lain tinggal dengan komunitas seni di Bulungan. Sedangkan ibunya bekerja untuk sebuah gereja.

Ikut Pak Wito, Ning tak malu menjadi kondektur bus dalam kota yang melayani trayek Cawang - Grogol, Blom M Manggarai dan Blok M Cililitan.
Di sela-sela jadi kondektur, Ning juga ngamen bahkan mencopet. "Buat sekolah dan makan," ujarnya.
Soal makan, selama masa penderitaan itu Ning mengaku tak pernah kelaparan meski kerap kekurangan uang. Apa saja yang bisa dimakan akan dilahapnya.
Bahkan pernah suatu ketika karena tak ada makanan, Ning makan daging kucing. Malam lebaran, keluarga lain makan daging makan ayam kami makan kucing," kata Ning sambil tertawa mengenang peristiwa itu.

Gara-garanya, ada tetangga memberinya ikan asin. Namun saat diletakan, ada kucing mencuri dan makan ikan asin itu. Dendam dan kesal hidangan malam lebaran dimakan kucing, Ning bersama kakaknya memakan daging kucing tersebut.
Zaman susah juga memaksanya mengonsumsi tikus yang berkeliaran di rumahnya. "Kami cari pembenaran saja, tikus rumahan makannya beras dan nasi, jadi bersih," ujarnya.
Ragam kenangan pahit itu kini masih diingat oleh Ning dan keluarganya. Salah satu pengalam lucu dahulu bahkan terus diulangi sampai saat ini.

Setiap tahun saat berulang tahun, Ning selalu dihadiahi salak lima buah oleh kakak tertuanya. Salak lima buah adalah bekal ning dan kakaknya saat pergi dari rumah Mayor Nandika untuk mencari ibunnya.
"Waktu aku jadi anggota DPR, kakakku juga hadiahi salak lima buah, katanya biar aku selalu ingat masa susah dulu," kata Ning. (sur/sip)

0 komentar:

Posting Komentar