Senin, 28 September 2015

Eks tapol 1965: Lima puluh tahun menanti keadilan


28 September 2015


Pemerintah menyatakan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, dengan membentuk tim rekonsiliasi. Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan tahapan rekonsiliasi yaitu, pertama; pengungkapan kebenaran, mengaku memang ada pelanggaran HAM masa lalu. Kedua, membuat komitmen agar ke depan tidak terulang kembali.
Tahap ketiga, baru pernyataan penyesalan atau minta maaf tapi masih jauh ke tahap itu, terakhir baru rehabilitasi atau kompensasi tergantung pada kemampuan pemerintah atau negara. Wartawan BBC Indonesia Heyder Affan dan Sri Lestari menemui para eks tahanan politik dan menanyakan apa yang diharapkan para penyintas atau korban selamat dari tragedi HAM 1965/66?

"Rekonsiliasi bisa untuk alternatif jika hukum sulit"

Suwarti, warga Kroya, Kabupaten Cilacap, guru dan simpatisan Gerwani saat ditangkap 1965
Semenjak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dirinya akan menyelesaikan kasus kekerasan pasca 1965, dan terakhir muncul wacana permintaan maaf dari pemerintah, saya sangat antusias mendengarnya. Dan saya penuh harapan bahwa presiden akan merealisasikannya.
Tentang bentuk penyelesaiannya lewat mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, menurut saya, bolehlah dijadikan alternatif kedua, apabila mekanisme hukum sulit direalisasikan.
Saya sendiri lebih mendukung masalah kekerasan pasca 1965 diselesaikan secara hukum, karena sekian tahun kita telah menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah saat itu. Harus ada proses peradilan.
Kalau semua itu dilaksanakan, tentu saya bisa memaafkan para pelaku kekerasan terhadap diri saya. Soalnya, bagaimanapun, kita sebagai bangsa Indonesia harus tetap satu.
Saat jadi guru saya pernah mengikuti acara baris-berbaris dalam pawai besar Gerwani di Semarang.

"Permintaan maaf langkah bagus untuk rekonsiliasi"

Tedjabayu Sudjojono, aktivis organisasi pemuda CGMI, ditangkap Oktober 1965, dibuang ke Pulau Buru
Permintaan maaf dari pemerintah paling tidak merupakan langkah yang bagus untuk sebuah rekonsiliasi. Saya tidak mengharapkan banyak karena banyak sekali musuh presiden kita ini yang pasti akan menghalang-halangi.
Saya ditangkap pada Oktober 1965 ketika mempertahankan kampus Res Publica di Yogyakarta, kemudian terjadi penembakan dan akhirnya kami ditangkap dan ditahan berpindah-pindah tempat sampai ke Nusa Kambangan dan akhirnya dibawa ke Pulau Buru.
Saya tidak mengharapkan terlalu banyak, meski banyak teman-teman yang mengharapkan kompensasi, ganti rugi. Hanya satu syaratnya mereka (pemerintah) minta maaf, bahwa itu ada kompensasi itu nanti dulu. Kalau tidak minta maaf dan bahkan menghukum mereka, bagi saya tidak masuk akal, karena nanti akan membangkitkan dendam kembali dan saya tidak setuju itu.
Waktu itu saya diperkenalkan dengan Gus Dur - ketika masih sehat- oleh mendiang Adnan Buyung; "Ini pustakawan saya dan dia dari Pulau Buru", lalu Gus Dur berdiri menyalami saya dan mengatakan "Atas nama PBNU saya meminta maaf mas Tedjo," bagi saya langkah Gus Dur untuk meminta maaf itu bagus sekali.
Proses hukum harus berjalan karena kita negara hukum. Namun saya mengharapkan para hakim akan memutuskan bersalah atau tidak. Yang jelas bersalah ya harus meminta maaf dan saya setuju kalau mereka dimaafkan karena bangsa kita ini perlu rekonsiliasi. Harta benda yang hilang atau dirampas negara saat itu harus dikembalikan.

"Pengembalian nama baik, dan berjanji penyiksaan tidak terulang"

Diro Utomo ( 75 tahun), petani asal Boyolali, dibuang ke Pulau Buru pada 1971, dan sampai kini menetap di Desa Savana Jaya, Kabupaten Buru.

Kalau menurut saya negara kita sudah memiliki UU, kalau kita tidak salah terus disalahkan yang dituntut itu kan pengembalian nama baik. Kalau orang ditahan segitu lamanya tetapi tidak pernah melalui proses hukum, tak pernah diadili berati kan saya merasa tidak salah.
Nah kemudian penyiksaan luar biasa yang pernah saya alami, jangan sampai terjadi terulang kembali kepada siapa pun dan kapan pun.
Bagaimana orang ditahan selama puluhan tahun, tidak terbukti kesalahannya itu? Karena gara-gara saya ditahan, istri saya meninggal karena stres dan anak yang dilahirkan juga ikut meninggal. Anak saya yang pertama, terpaksa putus sekolah karena tidak tahan disebut sebagai anak PKI.
Saya pertama ditahan di LP Boyolali, tahun 1971 dipindahkan ke Nusa Kambangan dan kemudian pada September tahun yang salam dibawa ke Pulau Buru.

