29 September 2015
19:13
Saban hari, dari pagi sampai petang, berbulan-bulan
lamanya. Pasca peristiwa pemberontakan - orang menyebutnya pemberontakan
Gerakan 30 September 1965 dan kata buku-buku sejarah pemberontakan didalangi
oleh Partai Komunis Indonesia/PKI. Terus menerus, kecuali hari Minggu dan
hari-hari besar, aku harus menyaksikan secuil tragedi kemanusiaan bagian dari
sebuah tragedi besar anak bangsa.
Sudah setengah abad, teriakan-teriakan yang menyayat itu
.. jeritan dan raungan orang-orang merasakan sakit luar biasa akibat sundutan
api rokok, pukulan, hantaman potongan kayu atau kursi kayu, Darah melumuri baju
dan celana, membasahi lantai bekas pendopo kabupaten peninggalan kolonial
Belanda, di sebuah kota kecil bernama Banyumas, Jawa Tengah. Peristiwa itu
sungguh sulit mengelupas dari ingatan.
Jangankan mengelupas, dikelupas pun pun teramat sulit.
Setiap hari aku seperti melihat tontonan gratis nan mengerikan.
Mula-mula aku sama sekali tidak begitu paham siapa
sebenarnya mereka, lekaki perempuan, tua muda, orang desa orang kota,
perempuan-perempuan yang pakai rok atau tapih kebaya yang tiap pagi diangkut
truk dengan kawalan tentara dibawa ke gedung bekas kediaman bupati jaman
Belanda, ditanya dipaksa menjawab ….dan disiksa jika jawabannya tidak sesuai
dengan jawaban yang diinginkan interogator. Kalau sudah begini , tidak berapa
lama terdengar raungan dan jeritan orang.
Almarhum bapakku yang adalah seorang seorang pejabat di
level kecamatan tidak pernah bercerita tentang kehadiran kolega tentaranya dan
orang-orang misterius yang diangkut dengan truk. Setiap hari, lebih sering
malam, rumah dinas asisten wedana Banyumas, bapakku, kerap kedatangan
serombongan tentara. Mereka ngobrol, almarhum Ibu selalu membikinkan kopi
panas. Aku dan kakakku serta adik-adikku tidak boleh keluar apalagi nguping
percakapan tamumya Bapakku dulu Asisten Wedana di kota kecil ini. Ada satu satu
dua tentara yang aku kenal.
Lainnya hanya mengenal tapi tidak kenal.
Tentang pemberontakkan PKI sudah sering mendengar dari
radio atau dari ceritera orang dan aktivis-aktivis anti komunis. Dari pada dari
pada penasaran terus yang tidak ada ujungnya akhirnya bikin konklusi sendiri..
“Orang-orang yang setiap pagi diangkut truk menuju gedung bekas kantor bupati
itu tentu ada kaitannya dengan ontran-ontran G 30 S PKI“ atau ada yang menyebut
GESTOK/Gerakan Satu Oktobher 1965 karena peristiwa pemberontakan yang
kemudian berujung menjadi tragedi kemanusiaan itu diawali dengan penculikan dan
pembunuhan terhadap tujuh jenderal Tentara Nasional Indonesia dilakukan pada dinihari
1 Oktober 1965.
Begitulah yang terjadi sampai berbulan-bulan. Pasca
Gestok 1965 gedung bekas kediaman bupati itu selalu ramai dengan hilir mudik
truk-truk yang dikawal tentara bersenjata lengkap . Truk-truk itu mengangkut
orang-orang - yang baru belakangan baru aku tahu bahwa mereka adalah
orang-orang anggota PKI atau orang-orang yang disangka simpatisan partai
komunis.
****
Ini hanya kisah sebesar pasir saja dari sebuah tragedi
besar kemanusiaan yang aku saksikan setiap hari selama berbulan-bulan.
Bruaaakkk…..bruaakkkk..bruakkkk di suatu siang. Terdengar
suara benda keras beradu dengan benda lain…. Disusul suara raungan orang minta
ampun. Tentu saja raungan ini bikin kaget orang yang ada didekat tempat
interogasi. Aku yang kebetulan sedang melintas dan tidak jauh dari suara
lengkingan pastilah ikut kaget. Lalu coba mencuri lihat ke arah asal suara
raungan orang yang minta ampun. Gerombolan capung yang sedang bercengkerama,
bersendagurau di sekitar halaman pendopo bekas kabupaten tak kalah kaget.
Mereka pada terbitit-birit terbang ke segala arah. Terbang kesana-kemari.
Tetapi ada beberapa capung… Capung Merah, Capung Macan yang tubuhnya berwarna
lerek kuning hitam atau Kinjeng (Jw) Dom/Jarum yang kembali lagi dan mendekat
ke arah suara tadi. Seperti halnya aku, mungkin mereka penasaran juga ingin
tahu suara apa gerangan yang membuat rekan-rekannya sesama capung terbirit –
birit menjauh..
