1:47 PM, September 30, 2015
Penulis mengenang kembali tragedi 1965 melalui kacamata anak kolong berusia 12 tahun
Hari ini, 30
September, lima puluh tahun lalu dimulai tragedi berdarah yang masih menyisakan
luka bagi bangsa Indonesia.
Ribuan bahkan jutaan
orang —utamanya anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)—
dilaporkan tewas terbunuh dalam pembantaian massal 1965.
Insiden tersebut
dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S).
Saat itu, Rusdian Lubis masih
berusia 12 tahun. Ia mengingat kembali kejadian yang hingga kini masih membekas
dalam ingatannya.
Di bawah ini
adalah petikan dari memoarnya yang akan diterbitkan oleh Kompas Gramedia,
berjudul Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet tentang
peristiwa seputar G30S.
Rusdian kini
adalah seorang environmentalist. Ia pernah bekerja
di pemerintahan, lembaga internasional (Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia),
dan seorang Eisenhower Fellow.
Memoar
ini diambil dari kacamata seorang anak kolong berumur 12 tahun, bukan analisa
sejarah, melainkan cerita keluarga. Dirangkum kembali dengan izin penulis.
Akhir September
1965, situasi politik di Wonopringgo mulai panas tetapi masih terkendali. Tidak
ada bentrokan fisik serius seperti di Jawa Timur. Antar kelompok hanya saling
mengejek, di mana ada kesempatan.
Kokam (Komando
Keamanan) Muhammadiyah sering jadi bahan tertawaan PKI, PNI, dan NU karena
singkatan “Kokam” sering diplesetkan menjadi “kon*** kambing”. Ini membuat muka
guru-guru kami yang juga anggota Kokam — Pak Ani dan Pak Asyik — merah padam!
Suatu hari Pak
Asyik masuk ke kelas dengan pakaian loreng Kokam.
Dengan muka
serius dia memberi tahu para siswa agar hati-hati jika didekati orang-orang tak
dikenal. Desas desus tentang penculikan yang dilakukan oleh PKI makin sering terdengar.
Wonopringgo juga tak terlepas dari desas desus itu.
Kabarnya
penculikan terjadi di pedesaan di daerah pegunungan kapur di selatan kota yang
mempunyai kantong-kantong PKI. Kabar lain, PKI telah menyiapkan kuburan massal
di hutan-hutan jati dan membuat alat pencungkil mata.
Anak-anak di atas
10 tahun akan dibunuh, sedangkan mereka yang di bawah umur itu akan dirampas
sebagai anak negara dan dimasukkan ke kamp re-edukasi seperti di negara
komunis. Kami tidak tahu kebenaran kabar ini, tetapi rasa takut makin hari
makin menjadi-jadi. Suasana mencekam pelan-pelan membuat keluarga tentara
ketakutan.
Aku tidak
terpengaruh. Kegiatanku berjalan seperti biasa. Pagi sampai siang aku sekolah,
sore ikut mengaji di langgar (surau) sambil memasang pancing di sungai dekat
jembatan. Tetapi sejak pasukan Yonif 407 berangkat tugas ke Sumatera, suasana
sekitar asrama memang menjadi tintrim (sepi mencekam).
Ini diperburuk dengan oglangan (giliran mati lampu) yang amat
menjengkelkan. Hampir tiap malam aku belajar dengan diterangi lampu senthir atau lampu teplok berbahan bakar minyak
tanah. Pagi hari, asap hitam atau langes terkadang masih membekas di hidungku.
Foto di sebuah studio
di Purwokerto sesaat sebelum keluarga penulis pindah ke Wonopringgo, akhir
1964, sebuah masa yang sulit dan pahit terutama bagi keluarga tentara. Foto
dok: Rusdian Lubis
PKI mempunyai
ranting atau anak cabang organisasi serta onderbouw-nya seperti Gerwani. Ibu
kenal cukup baik dengan seorang aktivis Gerwani yang rajin menyambangi ibu-ibu
asrama Yonif 407. Wanita itu manis dan amat grapyak (pandai bergaul dan
ramah).