"Pemerintah tak perlu sampaikan maaf"

Yadiono, 79 tahun, Blitar Jawa Timur, mantan anggota serikat pekerja dan karyawan PT Kereta Api PJTKA
Pemerintah tidak usah minta maaf, untuk apa minta maaf, kembalikan nama baik kami. Tidak ada guna minta maaf, kami ini tidak salah dibuang tanpa pernah diadili bagaimana dengan hukum di negara ini.
Penyelesaian kasus HAM itu bagi saya itu hanya janji belaka tetapi realisasinya tidak ada. Sebenarnya saya juga tidak paham dengan status saya ini yang dibuang ke Pulau Buru sejam tahun 1969 lalu, kalau disebut bebas itu apa artinya, saya tidak mau dikatakan bebas (dari penjara) karena saya tidak pernah diadili. Kalau mau menyebut saya dibebaskan ya harus ada proses hukum, diadili dan divonis, ini saya dibiarkan saja sampai sekarang tak jelas apa statusnya.
Saya ditangkap di kantor saya di PJTKA Blitar karena dituduh menjadi anggota PKI, saya anggota serikat buruh ketika itu. Keluarga tidak tahu saya ditangkap, sampai mereka kemudian menganggap saya telah meninggal, sampai saya dibuang ke Pulau Buru pun mereka tidak tahu. Ketika kembali ke Jawa Timur pada 1995, saya bertemu dengan keluarga saya.

"Walaupun dinyatakan bebas, status hukum saya tak jelas" 

Roni Munawar , 74 tahun, asal Brebes Jawa Tengah, lulusan Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat Bandung, dibuang ke Pulau Buru dan menetap di sana.
Sesungguhnya saya tidak terlalu menuntut tentang hal-hal yang diluar kewajaran yang ada, yang jelas saya sampai hari ini sampai setua ini berada di tanah bekas pembuangan ini tidak merasa ada penyelesaian di pihak pemerintah tentang status.
Sebagai orang yang dianggap salah pada waktu itu, tak pernah ada pembuktian di pengadilan dan proses penyelesaian yang layak bagi orang yang dihukum, katakanlah kalau dianggap hukum. Tetapi hanya dikatakan sudah berakhir saja dengan surat pelepasan.
Walaupun dinyatakan bebas, tetapi bebas yang bagaimana dari apa. Saya berharap anak-anak sekarang dapat belajar, generasi sekarang juga mengenai apa yang kami alami, benar atau salah itu tergantung pada persepsi mereka.
Situasi pada waktu itu (1965/1966) tidak menentu, kami ditangkap dan dimasukkan dalam penjara tanpa proses, kemudian dalam jangka waktu berkepanjangan tanpa diberi makanan dan perlakuan yang layak. Pemerintah pada waktu itu membuang kami ke Pulau Buru, saya rasa agar kami bisa mencari penghidupan sendiri, sehingga tak menimbulkan persoalan bagi pemerintah.

"Saya sangat mengharapkan Presiden Joko Widodo bersungguh-sungguh minta maaf"

Sahir, 79 tahun, guru dan anggota PKI saat ditangkap pada 1965
Ini sungguh positif, karena para eks tapol ini tidak bersalah. Kami ini korban politik. Tapi prediksi saya, Jokowi tidak berani, karena banyak tekanan-tekanan di sekitarnya yang antikomunis. Sesuai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bahwa untuk menuju ke rehabilitasi nama baik dan rekonsiliasi. Tapi lebih dulu, pemerintah harus minta maaf kepada kami.
Tuntutan kita adalah rekonsiliasi, tetapi sekaligus harus dibentuk pula peradilan HAM untuk mengetahui siapa yang salah dan benar.
Penyiksaan atas diri kami itu dilakukan oleh institusi pemerintah dari presiden hingga lurah. Kami dijemput hingga ditahan oleh institusi negara, juga penyiksaan yang kami alami dilakukan oleh aktor negara. Kami juga dibebaskan atas nama negara.
Saya ditawan, disiksa, karena saya memang anggota PKI. Sejak awal saya menyadari bahwa saya akan ditawan, meski untung saya tidak dibunuh. Pada tahun 1963-1964, saya ditugaskan CC PKI ke Kalimantan. Tahun 1965, saya disekolahkan ke Jakarta oleh PKI. Tapi belum selesai sekolah, meledak G30S.
Pulang ke kampung di Sragen, saya "diciduk". Saya disiksa luar biasa. Pelaku penyiksaan anak-anak muda yang diperintah polisi dan tentara. Saya dipaksa mengakui, misalnya, mendukung G30S. Saya jawab 'saya tidak tahu'. Ini berlangsung sekitar tiga bulan.
Pukulan-pukulan yang bertubi-tubi membuat satu telinga saya tuli. Persendian paha saya juga sakit. Ruangan tempat pemeriksaan penuh darah. Dindingnya penuh percikan darah -mirip bunga-bunga. Setelah itu kami diharuskan kerja paksa.

0 komentar:

Posting Komentar