Astaghfiurulah……. seorang laki-laki tergolek di lantai,
darah mengucur dari kepalanya yang dihantam kursi kayu, kulit kepalanya sobek.
Bajunya dipenuhi cipratan darahnya sendiri Seorang petugas yang mengenakan
pakaian seragam yang memukul kepala laki-laki tersebut bediri dengan gagahnya
di dhadapan laki-laki tersebut.Sipesakitan sempat meruang-raung, tentu karena
sangat kesakitan, sebentar saja. Sebelum akhirnya terjatuh, pingsan. Laki laki
yang kira-kira belum berumur 50 tahun itu lantas digotong, tubuhnya setengah
diseret dibawa masuk ke dalam gedung bekas kediaman bupati jaman kolonial.
Selain memanfaatkan bekas pendopo yang waktu itu hanya
tersisa lantainya sebagai tempat interogasi. gedung bekas kediaman bupati
peninggalan Belanda itu juga di jadikan ruang interogasi bagi tahanan politik
simpatisan PKI atau orang-orang yang disangka PKI. Ini kali kedua kota kecil
ini dijadikan kamp konsentrasi tahanan pemberontak, Sampai tahun 1962an, kota
kecamatan ini pernah dijadikan kamp konsentrasi tahanan pemberontak PRRI dan
Permesta. Tapi jumlah tahanan PRRI/Permesta tidak sebanyak tahanasn politik
PKI.
Bekas kediaman bupati sebenarnya dikelilingi tembok tebal
yang cukup tinggi. Di sasap kanan depan, dulu terdapat pelataran yang cukup
luas yang ditumbuhi ilalang. Aa sebuah pohon duwet yang sudh berusia seratusan
tahun. Di sebelah baratgedung kantor bupati terdapat gedung kecil yang
dijadikan rumah dinas asisten wedana/AW. Sedang kantor AW berada ada disayap
kiri. Orang bisa leluasa melihat ke area gedung kabupaten itu. Orang yang ingin
tahu jalannya interogasi pun amat mudah karena tempat interogasi itu sangat
terbuka kecuali yang di dalam gedung. Tapi waktu siapa yang berani mendekat
untuk melihatjalannya interogasi. Tata ruang kota Banyumas sangat bagus dri
pedapa bisa melihat kejauhan lokasi gedung Residen Belanda
Sesekali, jika terdengan raungan terlihat beberapa orang
yang mencari tahu dan ingin tahu lewat jendela gedung kantor kecamatan yang
letaknya hanya belasan langkah dari tempat interogasi. Tapi mereka pun hanya
berani langak-longok lewat jendela kantor. Ada pula pegawai yang pura-pura
menyapu lantai teras kantor atau ada pula membuang sampah. Mereka adalah
pegawai kantor kecamatan. Aku tidak tahu apakah pegawai kecamatan yang
menyaksikankan jalannya interogasi masih hidup apa masih hidup apa sudah
almarhum seperti bapak dan ibuku yang tinggal di sebuah rumah dinas
AsistenWedana. Para interogator pun rupa-rupanya tidak ambil pusing dengan
kehadiranku di dekat tempat interogasi karena barangkali mereka tahu aku anak
Asisten Wedana yang tinggal di rumah dinas, bersebelahan dengan gedung bekas
kediaman bupati.
Suatu siang sepulang sekolah, aku ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi di dalam gedung karena dari dalam gedung terdengar pula
teriakan mengaduh kadang raungan kesakitan. Raungan perempuan. Dari sebuah lubang
ventilasi di sayap kanan gedung kediaman bupati yang masih amat kokoh aku
mencoba mengintip.Terlihat seorang perempuan berkulit putih, berwajah lumayan
bening disundut api rokok oleh seorang interogator. Ia menjerit jerit. Rupanya
bermacam cara digunakan oleh petugas interogator untuk memperoleh jawaban
seperti diinginkan. Kalau jawaban tidak sama yang api rokok menempel dilengan
atau leher.
Mereka tidak cuma dikepret dengan tangan kosong
tetapi juga dengan potongan kayu. .
Dihari lain aku melihat seorang laki-laki muda yang
disuruh berdiri di tengah-tengah bekas pendopo dengan satu kaki. Kedua.
Tangannya diletakkan dibagian belakang kepalanya. Tiba-tiba orang itu
meruang-raung. Aampunnnnnn ….ampunann…ampun Pakkk….. Raungan cuma terdengar
sebentar karena laki-laki itu jatuh terkapar tidak kuat menahan sakit, pingsan.