Kantor partai itu
adalah bangunan bercat putih bertingkat dua, terletak di pinggir jalan dan
berhadapan dengan warung es. Di halaman kantor ada sebuah papan pengumuman yang
ditempeli Koran Harian Rakyat (HR) untuk dibaca mereka yang lewat.
Aku sering mampir
untuk membaca berita dan kartun-kartun HR yang bersemangat. Menjelang 30
September, kubaca berita tentang tuntutan PKI untuk membubarkan HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam). DN Aidit dalam rapat raksasa CGMI (organisasi mahasiswa PKI)
pernah berpidato: “Kalau tidak berhasil membubarkan HMI, maka anggota-anggota
CGMI mengganti celana dengan sarung”.
Pernyataan ini
tidak membuat marah kaum sarungan (golongan Islam, terutama NU dan Muhammadiyah)
tetapi malah menggembirakan pedagang sarung batik di Pekalongan. Karena pangsa
pasar sarung akan terbuka lebar menjangkau warga PKI. Tapi tidak berpengaruh di
Nopringgo, sebab warga PKI juga pakai sarung kemana-mana. Di kota kecil ini
semua anggota partai atau golongan adalah kaum sarungan!
Tepat pada 30
September 1965, koran HR memuat pernyataan tokoh PKI Anwar Sanusi, “Ibu Pertiwi
hamil tua, dan paraji (dukun beranak) sudah siap untuk kelahiran
sang bayi”.
Tanggal 30
September 1965, Ibu Pertiwi akhirnya melahirkan, tetapi bukan bayi montok yang
lucu. Peristiwa G30S/PKI meletus di Jakarta! Sehari kemudian aku dengar berita
RRI Jakarta: Pengumuman tentang Dewan Jenderal, berita tentang pemberontakan
PKI, penculikan tujuh jenderal dan dibunuh di Lubang Buaya, disusul
pengumuman-pengumuman lain yang amat membingungkan.
Kami juga dengar
berita dari RRI Yogyakarta: PKI melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono. Semua berita menyeramkan itu aku
dengar dari radio transistor Ayah merk Phillips warna biru.
Sejak itu suasana
Wonopringgo menjadi amat menakutkan. Tahun-tahun yang gelap dimulai. Aku selalu
ikuti kabar nasional melalui RRI dan dari koran Berita Yudha yang tiap hari
diantar petugas piket ke rumah. Kabar lokal kudapat melalui “kelompok diskusi”
di warung es dekat rumah Pak Guru Casbani.
Di warung itu
berkumpul tokoh–tokoh informal Wonopringgo, kebanyakan dari NU dan PNI.
Golongan hitam seperti Yitno, si Gemuk dan si Kurus kadang-kadang ikut
bergabung; Serma Hadi juga sekali-sekali mampir ke warung es itu. Sebagai anak
kecil aku tidak ikut diskusi, cuma nguping kabar tentang bentrokan antara massa
PKI dan massa Islam di desa-desa sekitar Wonopringgo. Kemudian berita
pembunuhan oleh PKI kepada anggota PNI dan NU dan pembalasan dendam oleh NU dan
PNI kepada anggota PKI.
Kabarnya,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi paramiliter seperti barisan
Ansor NU dan Banra PNI melakukan pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Mayat-mayat dibuang di Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas.
Saat itu terjadi
“histeria massa” yang tak terkendali, pilihannya hanya membunuh atau dibunuh.
Rasa takut atau dendam bisa membuat manusia menjadi amat kejam. Mereka
berbunuhan dengan segala alasan: Perselisihan pribadi, karena hutang tak
terbayar, masalah sengketa tanah, cinta ditolak atau karena punya “indikasi
terlibat” G30S/PKI. “Indikasi” menjadi kata yang menakutkan.
Di Wonopringgo,
suatu hari ada kejadian mayat terapung di bendungan Kali Kletak. Lain hari di Kali
Krempyeng tempat anak-anak kolong Yonif 407 biasa memancing. Aku tidak melihat
mayat itu dengan mata kepalaku, hanya melihat segerombolan orang berkerumun di
pinggir kali. Ibu melarangku melihat mayat dan pembunuhan.
Di Pekalongan,
kabarnya, puluhan mayat terapung di laut sehingga banyak ikan laut tidak laku
dijual karena ada cerita orang menemukan jari tangan di perut ikan besar. Semua
ini kabar yang kudengar dari jalanan dan di sekolah. Di samping “warta berita”
dari warung es itu, guru-guru kami juga menjadi sumber berita. Anak-anak sudah
tidak peduli dengan pelajaran sekolah lagi, tetapi asyik mendengarkan cerita
Pak Asyik.
Kabar-kabar itu
kuceritakan ke Ibu yang berusaha tampak tenang tapi sebenarnya amat ketakutan.
Ibu makin ketat mengatur anak-anak terutama di sore hari. Mulai saat itu aku
hanya boleh mengaji sampai Isya di surau. Jika kami dulu boleh main ke asrama
(rumah komandan di luar asrama) sampai setelah Isya, sekarang hanya dibatasi
sampai habis Mahghrib.
Di sore hari,
kami lebih banyak berkerumun dekat radio. Suatu kali, Ibu bercerita tentang
keganasan peristiwa Madiun tahun 1948. Seorang paman Ibu, administrator pabrik
gula di Gorang-Gareng, Madiun, dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam
sumur oleh PKI. Ibu dan Bulik Diati yang kebetulan berlibur di perkebunan itu
hampir menjadi korban jika pasukan Siliwangi tidak keburu datang menyelamatkan.
Komandan tentara
penjaga menganjurkan agar kami pindah ke dalam kompleks asrama, tetapi Ibu
menolak. Rumah komandan memang di luar kompleks. Kami cukup aman. Di samping
tentara jaga, beberapa peronda dari kampung juga menyambangi rumah-rumah warga
termasuk rumah kami yang hampir menyatu dengan kampung. Serma Hadi dari
Babinsa, sahabat Ayah, juga selalu berkeliling tiap malam.
Batalyon Infantri 407 di
Wonopringgo. Keluarga penulis tinggal di asrama ini antara 1965-1966. Himpitan
ekonomi makin mencekik dan tentara bingung oleh situasi politik. Foto dok:
Rusdian Lubis
Tetapi malam-malam setelah 30
September tetap menakutkan. Hampir tiap malam, Ibu memeriksa semua pintu dan
jendela dan menyuruhku memperkuat dengan gembok atau lilitan kawat. Ibu tidur
bersama anak-anak perempuan. Tam, Andi, dan aku tidur di kamar depan yang
menghadap ke jalan. Beberapa kali, jika ada bunyi yang mencurigakan, Ibu selalu
membangunkan aku. Tam selalu melanjutkan tidur dan mendengkur. Eyang pernah
menjulukinya si Kumbakarna cilik karena hanya makan dan tidur jika di rumah.
Suatu malam
sekitar jam 11, terdengar bunyi ketukan yang cukup keras di pintu belakang
dekat dapur atau “pintu butulan” yang menghadap ke pagar kawat berduri. Di
seberang pagar itu terhampar sawah luas diapit dua sungai kecil yang dibatasi
sebuah lembah. Kali Duwur di sebelah atas dan Kali Ngisor di sebelah bawah.
Ibu segera
membangunkan aku dan menyuruhku diam supaya adik-adikku tidak panik. Ketukan
makin keras tetapi tidak ada tanda menggedor atau mendobrak. Ibu mulai
ketakutan, tetapi aneh aku cukup tenang.
Kubuka laci meja
dekat jendela untuk mengambil pisau belati Ayah, lalu aku mengendap-endap
menghampiri pintu. Tindakan ini sebenarnya salah dan berbahaya. Seharusnya kami
mengintip jendela depan dan memanggil penjaga di sana. Tetapi keinginan tahuku
mengaburkan nalar.
Pisau belati Ayah
bergagang tanduk sepanjang 25 cm itu tidak cukup tajam. Lengan Tam pernah
kuiris dengan pisau itu dan tidak banyak mengeluarkan darah. Selain ini, ada
dua pisau belati di rumah, belati lempar tipis runcing dan belati komando model
Bowie besar dan tajam. Keduanya dibawa Ayah ke medan tugas.
Aku dekati pintu
pelan-pelan, Ibu makin gemetaran dan tangannya bergerak-gerak seolah
menghapalkan jurus beladiri tangan kosong yang dipelajarinya di Purwokerto.
Mulutnya komat kamit atau ndremimil berdoa campur aduk
dan menggumam tidak jelas. Ibu membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas yang
disebutnya Al-Patekah dan Kulhu. Saat itu, Ibu memang baru
belajar menghapal beberapa surat Al-Qur’an dibimbing Yu Rah, si tukang cuci
merangkap guru mengaji tidak resmi.
Setelah dua tiga
kali membaca, Ibu merasa kedua surat itu tidak cocok untuk menghadapi situasi
ini. Lalu dia membuat tanda salib dan menggumamkan sebuah doa Katolik. Ibu
memang dibesarkan dalam tradisi Katolik oleh Eyang Mujo, adik Kakek. Tetapi Ibu
juga ragu-ragu apakah doa itu akan memecahkan persoalan.
Ibu diam sebentar
menarik nafas, tiba-tiba dari bibirnya pelan-pelan mengalir tembang Dandhanggula
Mantraweda karangan Sunan Kalijaga:
//Ana kidung rumekso ing wengi/ teguh hayu luputa ing lara/ luputa
bilahi kabeh/ jim setan datan purun/ paneluhan tan ana wani/ miwah panggawe
ala/ gunaning wong luput/ geni atemahan tirta/ maling adoh tan ana ngarah ing
mami/ guna duduk pan sirna//
//Ada kidung yang
menjaga malam / menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit / terbebas
dari segala mala petaka / jin dan setan pun tidak mau (mendekat) / segala jenis
sihir tidak berani / apalagi perbuatan jahat / guna-guna tersingkir / api
menjadi air / pencuri pun menjauh dari aku / segala bahaya — ilmu hitam akan
sirna //
Itulah kidung
penolak bala yang sering dinyanyikan Eyang, khususnya setiap malam Jumat Kliwon
di pendopo Solo. Atau sambil menggendong anak-anaknya dan kemudian cucu-cucunya
yang rewel. Rupanya saat terdesak, maka dari dalam batin manusia mencuatlah
ritual paling awal dan paling akrab, menutupi yang datang kemudian.
Dengan keheranan,
aku pandangi Ibu yang berdoa campur aduk itu, “Lho, Bu ?”
Ibu menukas, “Mbok
wis ben tha! Dongane iki ben lengkap” (Sudah, biar aja! Doa
ini biar lengkap).
Aku tak membantah
dan menghindari debat teologis yang tak perlu.
Sampai itu, ketukan itu makin
keras dan makin sering. Terpengaruh Ibu, aku juga menggumamkan sepenggal
mantera Rajah Kalacakra yang pernah kubaca dari Primbon Betal Jemur milik
Eyang: “Aum, Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya” (Aum,
siapa yang akan membuat bahaya, hilang kekuatannya; siapa yang akan membuat
celaka, hilang niat buruknya; siapa yang akan membuat kelaparan, malah memberi
makanan).
Rajah Kalacakra atau Sastra
Bedhati itu dibaca dalang saat upacara ruwatan. Doa itu panjang, aku tidak
ingat semua. Pintu lalu kubuka sedikit, ini juga kesalahan besar. Di antara
sinar lampu 15 watt, aku melihat sesosok orang berbadan kekar berotot berkulit
legam, tanpa baju, dan bercelana kolor hitam.
Di antara bunyi
doa campur baur, Ibu bertanya dari belakangku: “Sapa kuwi?” (Siapa itu?).
Ketukan berhenti
dan terdengar suara berat: “Kulaaa Bu Kompi” (Saya, Bu Kompi).
Ibu berhenti
merapal doa. Tubuhnya lemas lalu duduk di bangku kayu di dapur, tapi wajahnya
tampak lega. Puas, karena doa lengkapnya manjur. Aku membuka pintu dan melihat
sosok hitam legam tanpa baju itu: The Great Rasbi!
Tangan kanannya
menggenggam parang tajam dan tangan kirinya menenteng seikat ikan: gabus, sepat,
bethik dll. Sambil tertawa lebar dia berkata, “Kula nembe ngoncor, Bu Kompi, niki iwake
kangge Ibu” (Saya baru ngoncor, Bu Kompi. Ini ikannya untuk
Ibu).
Pak Rasbi yang
miskin tetapi baik hati segera berlalu. Setelah mengucapkan terima kasih,
ikan–ikan itu kuambil dan kulemparkan ke ember cucian. Besok pagi Tam akan
kusuruh “mbetheti”,
membersihkan atau memeruti ikan. Aku tidur lagi. Sampai pagi, Ibu masih
termangu-mangu. Sesuatu yang lebih buruk dari kejadian malam itu bisa terjadi
setiap saat.
Suatu
hari, bintara piket berkata bahwa situasi di Jawa Tengah, terutama di Solo dan
daerah Istimewa Yogyakarta, makin gawat. Di pihak lain, pasukan-pasukan terkuat
di Jateng tidak ada di tempat. Brigif IV dikirim ke Sumatera Utara dan Brigif V
melaksanakan tugas Operasi Dwikora di Kalimatan Barat.
Kabar
burung, Jawa Tengah memang sengaja dikosongkan atas perintah komandan tentara
yang pro-PKI. Bintara piket itu bilang bahwa kemungkinan besar Yonif 407 akan
segera ditarik pulang untuk mengisi kekosongan.
Berita
itu benar. Brigif 4 yang berada di
Sumatera Utara, pada tanggal 23 Oktober 1965, segera diperintahkan kembali ke
Jawa Tengah guna mengatasi situasi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yonif 405 dan 407 kembali dari Sumatera dengan memakai kapal, mampir
di Tanjung Priok, kemudian ke Semarang, lalu bersama-sama Yonif 406 menumpas
G30S/PKI di daerah Surakarta (Ma Ko Brigade berkedudukan di Solo). Yonif 406
sudah ditempatkan di Klaten satu minggu terlebih dahulu.
Suatu
malam, Ayah pulang ke rumah dikawal sekitar satu regu tentara bersenjata
lengkap yang kemudian stelling (bersiaga) di halaman.
Lampu halaman dimatikan, semua orang tampak tenang tetapi siaga. Serma Hadi
juga ada di situ, kali ini dia tidak merokok.
Tidak
sampai setengah jam, Ayah berbicara dengan Ibu, lalu menanyakan kabar tentang
sekolahku dan adik-adikku. Ayah sangat terkejut waktu Ibu bilang didatangi
seorang anggota Gerwani yang mengedarkan kertas. Suara Ayah keras,
“Kamu
tandatangani, enggak?”
Ibu
menjawab tak kalah keras, “Ya ora…, goblok apa aku?”
Ayah
kelihatan lega dan bergumam, “Ya wis, kalau kamu tandatangan,
bisa-bisa kamu diciduk atau diselesaikan”.
Banyak
kosa kata baru saat itu: digropyok, diciduk, diamankan,
dilenyapkan, diambil, diselesaikan, dan dihabisi.
Setelah
saling memberi hormat dengan Serma Hadi, Ayah melompat ke atas truk kecil hijau
tua yang dikemudikan Serka Hartojo. Sopir, pengawal, dan sahabat Ayah yang
setia itu selalu bersama hampir pada tiap operasi militer, bahkan sampai
Operasi Seroja (1977-1978) di Timor Timur. Jeep itu menghilang di kegelapan
malam melewati pebukitan Kajen kembali ke induk pasukan-pasukan 407 di Boyolali
dan Surakarta.
Ayah
kemudian menjadi caretaker bupati di suatu
kabupaten karena bupati lama tersangkut G30S/PKI. Malam itu, wajah Ayah tampak
serius dan angker, “Jaga Ibu dan adik-adikmu”.
Tanpa
menyadari kegawatan situasi ini, aku malah asyik melihat tentara beraksi,
bergerak dengan sistematis dan disiplin. Aku anak kolong.
Sumber: Rappler.Com
0 komentar:
Posting Komentar