Siapa orangnya yang kuat menahan injakan kaki kursi yang ditumpangkan di jempol
kaki lalu diduduki dengan dienjot - enjot.
Bisa dibayangkan betapa hebat sakitnya ketika salah satu
kaki sebuah kursi yang diletakkan di jempol kaki kanannya diduduki seorang
laki-laki berseragam yang cara dihentakkan. “Capung Merah terperanjat“ Sssettt
….jangan kera-keras, “ Kinjeng Macan mengingatkan ketikamendenga Capung Merah
mengumpat. Kedua capung itu masih setia dengan keinginan tahunya untuk
menyaksikan jalannyaninterogasii. Siapa tahu kesaksiannya dicatat dalam buku
sejarah. Sementara Kinjeng Dom yang bertubuh mungil dan langsing memilih pergi
ke tempat lain.Tidak tega dan tidak tahan melihat penderitaan orang-orang
malang itu yang belum tentu bersalah atau terlibat pemberontakan .
Untuk berjaga-jaga Kinjeng Macan mencoba mengingatkan
Capung Merah agar tidak terlalu dalam mencari tahu peristiwa akhir September
1965 - atau Gestok 1965 itu. Aku juga punya pendapat sama dengan Kinjeng Macan
itu “ Itu bukan urusan kita para capung. Lebih baik kita diam saja,mendengar,
mengamati dan mencermati, atau kita sudahi melihat itu semua. Kalau terlalu
jauh keinginantahuan kita malah bisa berbahaya. Salah – salah disangka ikut
terlibat atau parahnya jika dituding sebagai aktivis ontran-ontran partai
komunis. Entar diciduk,”ujar Kinjeng Macan.
Kosa yang sangat menakutkan pada waktu itu. Selama
berrbulan-bulan didekap suasana mencekam yang membuat miris. Raungan itu sungguh
menyayat hati. Setiap hari menjelang maghrib petugas kebersihan akan
membersihkan ceceran darah yang menempel di lantai bekas pendopo dan di lantai
gedung kabupaten.” Bau anyir darah manusia …huhhh anyir nya
tidak ketulungan “.
****
DILAIN waktu ketika terik matahari sedang panas-panasya.
Tiba-tiba terdengar raungan amat keras. Suara raungan itu menggema mungkin
karena suara teriakkan itu membentur dinding tembok tebal bekas rumah dinas
bupati. “Adduuhhhh….sakkiiitttt…… ampunnn….ampun…..sakkitttt Pak”. Seorang
laki-laki 40 tahunan berteriak sekencang-kencangnya, kedua telapak tangannya
memegangi telinga kanan yang mengucurkan darah segar begitu banyak.
Astaghfirullah …telinga laki laki itu ternyata putus digigit petugas
interogator.
Pangkal telinganya yang terus mengucurkan darah segar,
daun telinga yang terlepas dari pangkalnya, terkapar di lantai masih meneteskan
darah segar. Darah juga melumuri bajunya. Sementara petugas interogator yang
menggigit telinga sampai putus masih berdiri berdiri berhadap-hadapan dengan
laki-laki yang sudah kehilangan daun telinga kanannya. Kedua tangannya berkacak
pinggang. Dalam kesakitan laki-laki itu masih dihantam dengan potongan kayu
kursi . Bruuaaakkk …..! “ Ampuun …..” laki-laki itu lalu terdiam, pingsan.
Peristiwa pemberontakkan G 30 S PKI kata banyak orang
menimbulkan tragedi dan kejahanaman. Tapi banyak orang bingung siapa sebenarnya
yang jahanam ? Belum ada jawaban jujur atas tragedi itu, hingga kini.
****
SATU TAHUN berlalu, setelah interogasi berakhir. Aku
mendengar kabar Pak Tentara yang mengggigit telinga sampai putus jatuh sakit
parah. Aku sempat ikut menengok, menemani Bapakku. Tidak berapa lama tersiar
kabar, dalam penderitaan beliau wafat …. Innaa lilahi wa inaa ilaihi raa`jiuun.
Tiga tahun kemudian aku mendpat kabar. Salah seorang
interogator meninggal dengan cara tragis. Ia dikenal interogator yang garang
saat memeriksa orang-orang yang disangkakan simpatisan partai komunis. Ia
meninggal dengan cara yang tidak kalah tragis dalam suatu kecelakaan lalu
lintas. Saat mengendarai sepeda motor, akan berbelok di sebuah persimpangan
tiga di pinggir selatan Kota Purwokrto ia menabrak bendi dari arah depan yang
datang dari arah berlawanan. Dadanya tertembus bom (kayu penarik
dokar, bendi). Ia wafat seketika di ujung bom, karmakah?.
(dari kisah nyata, episode
lain “sepotong daun telinga” nts, jurnalis)
Sumber: Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar